Selasa, 06 Oktober 2015

Delmora The Ocean's Princess: Bab 11 (Boa Kelelawar Hantu)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 11
Boa Kelelawar Hantu
          Aku dan Oliver melanjutkan perjalanan menyusuri gua. Suhu disini sungguh dingin. Langkah-langkah kami pun ramai karena di pantulkan gema. Sebenarnya gua ini cukup besar, tapi banyaknya stalaktit dan stalagmit yang bertebaran di langit-langitnya membuat gua ini akan sulit dilalui orang yang jangkung. Baunya pun basah dan lembab. Lantainya penuh dengan kotoran kelelawar.
          “Berapa jauh lagi kita berjalan?” Tanya Oliver.
          “Entahlah. Ferus ngga ngasih tahu apa-apa.” Jawabku.
          Setelah sepuluh langkah lagi berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara desisan yang tidak asing di telingaku. Ular.
          Aku dan Oliver saling menatap seakan takut salah satu dari kami tiba-tiba dilahap ular. Aku mengarahkan pedangku ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara. Tapi tetap tak tampak apa pun yang menyebabkan desisan itu.
          “Oliver, jangan injak kakiku.” Ucapku. Karena aku merasa kakiku menjadi berat.
          “Aku tidak menginjak kakimu.” Ucap Oliver.
          Refleks, aku langsung mengarahkan pedangku ke kaki dan membiarkan cahayanya menyinari lantai gua.
          SSSSHHHHHHH.
          Sekitar sepuluh ular Boa sedang tidur nyenyak melingkarkan tubuhnya bagai bantal bulu yang empuk. Aku mendekap mulut dengan buku tangan menahan suara dan nafasku. Aku hampir menangis.
          “Mereka sedang tidur.” Ucap Oliver dalam bisikan.
          Aku mengangguk ketakutan.
          “Ayo pelan-pelan kita lewati saja mereka. Jangan sampai menginjaknya.” Ucap Oliver lagi lebih pelan.
          Baru satu kaki kuangkat, ular-ular itu mulai membuka lingkaran tubuhnya dan menunjukkan ukuran aslinya.
          Oliver merebut pedang dari genggamanku dan langsung menebas seluruh bagian ular yang bisa dijangkaunya. Langsung saja lantai gua menjadi penuh darah yang berwarna merah pekat dan lengket. Beberapa ular mencoba melilitku. Dan yang bisa kulakukan hanyalah meloncat-loncat seperti sedang bermain lompat tali.
          DUG. Aku terjatuh terjerembab di lantai. Dua ekor ular menindih tubuhku dan melilitku dengan kuat.
          “O-Liv er.” Aku berkata dengan suara sesak. Sebentar lagi aku akan mati.
          Oliver terlalu sibuk dengan ular-ular yang lain dan juga kesulitan untuk menjangkauku. Aku berusaha memberontak. Tapi semakin aku bergerak, ular-ular ini semakin membelit dengan kuat.
          Desisan lain terdengar dari jauh. Aku punya pikiran, saudara-saudara ular yang lain mulai berdatangan. Dan tak lewat dari semenit, puluhan ular merayap menuju santapan malamnya. Kami.
          Oliver sudah kelelahan menebas ular-ular itu yang kini bertambah banyak. Dan yang mencengangkan adalah, tiba-tiba dia berlari maju dan meninggalkanku berkutat dengan ular di atas tubuhku yang kini sudah berjumlah tujuh. Apa yang akan dia lakukan? Membiarkanku menjadi makan malam keluarga ular ini? Kini air mata telah benar-benar menetes dari pupil mataku yang kini buta lagi karena cahaya pedang telah menjauh.
          Baiklah, lebih baik dihancurkan dengan parang oleh petugas jaga pantai teluk Pangandaran daripada jadi santapan. Aku sudah tidak bisa bergerak. Oliver, dimana kamu?!
          Cahaya berwarna biru terang datang kepadaku. Awalnya kukira aku sudah berada di surga. Namun ternyata Oliver kembali dengan pasukan burungnya.
          Bukan benar-benar burung sih. Kebanyakan justru kelelawar yang terbang dan langsung membabi buta serangan ular Boa kepadaku. Sisanya ada beberapa burung hantu yang mulai mencakar-cakar ular itu. Kenapa aku tahu mereka itu kelelawar? Karena baunya sama dengan bau tubuhku yang sudah tercampur lantai gua ini.
          Sebuah tangan membantuku berdiri.
          “Delmora, kamu baik-baik saja?” Tanya Oliver.
          Aku tidak mampu berkata apa-apa. Yang kurasakan kemudian, aku sudah melayang beberapa senti dari tanah dan bergelantungan lemah di lengan Oliver. Kami kabur dari sarang ular.
          Setelah membuat jarak kira-kira setengah panjang lapangan bola, Oliver menurunkanku dari gendongannya.
Theoí na mas voíthísei
Epanèlthete se kanonikí
Aku menemukan tubuhku bergurat merah dan biru. Rasanya lelah sekali. Aku ingin tidur seharian ini.
“Oliver?” Panggilku untuk menandakan aku sudah sadar.
“Kamu baik aja, Delmora?” Tanya Oliver.
“Aku sudah lebih baik kok.” Jawabku.
Aku mencoba menggerakkan otot tubuhku, dan gagal.
“Sini aku bantu.” Ucap Oliver. Lalu ia memegang leher dan pinggangku sambil mengucapkan kata-kata dalam bahasa Yunani yang dulu pernah ia gumamkan sebelumnya saat aku masih jadi patung batu.
“Apa itu?” Tanyaku.
“Hanya doa, seperti biasa.” Jawab Oliver.
“Tapi aku bisa sembuh.” Ucapku.
“Akan kuajarkan padamu lain kali. Kita harus jalan lagi. Sekarang sudah jam empat. Sebentar lagi matahari terbit.” Oliver membantuku bangun.
Malam yang lama. Aku sampai lupa kalau pagi adalah musuhku saat ini. Kami melanjutkan perjalanan.
Sekitar dua ratus meter tertempuh kakiku dan Oliver, kami menemui jalan bercabang.
“Kita harus ke arah mana?” Tanyaku.
Oliver menimbang sambil menyorongkan pedang ke jalan sebelah kanan dan kiri secara bergantian selama beberapa kali berturut-turut.
“Sudah bisa menentukan?” Tanyaku lagi yang mulai bosan melihat Oliver bergantian memilih jalan dengan pedang.
“Ini aneh.” Ucap Oliver. “Di jalan sebelah kiri, kita bisa melihat dengan penerangan cahaya pedang. Tapi di jalan sebelah kanan, cahaya pedang tidak dapat membantu pengelihatan kita.”
“Baiklah, ayo kita ambil yang terang. Aku mulai muak dengan kegelapan.” Ucapku.
“Ngga segampang itu, Delmora.” Ucap Oliver. “Kita ambil yang sebelah kanan.”
Oliver melangkahkan kakinya melewati jalan di sebelah kanan. Mau tak mau, aku menggandeng erat lengan Oliver. Mataku buta lagi. Sama sekali tak ada cahaya disini.
Entah karena aku sangat kedinginan dan membayangkan api unggun yang bisa menghangatkan tubuhku, atau memang suhu di gua berubah panas?
Perlahan, mataku mulai berfungsi lagi. Ada sebuah cahaya besar diujung gua. Bentuknya seperti sebuah sarang dari jaring laba-laba raksasa. Tapi bersinar dan panas. Dan aku baru sadar, jaring itu terbuat dari petir. Maksudku, benar-benar petir. Karena listrik tidak mungkin ada di gua seperti ini. Dan jaring itu menutupi seluruh lubang gua, memblokir jalan kami.
Suara langkah kami masih bergaung di gua. Dan ketika kami sudah berada tepat di depan jaring petir itu, terdengar suara seseorang.
“Quis est?” Ucap suara seorang wanita di seberang jaring. Apakah ada orang?





 Previous: 

0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!