"Maaf aku tidak bisa menyelamatkan ayahmu. Maaf kakiku patah dengan satu peluru. Maaf aku tidak sekuat penjahat yang sudah menculikmu. Maaf aku tidak bisa menjagamu lebih dari ini. Maaf aku harus menjadi orang yang jahat."
Di belakang lemari, jempolku sibuk menekan nomer telepon darurat. "Lacak aku. Kumohon, temanku diculik." Aku berbisik ke ponselku lalu menggeletakkannya di lantai dengan status masih menelpon sampai sekitar satu menit. Setelah itu kumatikan lalu aku membiarkan si penjahat mendekatiku.
Sekitar lima langkah jarakku dengan si penjahat, aku berteriak. "Tunggu!!" Lalu pria itu berhenti.
"Aku mau bilang satu hal pada ayah Diva. Tolong izinkan aku." Ucapku.
Tidak ada tanggapan dari si penjahat maupun ayah Diva.
"Aku mohon. Setelah itu kau bisa bunuh aku. Aku benar-benar harus mengatakan kata-kata terakhirku kan?" Sambungku dengan nada memelas.
Aku keluar dari persembunyianku dan berjalan timpang menuju ayah Diva di sudut ruangan. Ayah Diva memberi gerakan tangan yang berarti 'tahan tembakan' kepada si penjahat.
"Kau mau bilang apa?" Tanya ayah Diva dingin.
"Om, papaku ngga akan mengorbankan anaknya demi keuntungan bisnis. Tapi kalau memang ini jalanmu, pastikan Diva akan hidup sampai remaja dan dewasa. Aku sayang sama dia. Aku ngga mau nasibnya berakhir seperti aku. Dan jangan sampai dia tahu kau melakukan ini padanya. Dia pasti akan sangat sedih." Ucapku sambil bercucuran air mata.
Ayah Diva melongo mendengar kata-kataku. Kulihat dia berpikir keras mencerna tiap kata yang keluar dari bibir kecilku.
"Sekarang kau bisa bunuh aku." Aku berkata sambil berbalik membelakangi ayah Diva dan menghadap si penjahat yang sudah siap dengan pistolnya.
Si penjahat menarik pelatuk untuk kedua kalinya. Dan kedua kalinya pula ia tidak tepat sasaran. Aku yakin tadi dia membidik kepalaku. Namun setelah kuraih leher ayah Diva dan naik ke punggungnya, tubuh ayah Diva pun membungkuk dan 'dorr!' kepalanya bolong, sebuah peluru bersarang di otaknya yang tidak waras.
"Itu balasan karena menculik temanku." Ucapku sambil merebut pistol dari tangan ayah Diva yang kini sudah tidak bernafas lagi.
Aku mengarahkan pistol ke si penjahat. Namun sepertinya dia masih tidak sadar karena masih terlalu kaget memperhatikan tubuh mati ayah Diva yang jatuh ke lantai.
"Kau mau menyusul?" Ucapku pada si penjahat membuyarkan pikiran kosongnya.
Aku masih menodongkan pistol yang kurebut dari ayah Diva ke arah si penjahat. Dia terkejut, namun tidak takut. Dia yakin tidak ada anak Tingkat Sekolah Dasar yang bisa menggunakan senjata api di tanganku ini.
"Coba saja, yang itu hanya kuisi 2 peluru. Dan keduanya sudah ditembakkan orang tua bodoh itu." Ucap si penjahat.
"Coba saja tembak aku. Aku tidak takut padamu." Ucapku tenang.
Si penjahat menarik pelatuk pistolnya berkali-kali. Namun yang keluar hanyalah bunyi 'ceklak-ceklek' dan bukannya peluru. Wajahnya mulai panik.
Aku mengambil target salah satu--atau mungkin beberapa--bagian tubuh si penjahat. Sekuat tenaga aku berusaha menarik pelatuk yang ternyata sangat keras. Detik berikutnya si penjahat menjatuhkan pistol dalam gengamannya dan mulai mengerang kesakitan sambil memegang kedua kakinya.
Aku mendekati si penjahat dengan jalan timpang sambil mengosongkan pistol yang tadi kupakai untuk menembak kakinya. Darah segar sudah membasahi sebagian kakinya yang tertembus peluru. "Kita impas." Ucapku seraya melempar pistol ke dekatnya dan mengambil tali dan kursi. Aku masih terus berjalan timpang sampai ke sudut lain ruangan.
Si penjahat tidak melepas pandangannya dariku. "Kau mau apa lagi?" Tanya si penjahat dengan nada sedikit ketakutan.
"Kau bocah gila! Kau tidak waras!" Si penjahat berteriak tanpa bisa bergerak sesentipun. Aku memastikan tembakanku tadi tidak hanya membuat retak tulangnya. Aku yakin aku meremukkannya.
'Plak-plak-plak'
আPrevious: Stuck
আNext: The New Me