Rabu, 26 Agustus 2015

Battle of Surabaya (2015)


Awalnya gue kira ini bakal jadi film dokumenter yang pastinya ngebosenin abis. Apalagi openingnya nyeritain sejarah perang 10 November di Surabaya itu. But wait, ternyata kali ini, mereka bikin film yang keren banget ceritanya. Temen gue aja ampe nangis terharu (haha baper). Jadi ceritanya emang berlatar pada tahun 1945 dan saat menuju perang Surabaya. Tapi alur nya ngga menurut sudut pandang pahlawan-pahlawan kemerdekaan kayak kebanyakan film sebelumnya. Sudut pandang yang diambil di film ini adalah dari seorang anak cowok bernama Musa (Ian Saybani—voice).


Musa hanyalah seorang tukang semir sepatu dan kurir amatiran. Dia tinggal bersama ibunya yang sudah sakit-sakitan. Ayahnya diceritakan sudah gugur di medan perang. Tapi dia dekat dengan seorang pria Jepang bernama Tuan Yoshimura (Tanaka Hidetoshi—voice). Hampir setiap hari Tuan Yoshimura menjadi pelanggan setia Musa dan sering mengajaknya bermain. Musa sudah menganggap Tuan Yoshimura seperti ayahnya sendiri. Sampai suatu hari Tuan Yoshimura tewas ditembak para pemuda PETA yang memang sering membunuh para warga asing yang masih menetap di Indonesia khususnya Surabaya.

Semenjak itu, Musa menjadi lebih berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai kurir surat.

Musa bersahabat baik dengan Yumna (Maudy Ayunda—voice), seorang cewek berambut panjang diikat dua penjual nasi tiwul. Hampir setiap hari ia mendapat jatah nasi dari Yumna. Mereka juga sering menghabiskan waktu bersama. Yumna sudah tidak mempunyai ayah dan ibu. Ia tinggal bersama dengan nenek angkatnya setelah Danu (Reza Rahardian—voice) menemukannya sendirian di rumah majikan orang tuanya—orang Belanda—yang tengah terbakar akibat para pemuda PETA. Dan mulai saat itu Yumna menganggap Danu seperti kakaknya sendiri.

Tapi, suatu hari Musa melihat tato yang tidak biasa pada punggung  Yumna. Setelah bertanya pada Residen Soedirman (Guritno—voice), tato itu adalah tanda keanggotaan dari organisasi Kipas Hitam yang kini tujuannya sudah menyimpang. Organisasi Kipas Hitam bisa dibilang adalah pengkhianat bangsa. Musa sempat bingung apakah benar Yumna adalah pengkhianat? Akhirnya ia memilih untuk menghindari Yumna.

Ketika pulang ke rumahnya, Musa terkejut karena api telah melahap hampir seisi pemukiman rumahnya. Dan ibunya masih terjebak di dalamnya. Saat ingin menolong ibunya, justru Musa malah terperangkap di rumahnya. Untunglah ada seseorang berpakaian serba hitam yang menolongnya. Dan ternyata orang itu adalah Yumna! Rumahnya juga terbakar dan nenek angkatnya juga meninggal. Kini baik Yumna maupun Musa sudah tidak memiliki tempat tinggal. Musa jadi tidak enak hati untuk menghindari Yumna lagi. Ia merasa berutang padanya. Akhirnya ia pun memutuskan untuk bertanya mengenai tato di punggungnya.

Yumna memang pernah menjalani pelatihan di organisasi Kipas Hitam. Ia berkali-kali disiksa dan didoktrin oleh pemimpin organisasi. Sampai ia hampir lupa tujuan utamanya mendekati Jepang adalah untuk mencari keberadaan ibunya yang diculik. Tapi setelah kepemimpinan Kipas Hitam berpindah, tujuan organisasi jadi menyimpang. Dan akhirnya Yumna pun kabur. Ia tidak mau menjadi pengkhianat bangsanya sendiri. Musa merasa makin tidak enak karena telah menghindari Yumna dan menganggapnya sebagai pengkhianat.

Setelah itu Yumna melanjutkan hidupnya sebagai perawat. Dan Musa masih menjadi kurir bagi Residen Soedirman. Ia sering berkumpul dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang dipimpin oleh Cak Solehudin (Alan Bona—voice).

Di sisi lain, organisasi Kipas Hitam sedang mencari seorang buronan yang menurut informasi membawa berkas penting. Dan seorang anggota rahasia menggambarkan sketsa wajah Musa.

Mulai saat itu Musa dicari oleh Kapten John Wright (Jason Williams—voice) dan anak buahnya. Ia sempat tertangkap dan diinterogasi di markas Kipas Hitam bersama dengan Danu yang entah mengapa juga ditangkap. Danu bertanya dimana Musa menyembunyikan berkas itu. Namun saat sedang mencoba melepaskan ikatan di tangan Danu, Musa melihat tato yang sama seperti milik Yumna di punggung Danu. Musa menjadi lebih berhati-hati dan memilih tidak memberitahu Danu. Dan benar saja, saat Kapten John Wright dan anak buahnya masuk ke ruang tahanan, Danu bergabung dengan mereka.

Yumna yang tahu Danu akan menggagalkan misi Musa untuk mengantar berkas rahasia itu pun berencana untuk menerobos masuk ke markas Kipas Hitam dan menyelamatkannya. Bersama dengan tim TKR Cak Soleh, mereka pun menerobos masuk. Musa berhasil ditemukan. Tapi sayangnya Yumna harus tewas tertembak saat ingin melindungi Musa. Danu merasa bersalah dan ia pun akhirnya menjalankan wasiat terakhir Yumna yang sangat dicintainya, untuk melindungi Musa.

Tim TKR Cak Soleh tidak ada yang selamat. Namun Musa dan Danu berhasil kabur. Tapi tetap, mereka dikejar oleh Kapten John Wright dan anak buahnya. Danu pun tewas dalam usahanya melawan mereka. Ketika Musa akhirnya sampai di kota, ternyata ia terlambat. Tidak ada lagi orang yang masih hidup disana. Kota sudah hancur berantakan.

Latar berganti 15 tahun kemudian. Musa dewasa tampak tengah mengunjungi makam Tuan Yoshimura. Dan di belakanganya ada Kioko (Sana Hamada—voice), anak perempuan Tuan Yoshimura yang datang dari Jepang.

Latar berganti lagi dan kini Musa tampak sudah tua. Ia sudah memiliki cucu (feeling gue sih dia nikah sama Kioko). Tapi tampaknya ia masih belum bisa move on dari Yumna cinta pertamanya. Karena ia masih mengenang saat-saat bersama Yumna.

Animasinya Danu itu looh. Ngingetin cinta pertama gue sama Zuko. Hahaha. Cakep banget. Kalo Yumna karakternya mirip Sakura yang bisa medis sama berantem-berantem ala ninja gitu. Hihihi.


Emang pantes sih kita bangga sama film animasi yang satu ini. Ceritanya itu orisinil banget. Ngga ngebosenin dan animasinya udah lebih bagus banget dari animasi Indonesia sebelumnya. Pantesan aja mau dibeli Walt Disney. Daan, film ini nampilin 4 Bahasa, yaitu Bahasa Indonesia, Inggris, Jepang dan Belanda. Hihihi. Ditunggu deh animasi yang lainnya. 

--D Ark R Ain Bow--

Kamis, 20 Agustus 2015

Inside Out (2015)


Excited banget waktu ngeliat trailer ini.



Jadi, pas tau film ini udah tayang, hari itu juga minta temenin untuk nonton. Dan ini dia. Lampu mulai redup—lebih gelap—lebih gelap—padaaamm—daaan... what??!! Sebuah gunung berapi menyanyi?? Opening yang sangat mencengangkan saudara-saudara!! Selama kira-kira semenit lebih kita harus dengerin gunung berapi nyanyi yang liriknya itu ngebosenin banget karena diulang-ulang. Seriously? We have to go out of cinema as soon as possible!!

But wait, the opening start again. Front credit tittle shown up and make all the audience keep on seat. We’re ready.

Ini dia bayi Riley yang baru saja membuka matanya. Dan Joy (Perasaan senang) pun muncul di kepalanya. Sebuah memori bahagia berbentuk bulat berwarna kuning terbentuk dan masuk ke dalam markas dimana pusat kendali emosi pikiran Riley berada.

Satu persatu perasaan emosi pun muncul ke dalam markas. Mereka Joy (Perasaan senang—sebagai pemimpin para perasaan lain yang mengendalikan suasana dan menjaga agar Riley selalu bahagia), Disgust (perasaan jijik—yang tugasnya menjaga Riley dari hal-hal menjijikan), Fear (perasaan takut—menjaga Riley dari melakukan hal berbahaya), Anger (Perasaan marah—membuat emosi pada Riley), dan Sadness (Perasaan sedih—yang tugasnya belum diketahui Joy).



Selama hidupnya hingga usia 11 tahun, Riley selalu mengalami perasaan bahagia dalam sehari-harinya. Ada beberapa core memory (memori inti) yang menjadi pembentuk karakter Riley. Dari memori inti itu terdapat pulau-pulau dalam otaknya. Yaitu pulau keluarga (pulau yang berisi memori tentang ayah dan ibunya, hubungan dan perasaan cinta kasih terhadap mereka), pulau hoki (permainan hoki yang disuka Riley), pulau persahabatan (hubungan antara Riley dan sahabatnya), pulau canda (memori tentang candaan).


Lalu beberapa hal harus berubah saat Riley dan keluarganya pindah ke San Fransisco. Bayangan menyenangkan tentang rumah barunya ternyata tidaklah nyata. Ia harus menerima keadaan yang sangat berbeda dari kehidupannya di Minnesota. Tapi Joy (Amy Poehler) tetap bisa menjaga perasaan Riley (Kaitlyn Dias) agar tetap bahagia. Sampaaii.. Sadness (Phyllis Smith) menyentuh bola  memori inti Riley sehingga bola itu berubah menjadi berwarna biru dan perasaan Riley menjadi sedih.

Hari pertama di sekolah barunya menjadi memalukan karena Riley terus menangis saat perkenalan di depan kelas. Apalagi saat Joy dan Sadness tersedot masuk ke memori jangka panjang yang menyisakan Anger (Lewis Black), Disgust (Mindy Kaling) dan Fear (Bill Hader) di markas. Dan yang bisa mereka bertiga lakukan adalah memperburuk keadaan.

Jatuh di rak memori jangka panjang, Joy dan Sadness berusaha mencari jalan pulang. Mereka banyak tersesat, tapi jalan mulai terlihat ketika mereka akhirnya bertemu dengan Bing Bong (Richard Kind), teman hayalan Riley saat kecil. Bing Bong punya ide untuk mengantar pulang Joy dan Disgust dengan kereta memori.




Dengan perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, akhirnya Joy dan Sadness berhasil kembali ke markas. Dan saat itu Joy mempercayakan Sadness untuk pertama kalinya memegang kendali emosi. Riley yang berencana kabur dari rumah akhirnya pulang dan menyesal. Ia meminta maaf kepada orang tuanya dan pulau keluarga dalam memori inti pun kembali terbentuk.


Riley kembali menjadi gadis yang ceria. Keadaan di markas pun membaik. Kini semua perasaan memegang kendali masing-masing. Sadness yang tadinya menjadi troublemaker pun kini dapat mengendalikan emosi Riley dan emosi dirinya sendiri. Bola-bola memori yang tadinya hanya terdiri dari satu warna kini terlihat warna warni. Riley menemukan kebahagiaan sendiri tinggal di rumah barunya.


More info and schedule: http://www.21cineplex.com/playnow/inside-out,3920,15IOUT.htm

--D Ark R Ain Bow--

Rabu, 12 Agustus 2015

9 reasons why Ginny Weasley’s cooler than the movies give her credit for

August 11 marks Ginny Weasley’s birthday! Thanks to a drab portrayal in the films, Ginny Weasley’s gotten a bad wrap through the years. But back in the day, there was a time when we all wanted to be as effortlessly awesome as Ginny Weasley.
From the ten-year-old girl running after her brothers’ train, to the grown woman who occasionally jinxes Rita Skeeter, Ginny Weasley’s the feminist hero you forgot you loved.

She’s fiery and fierce.

You don’t want to get on Ginny Weasley’s bad side: she’s got one mean Bat-Bogey Hex, and she’s not afraid to use it. Her curses are Hogwarts-renowned for their power, and her abilities are so impressive that she was even invited to join Horace Slughorn’s elite Slug Club— though she’s too laid back and self-aware to ever buy into his hype.
Devilishly charming, she might be known to have a knack for the naughty stuff, but she bests the boys at defensive spells, too. While training for Dumbledore’s Army, she makes her brother’s jealous at how quickly she picks up Harry’s Reductor Curse, and she’s able to conjure a corporeal Patronus at the age of fourteen.

She’s tenacious.

You’ve got to give it to Ginny Weasley: she sure is plucky. When her brothers refused to let her play quidditch with them as a kid because she was a girl, she took matters into her own hands and broke into the family broom shed to take turns riding on her own. And the best part is? SHE WAS NEVER CAUGHT. Her brothers didn’t find out about her secret rendezvous until eight years later—after she was selected to play on the Gryffindor quidditch team.
Ginny later grew up to become a professional quidditch player for the Holyhead Harpies, and after she retired from the team, she become the senior quidditch correspondent for the Daily Prophet. Suck on that, boys.
ginny-weasley-quidditch

She’s hilariously clever and has wit beyond measure.

Let’s be real, here: Ginny was totes Fred and George’s favorite sibling. She’s funny without ever needing to try too hard, so her humor always has a relaxing effect on those around her because she jokes not to seek validation from an audience, but rather just because she likes amusing herself. Her wit gets dished out in small, unexpected doses, and she’s clever enough to realize exactly when it’s appropriate to break the ice— ergo, when she gets a twisted sort of joy out of terrifying everyone in the Hog’s Head by doing a spot on impression of Umbridge’s cough. Also of worthy mention: she came up with the brilliant rebel name of Dumbledore’s Army for the D.A. (Seriously, Cho? The Defense Association? You’re starting a revolution, here! Get a little creative!)

She’s loyal.

Sure, she’s a Gryffindor, and they’re loyal and true and blah blah blah, whatever. But Ginny Weasley takes it to another level. In 1994, she got the chance to go to the biggest dance of the season with her FOREVER CRUSH SOULMATE, who also happened to be the hero of the wizarding world, and a Triwizard champion, and most importantly, her older brother’s super hot best friend. Harry Potter was bigger than John Stamos! But who does she go with instead? NEVILLE FREAKIN LONGBOTTOM: the geekiest guy in school whom nobody knew would grow up to be an underwear model. Because he asked her first. That, my friends, is loyalty.
ginny-weasley-mary-grandpre

She’s compassionate and kind, a confident, effortlessly cool weirdo.

Ginny’s got it all together. She knows she’s great. She knows you know she’s great. Her inner-confidence leaves her with nothing to prove,and so she uses her status to seek out and befriend genuine people, and stick up for the little weirdos. In fact, Ginny Weasley prefers the weirdos. She CHOOSES the weirdos. Who cares what you think? She knows she’s cooler than the cool kids, anyway.
An incredible judge of character, Ginny sees the special spark in people that others often miss. When Neville gets down on himself, she ardently defends him against his own words, reminding him that he’s not nobody. And of course, she’s the one who introduced the trio to the irreplaceable, iridescent Luna Lovegood. Neville and Luna: the two dorkiest people in school—but Ginny was the first person to realize that they were also the best.

She’s gutsy and passionate.

Like most Weasley’s, Ginny runs pretty hot and cold. She thinks with her heart. She gets caught up in the moment. She takes risks.
But she also does the things the rest us wish we had the guts to do. Zacharias Smith is smack-talking Gryffindor? She runs him through with a broom. She wants to make out with Harry Potter in front of the whole school? Sure. Why not?

She knows what she wants and she ain’t got time for no scrubs.

Ginny Weasley’s in demand, yo. She’s a hot commodity, and she knows it! So if Michael Corner wants to whine about how she beat Ravenclaw at quidditch, she doesn’t have time for that. She’s got Dean Thomas on standby, anyway.

She refuses to coddle the hero.

Ginny Weasley’s going to tell it like it is, whether you like it or not. While Ron and Hermione spend Order of the Pheonix walking on eggshells around Harry, Ginny Weasley’s just like, “Bitch, please. Get over yourself.” She gives Harry some much-needed Real Talk— and instead of letting him feel sorry for himself, she rails on him for not being smart about seeking advice. He’s not the only one with burdens to bear, and he’s definitely not the only one to have experienced Voldemort’s horror. Sometimes, honesty’s the best policy when dealing with an all-caps raging wizard teen.

She bounces back because she’s brave. She’s strong. She survives. She thrives.

Her first year at Hogwarts, Ginny went through one of the most horrific traumas imaginable when she was possessed by Voldemort’s soul into potentially murdering other students. This kind of experience could have crippled even the most stable adult, but Ginny not only gets through the experience, she comes out of it stronger.
From standing up to Draco at Flourish in Blotts when she was eleven, to restarting the DA with Neville and Luna and defying Snape’s Death Eater regime, Ginny is a force to be reckoned with. Her belief manifests itself in power, and her enduring spirit is an inspiration.
Ginny_and_Harry

Senin, 10 Agustus 2015

Delmora The Ocean's Princess: Bab 10 (Bertemu Saudara Tiri)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 10
Bertemu Saudara Tiri
          Kami telah mencapai mulut gua yang sebetulnya tidaklah panjang. Aku bisa melihat sisi lain gua dari sini. Aku menoleh ke Oliver tanda bingung.
          “Bagaimana caranya dia menyembunyikan Athena disini?” Tanyaku.
          “Entahlah. Kurasa kita harus masuk dulu.” Ucap Oliver.
          Aku menunduk menghindari goresan langsung stalaktit dan stalagmit yang tajam dan banyak menghiasi langit-langit gua yang rendah. Dalam situasi lain, pemandangan gua ini pasti indah. Tapi kalau melihatnya pada malam hari, kesan indah sangat sulit ditangkap. Apalagi kalau tahu tujuan kita kesini adalah untuk menyelamatkan seseorang dari penculikan seorang Gorgon.
          Kami baru beberapa langkah masuk ketika Oliver berhenti berjalan.
          “Ada apa?” Tanyaku.
          “Sepertinya ada orang lain di gua ini.” Ucap Oliver dengan nada takut. “Dengar.”
          Aku diam dan menajamkan telingaku. Aku tidak mendengar apa-apa. Tapi tunggu. Ada yang bergerak di dinding. Aku merapatkan tubuhku ke Oliver.
          “Apa itu?” Tanyaku.
          “Sepertinya itu adalah makhluk berkaki banyak yang merayap.” Jawab Oliver.
          Kami terdiam di tengah gua. Menunggu sesuatu menyambut? Ini gua yang pendek. Apa yang kita harapkan? Hanya ada kita berdua disini. Aku sempat berpikir, mungkin besok kita harus mencari tempat baru untuk melanjutkan pencarian Athena. Di gua kecil ini tidak ada apa-apa atau siapa-siapa.
          “Athena!” Aku berteriak memecah kesunyian.
          “Delmora, apa yang kamu lakukan?” Tegur Oliver.
          “Apa rencana yang kamu punya sekarang? Menunggu pagi dan membawa patungku kembali ke kereta?” Ucapku.
          Lalu sunyi kembali merayapi kami. Tapi suara sesuatu yang merayap itu kembali dan kini mendekat. Oliver yang aku tahu dia sangat takut dengan sesuatu ‘berkaki’ banyak langsung semakin merapat padaku.
          Tiba-tiba dari dinding, aku melihat sesuatu.
          Oliver mengeluarkan pedang dari saku di pinggangku. Ia menyabet-nyabet tanpa arah ke sumber suara.
          “Oliver Oliver, tenang. Dengar. Dia tidak melawan.” Ucapku sambil merebut kembali pedangku dan memasukannya ke saku. “Kemarilah, aku tidak mau menyakiti apa pun kamu.” Ucapku ke arah dinding.
          Pelan-pelan, aku melihat sesosok besar makhluk berkaki delapan yang merayap di dinding. Oliver sudah ingin mengambil pedangku lagi sebelum kujauhkan pinggangku darinya. Oliver gemetar dari kepala sampai kelingking kakinya.
          “Kamu siapa?” Tanyaku mengarah ke bola mata hitam kelam yang kini juga menatapku dengan tajam.
          “Aku bukan siapa-siapa.” Jawab sosok dingin.
          “Sungguh, aku tahu kamu pasti seseorang.” Ucapku membujuk. Entah mengapa, aku sepertinya tahu kalau makhluk ini tahu tentang keberadaan Athena.
          “Kamu siapa?” Makhluk itu berbalik bertanya.
          “Namaku Delmora. Aku putri Poseidon.” Ucapku.
          Meskipun bola matanya sudah hitam dan terbuka lebar, aku melihat makhluk itu membelalak.
          “Apa yang membawamu kesini Putri Poseidon?” Tanyanya.
          “Kami mencari Dewi Athena. Kau tahu dimana dia?”
          “Ya.” Jawabnya.
          “Bisakah kita keluar dari kegelapan ini? Aku merasa kita sedang dikepung.” Ucap Oliver menggigil ketakutan.
          “Jangan.” Gumam makhluk itu penuh kesakitan.
          “Kenapa?” Tanyaku.
          “Kalian memang sedang dikepung. Tapi percayalah, kalian akan lebih bersyukur dalam kegelapan ini. Beberapa dari mereka buta. Tapi mereka akan tahu kehadiran kalian kalau terang.” Jelas makhluk itu.
          “Jadi. Kau tahu keberadaan Athena, dan bisakah kau memberitahu kami?” Tanyaku dengan sopan.
          “Tidak.” Jawab makhluk itu dengan lantang.
          “Kenapa?” Tanya Oliver.
          “Aku tidak bisa mengambil resiko. Teman-temanku yang lain sangat ingin memakannya. Tapi aku tidak akan membiarkan nasib Athena lebih buruk daripada menjadi santapan kami.” Jawab makhluk itu.
          “Apakah otak di kedelapan kakimu tidak cukup untuk memikirkan seorang Dewi untuk menjadi santapan Laba-laba sepertimu?” Ucap Oliver marah.
          “Laba-laba?” Aku kebingungan. Jadi selama ini aku berbicara dengan laba-laba? Ih, jijik.
          “Untuk menjauhkannya dari orang sepertimulah, aku ada disini, anak muda.” Makhluk yang katanya laba-laba itu bergerak mendekat Oliver, yang aku tahu pasti cukup membuat jantungnya berolahraga.
          “Jadi, apa yang harus kami lakukan untuk bisa membebaskan Athena?” Tanyaku.
          “Habisi dulu teman-teman kanibal-ku.” Jawab si makhluk.
          “Haruskah?” Ucapku kaget.
          “Ya, kecuali salah satu dari kalian bisa membuktikan kalau kalian tidak akan berbuat jahat kepada Athena.”
          “Wow, kau beruntung karena salah satu dari kami ternyata adalah anak dari Dewi Athena sendiri.” Ucap Oliver.
          “Benarkah kau pemberian Athena?” Ucap makhluk itu mendadak lembut dan penuh kasih sayang.
          “Ya.” Jawab Oliver bangga.
          Sunyi sebentar sebelum si makhluk berkaki delapan itu mulai bicara lagi.
          “Kalau begitu, kalian boleh tahu tentang Athena.” Ucapnya.
          “Terima Kasih emm siapa namamu?” Ucapku.
          “Ferus.” Jawab laba-laba bernama Ferus itu.
          Tapi aku melihat ada yang tidak beres dari Ferus. Dia menjadi kelihatan sedikit sedih. Matanya berkaca-kaca seperti menahan tangis.
          “Ada apa, Ferus?” Tanyaku.
          “A-aku, tidak.” Ferus tergagap.
          Tiba-tiba saja pedang dalam saku meluncur keluar dan menari-nari dalam genggaman Oliver. Apa yang dilakukannya? Membunuh laba-laba yang mengepung kami.
          Benar kata Ferus tadi, kegelapan memang membantu. Oliver tidak perlu melihat dengan siapa ia berkelahi. Sebab kalau ya, mungkin dia akan pingsan saat itu juga. Walaupun sudah tiga kali kakiku hampir ditebas putus di tangan pedangku sendiri.
          Butuh waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk memastikan kami aman menyalakan penerangan agar mengusir kegelapan yang mencekam. Aku menarik sebuah kayu dari dahan pohon terdekat dan mulai menggesekannya bersamaan. Sewaktu pramuka dulu, aku tidak pernah berhasil menyalakan api dengan cara ini, tapi hanya butuh beberapa detik saja untuk menyalakannya saat ini. Dan untuk beberapa saat aku menjadi takjub sendiri dengan hasil kerjaku.
          Dan harus kuakui, Oliver juga mungkin sedang takjub dengan hasil kerjanya. Laba-laba kanibal yang disebut Ferus sudah tidak ada lagi. Tapi...
          Ada sesuatu yang merayap di dinding selain Ferus. Laba-laba lain yang dua kali lebih besar darinya. Membuka mulut lebar-lebar dan bersiap membunuh kami semua dengan satu kali gulungan jaringnya. Lalu aku pun menyuruh air menggulung laba-laba itu sebelum aku yang digulung. Laba-laba itu terseret gelombang air dadakan dan kemudian menjauh bersama air.
          “Tidak!!!” Jerit Ferus.
          “Kenapa?” Tanyaku.
          “Kau harus membunuh yang itu juga. Aku mohon.” Pintanya.
          Lalu aku mengembalikan arus air dan membuat gelombang yang menyeret laba-laba itu kembali. Aku seperti pengendali suku air di Avatar. Seru sekali. Saat laba-laba cukup dekat dengan jangkauan pedang yang di pegang Oliver, ia menutup matanya dan menghunuskan pedang ke tubuh si laba-laba raksasa. Laba-laba itu menjerit kesakitan lalu lenyap. Aku pun menyudahi pertunjukkan gelombang airku dan memapah tubuh Oliver yang lemas. Aku tahu ketakutannya lebih besar daripada rasa lelah perlawanannya.
          Dengan penerangan yang seadanya dari kayu yang kubakar tadi, aku masih bisa melihat bahwa Ferus si laba-laba yang sejak awal kedatangan kami menempel di dinding gua, kini mulai berubah bentuk. Maksudku dia benar-benar berubah bentuk. Ada bagian-bagian tubuhnya yang tampak membesar dan mengecil di segala tempat. Dan tak menunggu waktu lama, tiba-tiba saja sosok laba-laba yang menyeramkan tadi telah berubah menjadi seekor kuda bersayap.
          Besarnya dua kali ukuran kuda normal, berwarna hitam pekat, dan sepasang sayap menyembul keluar di sisi kanan dan kiri tubuh si kuda.
          “Ferus?” Panggilku.
          Ferus meringkik. “Ya, Delmora.”
          “Ya, dan sekarang aku ngga ngerti obrolan kamu sama Ferus.” Ucap Oliver.
          “Delmora, terima kasih telah mengembalikanku kembali ke bentuk asliku.” Ucap Ferus.
          “Sama-sama, Ferus.” Ucapku. “Siapa yang mengubahmu menjadi laba-laba?”
          “Ibu.” Jawab Ferus. “Aku harus menjaga Athena agar dia atau pun anak-anaknya tidak bisa membebaskannya.”
          “Jenius.” Ucapku.
          “Ayolah, apa yang kalian obrolkan? Aku mulai kedinginan disini.” Ucap Oliver.
          “Ferus diubah menjadi laba-laba oleh Medusa. Lalu disuruh jaga Athena biar ngga kabur.” Ucapku.
          “Tragis ya, diubah sama ibunya sendiri.” Ucap Oliver jijik.
          “Ayo kita bebaskan Athena.”Ucap Ferus.
          Ferus berjalan ke salah satu bagian dinding yang cekung. Lalu ia menghentakkan kaki kudanya. Beberapa detik saja lantai gua berubah menjadi sebuah mata air yang muncrat keluar dengan deras sampai menghalangi pandangan dinding yang tadi berbentuk cekung.
          “Ayo masuk. Kamu hanya perlu melewati airnya.” Ucap Ferus.
          “Masuk? Tapi ngga ada ruang di dalam. Tadi cuma cekungan dinding gua.” Ucapku.
          “Dia minta kita nerobos air ini?” Tanya Oliver. “Bagaimana bisa kita percaya dia ngga mau nyesatin kita?”
          “Percayalah, Oliver.” Ucapku.
          “Bagaimana bisa aku percaya sama anak Medusa?” Sergah Oliver.
          “Mungkin ibunya memang Medusa, tapi dia masih satu ayah sama aku.” Ucapku agak tersinggung.
          Oliver kelihatan menjadi tidak enak. “Maaf, Delmora. Aku hanya emosi karena Medusa. Maafkan aku.” Ucapnya memohon.
          “Iya, gapapa.”
          Kami melangkahkan kaki menerobos mata air itu. Kami basah kuyup. Walaupun aku sudah menyuruh air itu supaya tidak membuatku basah, nyatanya aku tetap basah juga. Mata air yang aneh.
          “Itu mata air pemunah kutukan. Senjata kalian sama sekali tidak berfungsi disini.” Jelas Ferus menjawab pertanyaan dalam kepalaku.
          Dan ternyata, ketika kami keluar dari derasnya air, kami tidak menabrak dinding lengkung tadi. Air itu membawa kami ke gua lain yang ujungnya sangat panjang. Aku bahkan tidak dapat melihat apa-apa karena saking gelapnya.
          “Pakai pedangmu, Delmora.” Ucap Ferus.
          Pakai pedangku? Untuk apa?
          Pertanyaanku langsung terjawab begitu aku mengeluarkan pedangku dari dalam saku. Sebilah pedang di genggamanku bersinar begitu saja seperti ada yang memasukan lampu pipih ke dalamnya. Membuat mataku tidak buta lagi. Oliver berada tepat di sebelah kananku, Ferus ada di sisi lainnya.
          “Harus berjalan sedikit.” Ucap Ferus. “Tapi harus kuperingatkan, akan ada beberapa yang harus kau hadapi.”
          “Maksudmu seperti apa?” Tanyaku.
          “Entahlah. Aku tidak tahu.” Jawab Ferus. “Tapi aku hanya bisa sampai sini. Aku terlalu besar untuk gua ini. Kalian lanjutlah.”
          “Ferus hanya bisa mengantar kita sampai disini.” Ucapku pada Oliver.
          “Kenapa?” Tanya Oliver.
          “Dia terlalu besar untuk gua ini. Ayo kita lanjut.” Jawabku. “Kau tidak apa, Ferus?”
          “Ya, jangan khawatirkan kami, Ferus. Apakah kamu akan menunggu kami?” Ucap Oliver.
          “Ya. Tentu saja. Aku akan menunggu sampai kalian kembali. Semoga berhasil.” Ucap Ferus.
          “Terima kasih, Ferus.” Ucapku.



Previous: