Jumat, 30 Oktober 2015

Simple Oreo Truffle



Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat Truffle oreo sederhana ini adalah:

1. Coklat Compound
2. Susu cair
3. Oreo
4. Butter/margarin


Cara buat:

1.
Pisahkan bagian tengah oreo dari biskuitnya
2.
Bentuk bulat-bulat bagian tengah oreo. Lalu masukkan ke dalam kulkas.
3.
Untuk bagian biskuitnya, hancurkan hingga berbentuk butiran seperti ini.
4.
Tambahkan butter yang sudah dicairkan ke dalam remah oreo.

5.
Aduk campuran oreo dan butter hingga rata.
6.

Siapkan beberapa ml susu dan coklat untuk dicairkan.
7.
Tambahkan cairan coklat dan susu ke adonan oreo dan butter.
8.
Aduk hingga oreo mengental dan menyerupai adonan. Lalu masukan ke dalam freezer selama kurang lebih 10 menit, agar adonan tidak lengket saat dibentuk nanti.
9.
Keluarkan isi tengah oreo dan adonannya. Bentuk bulat-bulat adonan oreo, jangan lupa isi tengahnya dengan isi oreo. Lalu masukan ke kulkas lagi.
10.
Cairkan coklat compound (tanpa campuran apapun).
11.
Masukan bola-bola oreo ke dalam cairan coklat, lumuri hingga seluruh bagian tertutupi, lalu angkat dan masukan kembali ke kulkas beberapa menit sampai coklat mengeras.
12.
Tata dalam sebuah wadah. Truffle oreo siap dinikmati.

--D Ark R Ain Bow--

Rabu, 28 Oktober 2015

The Last Witch Hunter (2015)

Ngga ada niat sama sekali untuk nonton film ini. Karena tadinya gue pengen banget nonton Goosebumps. Tapi karena kali ini gue nonton sama temen kecil gue yang baru pulang dari Hongkong, okelah gue turutin permintaannya untuk nonton The Last Witch Hunter daripada Goosebumps.

Prolog film dibuka dengan latar waktu yang masih kuno. Segerombolan orang tampak sedang meneliti sebuah pohon besar. Mereka dari organisasi Kapak dan Salib yang pekerjaannya adalah memburu Penyihir. Kali ini mereka mengincar Ratu Penyihir yang telah menyebarkan wabah hitam ke perkampungan mereka. Wabah yang disebarkan melalui lalat itu menyebabkan orang yang dirasuki menjadi kering seperti dibalsem lalu mati. Motif utama penyebaran wabah ini karena bangsa penyihir kala itu tidak menyukai manusia.





Kaulder (Vin Diesel), adalah salah satu prajurit pembasmi penyihir yang berkesempatan menghadapi Ratu Penyihir (Julie Engelbrecht) dan berhasil membunuhnya. Namun pada detik-detik kematiannya, Sang Ratu mengutuk Kaulder untuk hidup abadi dan selama hidupnya sebatang kara.



Berabad-abad telah berlalu dari jatuhnya Sang Ratu. Kehidupan Kaulder di jaman modern bisa dibilang normal. Namun pekerjaannya sebagai pemburu penyihir masih dilakukannya. Sebab, sampai saat ini pun para penyihir masih ada diantara manusia. Meskipun mereka punya satu aturan untuk tidak menggunakan sihir kepada manusia, tetap saja ada beberapa dari mereka yang melanggarnya.




Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemburu penyihir, Kaulder dibantu oleh Keturunan Dolan. Dan saat itu Dolan ke-36 (Michael Caine) mengajukan pensiun lalu digantikan oleh Dolan ke-37 (Elijah Wood).

Pada malam Dolan ke-36 mengundurkan diri, esok paginya ia ditemukan tewas di ruang kerjanya. Hal ini membuat Kaulder bingung karena tidak ada tanda-tanda ia dibunuh oleh manusia. Tidak juga ada penyakit atau apapun. Yang ditemukannya justru beberapa ekor lalat yang sudah mati.

Bersama dengan Dolan ke-37, Kaulder mencoba untuk mencari siapa pembunuh Dolan ke-36. Dan setelah dapat menyimpulkan bahwa Dolan ke-36 belum mati, Kaulder beranggapan bahwa ada seseorang yang akan membawa wabah hitam kembali ke kehidupan ini.





Atas clue yang ditinggalkan Dolan ke-36, Kaulder disuruh mengingat kematiannya. Maka ia datang ke sebuah bar milik Chloe (Rose Leslie), seorang penyihir yang mahir dalam membuat ramuan dan ternyata juga seorang Dream Walker.


Setelah bisa mengingat kembali memori kematiannya, ternyata Kaulder hidup abadi karena jantung milik Sang Ratu Penyihir masih utuh dan hidup. Sang Ratu berencana untuk lahir kembali dengan cara hidup bersama Kaulder. Jantungnya disimpan oleh Dolan pertama yang pada saat kematian Kaulder menemukannya.

Kaulder dan Chloe melanjutkan perburuan ke penjara para penyihir. Ternyata selama ini Sang Ratu membutuhkan banyak penyihir untuk melantunkan mantera untuk mengembangkan dan melepaskan wabah hitam tersebut. Disinilah terungkap bahwa Dolan ke-37 ternyata mengkhianati Kaulder. Ia mengancam akan membunuh Chloe ketika Kaulder ingin membunuh Ratu Penyihir.


Wabah berhasil lepas dengan bergabungnya Chloe melantunkan mantera di dalam pikirannya yang sudah diambil alih Ratu Penyihir. Dolan ke-37 mati karena meskipun ia berpihak pada Ratu Penyihir, dirinya tidak punya kemampuan sihir. Jadi Ratu tidak mau menerima pengabdiannya.


Duel Kaulder dan Ratu Penyihir kembali memanas. Kini Sang Ratu telah melepaskan keabadian Kaulder dan dia bisa terluka bahkan mati sekarang. Namun tak lama kemudian duel pun kembali dimenangkan oleh Kaulder. Belum sempat wabah hitam mengenai korban, sekali lagi Kaulder menyelamatkan peradaban manusia.


Kaulder menemukan jantung Sang Ratu masih berdetak. Seketika saja luka-luka ditubuhnya sembuh kembali. Ia tahu, bahwa selama jantung Sang Ratu masih berdetak, ia juga akan kembali hidup abadi.


Saat akan menikam jantung Sang Ratu, Kaulder dicegah Chloe. Padahal Kaulder ingin mengakhiri semuanya, menghapus kutukannya, dan mati dengan tenang. Tapi menurut Chloe, kehidupan tanpa dirinya tidaklah bagus. Maka jantung Sang Ratu masih terus berdetak sampai akhir cerita. Hihihi.


Dolan ke-36 sembuh total dan kembali menjadi pendamping Kaulder. Bedanya, mereka bukan lagi di bawah naungan organisasi Kapak dan Salib. Mereka melakukan perburuan penyihir atas kemauan dan tujuan mereka sendiri.



Yup satu lagi film keren yang agak kentang. Cerita awalnya sih bagus yah. Tapi menurut gue sayang banget Ratu Penyihir nya ngga sekeren namanya. Kaulder juga ngga punya kemampuan khusus selain kemampuan ala detektif yang dia milikin. Battle antara Kaulder sama Ratu Penyihir juga kurang nendang. Apalagi battle pas di ending, bikin gue sempet mikir: “Ini udah kelar?” dan emang udah kelar. Hihihi. It’s about 2 from 5.


--D Ark R Ain Bow--

This entry was posted in

Selasa, 06 Oktober 2015

Delmora The Ocean's Princess: Bab 11 (Boa Kelelawar Hantu)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 11
Boa Kelelawar Hantu
          Aku dan Oliver melanjutkan perjalanan menyusuri gua. Suhu disini sungguh dingin. Langkah-langkah kami pun ramai karena di pantulkan gema. Sebenarnya gua ini cukup besar, tapi banyaknya stalaktit dan stalagmit yang bertebaran di langit-langitnya membuat gua ini akan sulit dilalui orang yang jangkung. Baunya pun basah dan lembab. Lantainya penuh dengan kotoran kelelawar.
          “Berapa jauh lagi kita berjalan?” Tanya Oliver.
          “Entahlah. Ferus ngga ngasih tahu apa-apa.” Jawabku.
          Setelah sepuluh langkah lagi berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara desisan yang tidak asing di telingaku. Ular.
          Aku dan Oliver saling menatap seakan takut salah satu dari kami tiba-tiba dilahap ular. Aku mengarahkan pedangku ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara. Tapi tetap tak tampak apa pun yang menyebabkan desisan itu.
          “Oliver, jangan injak kakiku.” Ucapku. Karena aku merasa kakiku menjadi berat.
          “Aku tidak menginjak kakimu.” Ucap Oliver.
          Refleks, aku langsung mengarahkan pedangku ke kaki dan membiarkan cahayanya menyinari lantai gua.
          SSSSHHHHHHH.
          Sekitar sepuluh ular Boa sedang tidur nyenyak melingkarkan tubuhnya bagai bantal bulu yang empuk. Aku mendekap mulut dengan buku tangan menahan suara dan nafasku. Aku hampir menangis.
          “Mereka sedang tidur.” Ucap Oliver dalam bisikan.
          Aku mengangguk ketakutan.
          “Ayo pelan-pelan kita lewati saja mereka. Jangan sampai menginjaknya.” Ucap Oliver lagi lebih pelan.
          Baru satu kaki kuangkat, ular-ular itu mulai membuka lingkaran tubuhnya dan menunjukkan ukuran aslinya.
          Oliver merebut pedang dari genggamanku dan langsung menebas seluruh bagian ular yang bisa dijangkaunya. Langsung saja lantai gua menjadi penuh darah yang berwarna merah pekat dan lengket. Beberapa ular mencoba melilitku. Dan yang bisa kulakukan hanyalah meloncat-loncat seperti sedang bermain lompat tali.
          DUG. Aku terjatuh terjerembab di lantai. Dua ekor ular menindih tubuhku dan melilitku dengan kuat.
          “O-Liv er.” Aku berkata dengan suara sesak. Sebentar lagi aku akan mati.
          Oliver terlalu sibuk dengan ular-ular yang lain dan juga kesulitan untuk menjangkauku. Aku berusaha memberontak. Tapi semakin aku bergerak, ular-ular ini semakin membelit dengan kuat.
          Desisan lain terdengar dari jauh. Aku punya pikiran, saudara-saudara ular yang lain mulai berdatangan. Dan tak lewat dari semenit, puluhan ular merayap menuju santapan malamnya. Kami.
          Oliver sudah kelelahan menebas ular-ular itu yang kini bertambah banyak. Dan yang mencengangkan adalah, tiba-tiba dia berlari maju dan meninggalkanku berkutat dengan ular di atas tubuhku yang kini sudah berjumlah tujuh. Apa yang akan dia lakukan? Membiarkanku menjadi makan malam keluarga ular ini? Kini air mata telah benar-benar menetes dari pupil mataku yang kini buta lagi karena cahaya pedang telah menjauh.
          Baiklah, lebih baik dihancurkan dengan parang oleh petugas jaga pantai teluk Pangandaran daripada jadi santapan. Aku sudah tidak bisa bergerak. Oliver, dimana kamu?!
          Cahaya berwarna biru terang datang kepadaku. Awalnya kukira aku sudah berada di surga. Namun ternyata Oliver kembali dengan pasukan burungnya.
          Bukan benar-benar burung sih. Kebanyakan justru kelelawar yang terbang dan langsung membabi buta serangan ular Boa kepadaku. Sisanya ada beberapa burung hantu yang mulai mencakar-cakar ular itu. Kenapa aku tahu mereka itu kelelawar? Karena baunya sama dengan bau tubuhku yang sudah tercampur lantai gua ini.
          Sebuah tangan membantuku berdiri.
          “Delmora, kamu baik-baik saja?” Tanya Oliver.
          Aku tidak mampu berkata apa-apa. Yang kurasakan kemudian, aku sudah melayang beberapa senti dari tanah dan bergelantungan lemah di lengan Oliver. Kami kabur dari sarang ular.
          Setelah membuat jarak kira-kira setengah panjang lapangan bola, Oliver menurunkanku dari gendongannya.
Theoí na mas voíthísei
Epanèlthete se kanonikí
Aku menemukan tubuhku bergurat merah dan biru. Rasanya lelah sekali. Aku ingin tidur seharian ini.
“Oliver?” Panggilku untuk menandakan aku sudah sadar.
“Kamu baik aja, Delmora?” Tanya Oliver.
“Aku sudah lebih baik kok.” Jawabku.
Aku mencoba menggerakkan otot tubuhku, dan gagal.
“Sini aku bantu.” Ucap Oliver. Lalu ia memegang leher dan pinggangku sambil mengucapkan kata-kata dalam bahasa Yunani yang dulu pernah ia gumamkan sebelumnya saat aku masih jadi patung batu.
“Apa itu?” Tanyaku.
“Hanya doa, seperti biasa.” Jawab Oliver.
“Tapi aku bisa sembuh.” Ucapku.
“Akan kuajarkan padamu lain kali. Kita harus jalan lagi. Sekarang sudah jam empat. Sebentar lagi matahari terbit.” Oliver membantuku bangun.
Malam yang lama. Aku sampai lupa kalau pagi adalah musuhku saat ini. Kami melanjutkan perjalanan.
Sekitar dua ratus meter tertempuh kakiku dan Oliver, kami menemui jalan bercabang.
“Kita harus ke arah mana?” Tanyaku.
Oliver menimbang sambil menyorongkan pedang ke jalan sebelah kanan dan kiri secara bergantian selama beberapa kali berturut-turut.
“Sudah bisa menentukan?” Tanyaku lagi yang mulai bosan melihat Oliver bergantian memilih jalan dengan pedang.
“Ini aneh.” Ucap Oliver. “Di jalan sebelah kiri, kita bisa melihat dengan penerangan cahaya pedang. Tapi di jalan sebelah kanan, cahaya pedang tidak dapat membantu pengelihatan kita.”
“Baiklah, ayo kita ambil yang terang. Aku mulai muak dengan kegelapan.” Ucapku.
“Ngga segampang itu, Delmora.” Ucap Oliver. “Kita ambil yang sebelah kanan.”
Oliver melangkahkan kakinya melewati jalan di sebelah kanan. Mau tak mau, aku menggandeng erat lengan Oliver. Mataku buta lagi. Sama sekali tak ada cahaya disini.
Entah karena aku sangat kedinginan dan membayangkan api unggun yang bisa menghangatkan tubuhku, atau memang suhu di gua berubah panas?
Perlahan, mataku mulai berfungsi lagi. Ada sebuah cahaya besar diujung gua. Bentuknya seperti sebuah sarang dari jaring laba-laba raksasa. Tapi bersinar dan panas. Dan aku baru sadar, jaring itu terbuat dari petir. Maksudku, benar-benar petir. Karena listrik tidak mungkin ada di gua seperti ini. Dan jaring itu menutupi seluruh lubang gua, memblokir jalan kami.
Suara langkah kami masih bergaung di gua. Dan ketika kami sudah berada tepat di depan jaring petir itu, terdengar suara seseorang.
“Quis est?” Ucap suara seorang wanita di seberang jaring. Apakah ada orang?





 Previous: