Sabtu, 18 Februari 2017

GAME: SWORD ART ONLINE, Memory Defrag ((REVIEW/SPOILER ALERT))


Finally I could play other game except that stressfull Candy Crush Soda Saga.

Jadi waktu gue mau mulai penulisan ilmiah dari kampus, gue bertekad untuk menghapus semua bentuk game yang membuang banyak waktu dan perhatian (juga yang bikin ketagihan) biar fokus gitu sama penulisan. Sekarang baru mau sidang malah donlot game lagi. Haha

Sebenernya game ini udah lama rilis. Gue pun pernah donlot game ini sebelumnya dan langsung gue uninstall lagi karna waktu itu ada yang eror. Tapi entah gue yang ketinggalan jaman atau apa, gue ngerasa game ini ngga sepopuler Anime nya.

But, buat kalian yang udah donlot and enjoy this game, you can share the experience too.

Storyline game ini ngga jauh beda sama Anime-nya. Graphic yang luar biasa halus juga bikin susah move on dan pengen terusan mainin. Seengganya sampe ke Quest 5 gue masih terus mainin ini game. Sampe gue sadar kalo quest nya udah terlalu susah gitu buat level chara gue.


Buat yang donlot game ini lewat wifi numpang atau fakir kuota, plis sebelum kalian cabut dari sumber data, 'link start' dulu game ini. Karna setelah itu serentetan tambahan harus didonlot pas mau mulai permainan. Pas donlot game nya mah paling cuma 2 menit. Tapi pas tambahannya itu bisa kira-kira 1 jam kayaknya deh. Setelah itu baru deh nostalgia sama suasana game mematikan Sword Art Online.

Pertama kita bikin dulu tittle chara kita yang kurang lebih terdiri dari 10 karakter. Tapi bisa diganti kapan aja kok namanya. Yang penting itu deretan angka sebagai pengenal ID kita. Kalo ada yang mau temenan sama gue monggo di follow ID gue :D

Setelah itu ada tutorial ini itu dan gue agak shock pas tau ternyata kita main game nya tuh dengan posisi Handphone vertikal. Jadi untuk kontrol nya dia cuma pakai satu jempol aja. Di pengaturannya sih bisa diganti ke kanan atau kiri. Tapi tetep aja menurut gue kurang greget kalo mainnya ngga dimiringin.

Di awal permainan kita dikasih chara Kirito newbie berbintang satu. Setelah nyelesain quest dan dapet memory diamonds (semacam gems gitu), kita bisa upgrade level senjata. Kalo kita dapet poison pas nyelesain quest, itu digunain untuk nambah exp buat naikin level chara kita. Tapi gue masih belum tau gimana caranya upgrade bintang chara. Kayaknya sih ngga ada upgrade bintang. Tapi emang kita harus beli chara baru dengan bintang yang kita mau. Karena sampe saat ini gue udah punya 3 Kirito dengan jumlah bintang yang beda-beda. XD


TOWN



Ini penampakan TOWN. Jadi disini kita bisa ketemu sama player lain dan saling berbalas chat. By the way untuk audionya dia berbahasa Jepang, sedangkan settingan bahasa nya cuma menyediakan 2 bahasa aja yaitu English dan Chinese.


PARTY



Di dalam PARTY menampilkan chara fighter kita. Disini juga kita bisa adjust equip attributes.



Equip disini menyediakan tiga menu edit. Yaitu edit senjata, armor sama aksesori. Ketiganya bisa didapet di Scout dengan membeli item tersebut atau kadang juga kalo kita nyelesain quest dengan rank S keatas, dia bakal ngasih reward equipment.

Kalo attribute matrix itu untuk upgrade level skill, attack, defense, critical hit rate, MP dan HP. Yang diperluin untuk upgrade attr. adalah batu-batuan, atau memory diamonds. Kalo untuk unlock levelnya, pake kunci upgrade level yang didapetin dari hadiah quest.


QUEST



Di dalam QUEST terdiri dari SAO dan mungkin 2 quest terlock itu ALO dan GGO (mungkin). Di awal permainan, tingkat kesulitannya normal. Tapi kalau suka, bisa diganti ke hard. Juga ada Extra Quest, yaitu quest tambahan kalo ada event.


MULTI


 


Di dalam MULTI, ada permainan co-op play. Gue suka yang ini karena seru main bareng-bareng. Buat yang mau ikutan quest extra tapi levelnya masih kurang atau ngga pede udah takut kalah duluan, Multi ini membantu banget kita nyari co-op party. Jadi nanti bisa nyelesaiin quest extra bareng-bareng tanpa mengurangi hadiah yang dijanjikan.

SCOUT



Di dalam SCOUT adalah tempat kita membeli chara baru atau pun senjata baru. Yang digunakan untuk membeli adalah memory diamonds. Dan pembeliannya secara random gitu. Gue udah 5 kali melakukan transaksi di Scout. Dua kali beli chara dapet Asuna (nightware) dan Heathcliff. Tiga kali beli senjata dapet Aqua Spread R2, Pale Shooter R3 dan Iron Rapier R1. Harga untuk 1 chara itu 25 memory diamonds dan untuk senjata 15 memory diamonds.


UPGRADE



Sesuai dengan namanya, di dalam UPGRADE ya untuk upgrade. Baik itu senjata, equip, atau aksesoris. Bisa juga untuk jual equip. Yang dibutuhkan disini adalah Col (sejenis gold) dan batu batuan yang kita dapetin pas ngejalanin quest.


MENU



The last, MENU. Isinya bisa diliat di atas. Kalo untuk Friends itu disini sistemnya follow. Kalo kalian saling follow bearti friends. Ciee.

Sampe saat ini sih versi ini lumayan menghibur. Kalo versi lama nya masih banyak bug yang bikin hati panas (belum lagi language nya yang tersedia cuma Jepang). Terus seperti yang gue bilang tadi dari graphic nya oke banget. Sound nya juga bagus. Penampilan tiap chara sejauh ini detail dan bagus juga (tapi gue rada aneh denger suara Heathcliff XD).

Cara mainnya juga gampang. Cuma slide untuk maju-mundur-kanan-kiri-cantik. Ketuk untuk nyerang dan ketuk tahan untuk nahan serangan. Buat attack khusus ada di sebelah kiri, itu untuk ngeluarin skill khususnya.

Alur game yang ngikutin alur cerita di anime juga bikin player yang nonton anime nya udah ngga asing lagi sama quest dan kejadian selanjutnya di game. Gue aja baru sehari main game ini udah bisa ngerti untuk apa ini dan itu. Karna emang bener-bener seperti di Anime. Penjelasan yang dikasih pas loading juga worth it banget buat dibaca. Karena dari situ semuanya udah dikasih tau dengan bahasa segampang-gampangnya dimengerti.

Tampilan pas loading nya ada si unyu yui lho!



I really enjoy this game. Tapi gue ngga tau juga ya. Kayaknya kalo semakin susah levelnya gue semakin bosan. Soalnya lawannya tetep itu lagi terus. Keseringan mukulin babi, kalo ngga serigala dan cangcorang (eh iya bukan ya namanya? XD). Tapi penasaran banget sama dua quest terlock itu. Jadi mungkin gue akan lanjut main sambil nunggu SAO Ordinal Scale tayang di Indonesia.

Jaa ne~


--D Ark R Ain Bow--

Rabu, 15 Februari 2017

17. Nightmare ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


If the dream start bothering you, so you'd better not sleeping, right?


--Lisa's POV--

Lututku lemas melihat dua tubuh kaku milik kedua orang tuaku yang tergantung pada seutas tali besar. Apa yang terjadi?

"Oh kayaknya udah hilang." Ucap Sheerin tiba-tiba dari balik tubuhku. Aku terlonjak kaget lalu cepat bangun. Aku menoleh dan melihat raut wajah adikku. Dia tidak tampak terkejut sama sekali.

"Apa maksudmu udah hilang?" Tanyaku hati-hati.

"Nyawa mereka, tentu aja." Jawab Sheerin dengan entengnya dan cengiran yang biasa ia tunjukkan ketika papa memberikan sesuatu yang dia minta.

*plaakk*

Aku mendaratkan sebuah tamparan ke pipi Sher yang mulus dan warna pink. Sekarang pipinya berubah sewarna tomat. Tapi itu belum cukup untuk membalas apa yang telah dilakukannya pada orang tua kami.

"Kakak!" Sheerin merubah raut wajahnya. Kali ini dia sangat marah.

Sheerin memberikan tatapan sangat tajam. Tapi seharusnya aku yang marah. DIA MENGGANTUNG ORANG TUA KAMI SAMPAI MATI! Apa dia benar Sheerin adikku?

"KAU IBLIS!" Ucapku.

"Orang yang menculik Diva juga berpendapat demikian. Sepertinya kalian cocok. Mau coba saling mencinta? Ah ya aku lupa dia sudah mati karena racun yang kuberikan." Sheerin mengatakan hal yang tidak pernah kupikirkan selama ini.

"Sheerin." Aku berkata lemah seraya meraih leher adikku dan mencekiknya.

Pipinya yang tadi merah sekarang menjadi pucat sekali. Namun raut wajahnya tidak berubah. Ia tidak panik atau menunjukkan tanda-tanda kesakitan.

Tiba-tiba saja aku merasa kulit di bagian perutku terbuka. Rasanya perih sekali. Aku melepaskan tanganku dari leher Sher seraya memegangi perutku yang kini bercucuran darah.

"Ups maaf, Kak. Tanganku tergelincir." Ucap Sheerin seraya mendekati kedua orang tuaku. "Bisa bantu sedikit? Papa agak berat." Ucap Sheerin.

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Apa yang telah dilakukan Sheerin tampak seperti tidak nyata bagiku. Aku tidak percaya mama dan papaku mati di tangannya. Aku membantu Sher menarik tubuh kedua orang tuaku. Bukan karena aku setuju untuk membantunya. Lebih karena aku tidak tega melihat tubuh mereka tergantung seperti itu. Aku tidak berhenti menangis.

"Mama.. Papa.." Ucapku lirih. Aku berlutut di atas tubuh orang tuaku.

Saat sedang berusaha untuk melepaskan tali yang mengikat leher mereka, tiba-tiba saja Sher menyemprotku dengan sebuah cairan yang membuatku tidak bisa menggerakkan satu ototpun. Aku tergeletak dengan kesadaran penuh, namun tidak bisa bergerak, tidak bisa bicara.

"Terima kasih bantuannya, Kakak." Ucap Sheerin yang kini mulai menyeretku masuk ke dalam rumah.

Sheerin mendudukkanku di depan lemari pakaian. Lalu ia keluar kamar dan kembali bersama tubuh mama. Dia meletakan tubuh mama jauh berseberangan denganku. Lalu ia menyeret tubuh papa dan meletakannya bersebelahan dengan mama. Aku menangis hingga perih tanpa suara. Setiap gerakan yang dibuat Sher, sepertinya ini bukanlah hal mengerikan pertama yang pernah dilakukannya. Dia seperti sudah terbiasa melakukan hal semacam ini.

"Hoi, Kak!" Sher berteriak dari seberang kamar. Ia membungkuk di atas tubuh mama dengan sebuah pisau dapur di tangannya. "Kalau Kakak bilang aku bersalah, kurang lebih beginilah Candice selanjutnya." Setelah berkata begitu, Sher menghujani tubuh mamaku dengan pisau dapurnya. Cairan merah itu keluar begitu amis dari tubuh mati mamaku. Berarti waktu kematian mereka belum lama karena darahnya belum kering. Apakah Sher menggantung mereka saat aku sedang mandi? Bagaimana caranya?

Sher tertawa seperti orang gila. Akan kupastikan dia mati sebelum bisa menjangkau Candice. Aku sangat berharap Kak Aiden cepat pulang dan menghentikan semua kegilaan ini. Mimpi buruk yang dibawa ke kenyataan oleh adikku sendiri.

Sher sepertinya sudah puas dengan tubuh mamaku, dia berdiri dan mendapati pakaiannya berlumuran darah. Lalu ia membuka seluruh pakaian yang melekat pada tubuhnya dan menggantinya dengan yang bersih.

"Janji ya Kak jangan bilang ini ke siapa-siapa. Nanti aku marah lho." Ucap Sheerin.

Apa-apaan dia? Mana mungkin aku diam saja. Setelah dia mati atau di penjara Candice akan selamat kan? Dia tidak akan bisa menyentuh Can.

"Oh ya Kak. Kenalin, itu Keenan." Sher berkata sambil menunjuk seorang cowok yang berdiri di muka pintu. Wajah cowok itu ditutup dengan sebuah poster wajah penyanyi Justin Bieber yang sepertinya diambil dari sebuah majalah. Dia melambai ke arahku. "Kalau Kakak ingkar janji, dia akan menjadi Sheerin." Sher memberikan pakaian penuh darahnya kepada cowok itu. Kemudian cowok itu meninggalkan kamar.

"Keenan bilang Kak Aiden udah mau sampe rumah lho, Kak." Ucap Sheerin seraya keluar kamar.

Aku merasakan ketakutan yang aneh. Sher tidak melakukan ini sendirian. Dia punya seorang partner yang bisa dibilang sama gila dengan dirinya. Jantungku berdegup sangat kencang. Tubuhku masih mati rasa. Tiba-tiba saja lampu mati dan kegelapan segera membuat satu lagi inderaku tidak berguna.

"Mama, aku pulang." Aku mendengar suara Kak Aiden samar-samar.

"Kakaaak! Jangan masuk!" Teriak suara Sheerin dari salah satu ruangan yang aku tidak tahu ruangan mana.

"Sher, kamu dimana?" Kak Aiden balas berteriak pada Sheerin dengan nada panik.

Kak, kumohon jangan masuk. Pergilah sejauh mungkin dari rumah ini. Air mataku sudah tidak keluar lagi. Mataku perih sekali. Aku tidak tahu sekarang jam berapa. Suara Kak Aiden hilang. Aku menunggu lama sekali dan berharap Kak Aiden menjauh dari rumah ini. Semoga ia tidak tertangkap oleh adik kami.

Aku nyaris kehilangan kesadaran ketika Sher kembali ke kamar orang tuaku dan berbisik di telingaku sebelum dia masuk ke dalam lemari di belakangku. "Show time."

"Sheerin kamu ada dimana?" Aku mendengar Kak Aiden berteriak. Jantungku kembali berdegup kencang.

Pintu kamar orang tuaku terbuka. Lampu di luar kamar sudah menyala, aku melihat siluet Kak Aiden yang berdiri di muka pintu. Lalu dia masuk ke dalam kamar ini. Aku melihat cowok bernama Keenan itu menutup pintu. Kegelapan kembali menyelimuti. Aku tidak bisa melihat apapun.

Aku dengar Kak Aiden melangkahkan kaki, lalu sepertinya ia menginjak sesuatu.

Kak Aiden melangkah lagi. Ia mencoba menyalakan lampu

"Sial. Kenapa lampu nya ngga bisa nyala." Ucap suara Kak Aiden sambil terus menekan saklar lampu yang tetap tidak nyala juga.

"Hey keluar kau. Siapa kamu?" Dia berteriak.

Entah sejak kapan, aku baru merasakan kalau tanganku memegang tali. Dan tali itu seperti ditarik ke arahku. Pasti Sheerin yang menariknya dari dalam lemari.

Sreet-sreet*

Papa mamaku pasti terseret mendekat.

Aku merasakan tarikan lagi.

Sreet-sreet*

Tanganku hanya bisa merasakan rasanya tali itu tertarik tanpa bisa memegangnya.

Sreet-sreet*

Sepertinya tubuh mereka tersangkut dengan benda lain. Ada sentakkan dan tali menegang sedikit.

Detik berikutnya aku mendengar suara tusukkan berkali-kali. Pintu lemari di belakangku terbuka sedikit lalu Sher membuang bagian tali yang tadi dipegangnya ke tubuhku.

Bau amis kembali memenuhi ruangan kamar yang gelap. Aku berusaha nangis lagi. Air mataku sudah benar-benar kering.

Tiba-tiba pintu kamar menjeblak terbuka. Kulihat beberapa siluet bayangan orang-orang bertubuh besar di muka pintu. Mereka tampak memegang senjata. Kak Aiden berlutut di sebelah tubuh papaku yang kini berlumur darah.

Lampu menyala. Menampilkan pemandangan menjijikkan di ruangan ini.

"Jangan bergerak." Ucap siluet di muka pintu yang kukenali sebagai polisi.

Dua orang lain mendekati Kak Aiden dan melumpuhkan pergerakannya.

Kak Aiden menangis tertunduk. "Perampoknya masih ada, Pak." Ucapnya pada polisi yang membawanya keluar.

"Apa yang kau bicarakan? Perampoknya itu kau, nak." Jawab polisi itu.

Dua orang polisi mendekatiku dan membawaku keluar dari kamar itu, otot di tubuhku masih belum bisa kukuasai sepenuhnya. Yang kuingat aku masih memegang tali itu. Tali yang berujung pada leher kedua orang tuaku.

Aku sudah berada di dalam salah satu mobil polisi. Para tetangga mengerumun di depan rumahku. Kebanyakan dari mereka tampak khawatir dan takut. Sisanya terkejut luar biasa.

Lalu mereka membawaku ke kantor polisi.

Polisi langsung membawa aku dan Kak Aiden ke ruang interogasi. Mereka terus menanyai kami dengan pertanyaan yang tidak bisa kami jawab. Mereka memutuskan bahwa kami adalah tersangka utama dari kasus pembunuhan orang tua kami sendiri. Tapi Kak Aiden tetap tidak mau mengaku karena memang bukan dia pelakunya. Aku masih belum bisa bicara. Tapi jemari tangan dan kakiku sudah bisa kugerakkan sedikit. Tubuhku bergetar hebat.

Aku menangis lagi. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan selain menangis saat ini. Aku tidak bisa berkata apapun. Tubuhku semakin menggigil. Di depanku polisi itu terus menyudutkan Kak Aiden dan dia berteriak sampai polisi mulai memukul wajahnya.

"Mama.. papa.." Ucapku susah payah dengan suara bergetar.

Kak Aiden menarik nafas berat. Lalu ia menoleh ke arahku. Dia terdiam tampak sedang berpikir dan menimbang. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya tentangku.

"Lisa, kau bisa ceritakan padaku apa yang terjadi padamu di rumah?" Tanyanya dengan nada biasa.

Aku masih menggigil. Namun lalu mengangguk pelan.

Aku sudah menceritakan semua hal yang sebenarnya pada polisi itu. Aku tidak memikirkan ancaman yang dikatakan Sheerin tadi. Tapi polisi tetap tidak percaya meskipun aku membuat kesaksian sambil dipasangi lie detector. Ternyata setelah dimintai kesaksian kedua, Sheerin bilang pada pihak kepolisian kalau kami bisa mengelabuhi alat pendeteksi kebohongan itu. Aku menemukan jalan buntu. Sheerin sudah mendapat satu poin dengan posisi terakhirnya di dalam lemari. Polisi akan lebih percaya padanya daripada pada kami yang tertangkap saat memegang pisau dan tali yang tersentuh langsung pada tubuh korban.

Kasus pembunuhan orang tua kami ditutup dengan aku dan Kak Aiden sebagai tersangka. Kami dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Tapi sampai saat ini Sher masih menepati janjinya. Dia tidak menyentuh Candice sama sekali. Itu membuat kami sedikit lega. Walaupun polisi tidak menindaklanjuti kasus kami dengan mencurigai Sheerin sebagai tersangka. Catatan kejahatannya tetap tersembunyi.


***




আNext: Mercy


Senin, 13 Februari 2017

16. She's A ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Kau dan dia seperti mata uang. Memiliki dua sisi yang berbeda namun masih melekat satu sama lainnya.
Sedangkan aku adalah sebuah dadu. Aku punya enam sisi yang berbeda untuk diriku sendiri.


--Aiden's POV--


"...dia pembunuhnya, kan?" Ucap Lisa dengan tatapan mantap lurus ke arah polisi itu.

Kurasa ada beberapa hal yang diketahui Lisa yang tidak kutahu.

"Apa maksudnya itu?" Tanya polisi yang kini wajahnya berubah menjadi terkejut.

Dan jangan tanya seberapa terkejutnya aku mendengar ucapan Lisa.

"Tahan itu semua. Aku akan menanyai kalian setelah kalian melihat ini." Ucap polisi itu sambil menunjuk sesuatu di laptopnya.

Lalu dia membuka beberapa folder dan berakhir pada sebuah file berformat mp4. Dia membukanya dan video pun berputar.

Tampak seorang anak yang kelihatan pucat berhadapan dengan seorang polisi.

"A-aku takut dia mengincarku, Pak." Ucap Sheerin ragu-ragu.

"Tenanglah nak. Dia tidak akan bisa menyentuhmu lagi. Kulihat dalam berkasmu, kau pernah diinterogasi tahun lalu. Mengenai kasus penculikan temanmu, benar? " Ucap polisi itu.

Sheerin mengangguk pelan.

"Kau bisa melakukannya lagi kali ini, nak. Apa lagi kali ini mengenai kasus yang melibatkan keluargamu." Ucap polisi itu.

Sheerin menarik nafas dalam-dalam. "Me-mereka yang membunuhnya." Ucap Sheerin takut-takut. "Kurasa karena orang tuaku selalu memanjakanku dan mereka cemburu."

"Bagaimana cara mereka membunuhnya?" Tanya polisi di video.

"Kami baru pulang dari mengantar Kak Candice ke bandara. Lalu tiba-tiba saja mama dan papaku berteriak. Aku langsung berlari ke kamar orang tuaku dan melihat mereka terpojok. Lalu Kak Lisa menyuruhku masuk ke dalam lemari sambil menodongkan pisau ke arahku." Ucap Sheerin.

"Dia mengancam akan menggorok leher mama kalau aku tidak menurut. Jadi aku masuk ke kamar dan sesuai dengan perintahnya aku masuk ke dalam lemari pakaian orang tuaku." Sheerin menghela nafas panjang.

"Tiba-tiba saja lampu mati. Aku hanya bisa menahan tangisanku sambil menunggu apa yang akan terjadi pada aku dan kedua orang tuaku. Aku jadi teringat saat teman baikku diculik. Aku seperti berada pada posisi yang nyaris sama. Hanya saja kali ini aku tidak bisa panggil polisi." Sheerin mulai menangis.

Aku tidak percaya apa yang dikatakan oleh adik bungsuku itu. Apakah dia seperti ini sejak lahir atau ada faktor eksternal lain yang mengubahnya? Seketika saja aku tidak mengenal sama sekali seperti apa Sheerin sebenarnya. Aku bukannya tidak percaya apa yang dikatakan Sher, hanya saja membayangkan Lisa merencanakan pembunuhan itu juga sulit dipercaya.

"...lalu kudengar Kak Aiden pulang, aku sudah suruh dia pergi. Tapi dia malah masuk ke kamar orang tuaku juga. Dan saat itu aku sadar kalau Kak Aiden ternyata membantu Kak Lisa membunuh mereka..." Ucap Sheerin. Tangisannya makin keras.

Oke ini sudah kelewatan. Aku tidak yakin bisa percaya pada Lisa ataupun Sheerin. Tapi aku percaya pada diriku sendiri. Aku bukanlah orang yang membunuh orang tuaku. Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi di kamar orang tuaku itu. Sekarang aku benar-benar yakin kalau ada sesuatu yang tidak beres pada adik kecil kami.

Tanganku terkepal. Aku siap meluapkan amarahku kalau saja Lisa tidak menahan tanganku dengan keras dan menatapku dengan tatapan yang menyedihkan. Sekarang apa lagi? Kenapa Lisa senang sekali mempermainkan perasaanku dengan tatapannya sih? Aku tidak tahu harus percaya pada apa. Aku bisa gila!

Aku tidak terlalu memperhatikan video itu lagi. Yang kutahu, saat berikutnya video interogasi Sheerin sudah berakhir.

"Ada pembelaan?" Tanya polisi di depan kami.

Aku hendak menjawab pertanyaan polisi itu. Tapi ternyata Lisa sudah mulai berbicara mendahuluiku.

"Aku tahu kalian akan lebih percaya pada adik kami. Aku tidak akan berusaha untuk membela diriku dan Kakakku. Kau bisa memenjarakan kami. Tapi aku mau kalian menuntaskan kasus ini. Aku yakin sekali ada yang tidak beres pada Sheerin." Ucap Lisa dengan nada tenang.

"Apa maksudmu?" Tanya polisi itu.

Ya apa maksudmu, Lisa? Apa yang kamu tahu dan tidak kuketahui. Berhentilah bicara hal yang tidak kuketahui!

"Kau bisa pasangi aku lie detector, tapi jawabanku akan tetap sama." Ucap Lisa.

Polisi itu menimbang permintaan Lisa beberapa detik. Keringat di dahinya banyak sekali. Padahal ruangan ini dingin. Kurasa dia mulai bingung dengan kasus ini. Sejujurnya aku juga bingung, terlebih pada sikap Lisa saat ini.

Lalu polisi itu memanggil temannya dan akhirnya kami pun dibawa ke ruangan yang ada alat lie detector. Lisa mulai dipasangi sensor dari alat mengerikan itu. Dan dia masih berkata kalau dia tidak bersalah. Dia hanya ada di tempat yang salah dan waktu yang tidak tepat.



--Lisa's POV--

Aku melihatnya. Tatapan mata Sheerin berubah saat kami tiba di rumah.

Hari ini adikku Candice berangkat ke New York untuk melanjutkan kuliahnya. Selama beberapa minggu ini mama dan papaku disibukkan dengan persiapan macam-macam yang diperlukan Candice di asramanya nanti. Mereka sering bolak balik ke sekolah untuk mengurus administrasi dan membeli berbagai macam perlengkapan. Dan sejak itu adik paling kecilku Sheerin menjauh dari jangkauan orang tua kami. Aku memang tidak pernah diajak curhat olehnya, tapi aku yakin dia merasa sedikit kehilangan perhatian orang tua kami. Karena biasanya dia adalah yang paling manja.

Tapi semenjak pulang dari bandara mengantar Candice, Sher mulai kembali ceria lagi. Meskipun yang kulihat hari ini justru sebuah seringgai ambigu di wajahnya yang imut.

Saat hendak mandi, aku melewati kamar Sheerin yang pintunya sedikit terbuka. Dia sedang asyik dengan telponnya. Sepertinya dia sedang telpon dengan sahabatnya, Diva. Mereka memang suka tertawa sampai terbahak-bahak kalau sudah ngobrol berdua.

Setelah aku kembali dari kamar mandi menuju kamarku, aku lihat kali ini Sheerin menangis. Aku langsung spontan saja masuk ke kamarnya karena aku takut ada sesuatu yang membuatnya terluka. Tapi aku malah diusir keluar dengan kasar dan dia membanting pintu di depan wajahku. Kupikir mungkin dia sedang ada masalah dengan Diva. Jadi aku tidak terlalu mengambil pusing. Lagipula seberat apa sih masalah anak SMP?

Aku menuju balkon bagian belakang rumah untuk menjemur handuk. Kulihat dari ujung pinggiran besi balkon ada sesuatu yang menggantung. Aku mendekatinya. Handuk terlepas dari peganganku. Aku mendekap mulutku sangat keras hingga tak sehurufpun keluar dari mulutku. Air mata menetes dan lututku lemas.



আPrevious: Deathly Flower

আNext: Nightmare



Minggu, 12 Februari 2017

15. Deathly Flower ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Cahaya tidak akan bisa bersinar tanpa ada kegelapan.

--Aiden's POV--

Aku menyadari satu hal ketika lampu tiba-tiba menyala. Hidupku tidak akan sama lagi..

"Jangan bergerak." Ucap siluet di muka pintu yang kini kukenali sebagai polisi.

Dua orang lain mendekatiku dan melumpuhkan pergerakanku.

Aku menangis tertunduk. Aku tidak bisa menerima apa yang saat ini terjadi. Bau amis yang kucium tadi di keluarkan oleh dua sosok tak bernyawa di kakiku.

"Perampoknya masih ada, Pak." Ucapku pada polisi yang membawaku keluar kamar.

"Apa yang kau bicarakan? Perampoknya itu kau, nak." Jawab polisi itu.

Aku tersentak kaget. Pisau dapur yang ada di tanganku berlumuran darah. Begitu pula dengan tangan dan pakaianku. Mereka membawaku keluar dari kamar. Lalu dua orang lainnya membawa Lisa yang membelalak ketakutan dari sudut ruangan.

Sesaat sebelumnya aku lihat Lisa memegang sebuah tali yang ukuranya cukup besar. Tali itu terulur di lantai dari tempatnya terduduk sampai ke leher orang tuaku.

Aku menunggu di mobil bersama seorang polisi. Mereka bertukar obrolan dan kucuri sedikit. Katanya mereka menemukan seorang gadis lagi. Berusia sekitar tiga belas tahun dan bersembunyi di lemari pakaian. Gadis itu menangis tersedu-sedu ketika melihat ruangan itu penuh darah.

"SHEERIN!!" Aku berteriak. saat seorang polisi menuntun adik bungsuku keluar dari rumah.

Aku dibawa ke kantor polisi. Begitu pula dengan Lisa yang kini tubuhnya bergetar hebat.

Polisi langsung membawa aku dan Lisa ke ruang interogasi. Mereka terus menanyai kami dengan pertanyaan yang tidak bisa kami jawab. Mereka memutuskan bahwa kami adalah tersangka utama dari kasus pembunuhan orang tua kami sendiri. Tapi aku tetap tidak mau mengaku karena memang bukan aku pelakunya.

"Coba bapak bayangkan, kalau bapak pulang ke rumah dan rumah itu sudah gelap. Bapak bayangkan ada di posisi saya. Lagipula dilihat dari segi mana pun kedua orang tua saya pasti sudah mati sebelum saya menghujani mereka dengan tusukan." Aku menjelaskan dengan nada keras dan emosi membara.

"Tapi kamu tidak pulang dari mana-mana, nak. Kau baru bangun tidur lalu langsung menuju ke kamar orang tuamu." Ucap polisi.

"APANYA YANG BANGUN TIDUR? SAYA PINGSAN KARENA DIPUKUL OLEH PENJAHAT ITU!" Aku sudah benar-benar tidak bisa menahan emosiku.

"Di rumah itu hanya ada kalian dan adik kalian. Kami tidak menemukan jejak ataupun sidik jari dari orang lain." Polisi itu berkata masih dengan nada sabarnya yang biasa.

"TAPI BUKAN KAMI PELAKUNYA!" Aku terus berteriak. Lisa hanya bisa menangis dan tubuhnya bergetar semakin hebat.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah pukulan menimpa pipi kiriku. Polisi itu tidak berkata apa-apa. Namun sepertinya tangannya sudah tidak bisa menahan lagi keinginan untuk menghakimiku dengan cara yang lain.

"Nak, kuperingatkan sekali lagi. Kalau kau masih terus bersikukuh tidak bersalah, urusan ini tidak akan selesai dengan mudah. Apa kau ingin orang tuamu yang sudah meninggal itu sedih melihat anak yang membunuhnya terus melakukan kejahatan? Lebih baik kau mengaku dan kau bisa menebus dosa atas meninggalnya kedua orang tuamu."

"SUDAH KUKATAKAN, BUKAN AKU YANG MEMBUNUHNYA!" Aku berteriak lagi. Kemudian pukulan berikutnya mendarat di hidungku yang kini mengeluarkan darah.

"Kubiarkan kalian berpikir lagi." Polisi itu berkata seraya meninggalkanku berdua saja dengan Lisa.

Tubuh Lisa masih gemetar dan kini mengeluarkan keringat dingin. Kulitnya menjadi sangat pucat dan dia tampak seperti seekor kucing yang kehujanan.

"Tenanglah Lisa. Kita akan baik-baik saja." Ucapku mencoba menenangkan. Walaupun aku tahu nasib kami selanjutnya tidak akan baik-baik saja.

"Mama.. papa.." Ucap Lisa dengan suara bergetar.

Aku menarik nafas berat. Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Memang benar aku menusuk tubuh orang tuaku beberapa kali. Tapi kalau memang itu penyebab kematian mereka, saat di tusuk mereka pasti berteriak atau setidaknya mengeluarkan suara kan? Namun kalau mereka sudah mati sebelum kutusuk, bagaimana polisi tidak bisa menemukan sidik jari orang lain di rumah itu? Lalu seingatku yang kutusuk hanya satu tubuh yang menyentuh kakiku--tubuh papaku. Kenapa tubuh mamaku yang berada di samping papaku juga tertusuk? Aku bahkan tidak bisa menjangkaunya.

Aku menoleh ke wajah Lisa. Apa mungkin dia yang melakukannya? Lalu apa motifnya?

"Lisa, kau bisa ceritakan padaku apa yang terjadi padamu di rumah?" Tanyaku dengan nada biasa.

Lisa masih menggigil. Namun ia mengangguk pelan.

"Bisa kau ceritakan pada polisi juga? Mereka benar. Kita harus menyelesaikan kasus ini." Ucapku lagi.

"Y-ya." Ucapnya pelan sekali. "Tapi kurasa kita akan tetap bersalah."

Kami menunggu polisi yang tadi menginterogasi kami kembali. Lisa sudah lebih tenang sekarang. Kurasa dia sangat terpukul harus menerima kenyataan bahwa kini kami anak yatim piatu.

Polisi masuk ke ruangan kami sambil membawa sebuah laptop. Wajahnya tampak lebih ceria daripada tadi.

"Kalian beruntung adik bungsu kalian memiliki hati yang kuat." Ucap polisi itu.

"Ya. Kami beruntung." Ucap Lisa yang mendadak saja menjadi sangat berani. Berkata sambil menatap wajah polisi itu dengan tatapan yang aku sendiri tidak berani melihatnya.

"Dia pembunuhnya, kan?" Ucap Lisa lagi.




আPrevious: The Next Body

আNext: She's A


Sabtu, 11 Februari 2017

14. The Next Body ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Terkadang menjadi 'tidak tahu apa-apa' terasa lebih menyenangkan, ketimbang 'tahu segalanya' tapi tertekan beban berat.

--Aiden's POV--

Hari ini adik bungsu kami kembali mengunjungi penjara. Dua tahun lalu adalah terakhir kali ia kesini menemui kami--aku dan Lisa.

Kami dipidana pasal 340 KUHP mengenai pembunuhan berencana dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Atau kalau kami mau, eksekusi mati akan kami jalankan kapan saja sesuai persetujuan keluarga korban dari pembunuhan berencana yang dituduhkan pada kami.

Tapi pembunuhan berencana itu kebohongan besar! Baik aku ataupun Lisa sama sekali tidak bersalah.

Aku berada di tingkat 3 jenjang S1. Persis seperti Sheerin saat ini. Saat itu dia masih kelas 1 SMP.

Jadi adik bungsuku itu memang agak aneh. Mama dan papaku selalu menyuruh aku, Lisa dan Candice mengalah setiap kali Sher minta sesuatu. Dan mereka pun selalu memanjanya. Sampai ketika dia kelas 3 SD, dia pernah cuti sekolah dan diizinkan oleh mama papaku. Disitu sebenarnya aku mulai curiga pada Sher. Dibandingkan denganku saja, aku baru tahu ada sistem cuti akademik saat aku mulai masuk kuliah. Dari mana dia tahu hal seperti itu?

Belum lagi permintaannya yang ingin dibelikan komputer pribadi. Aku tahu jaman sekarang ini perkembangan teknologinya sangat pesat. Tapi darimana Sher belajar menggunakan komputer dan internet? Di sekolah kan belum diajarkan. Kami sebagai kakaknya pun belum pernah mengenalkannya ke dunia internet. Karena menurutku masih terlalu dini baginya untuk surfing di dunia maya. Pernah satu waktu aku coba cek history browser Sher dan cukup terkejut dengan result yang ditampilkan. Tiba-tiba layar komputer mati dan aku tidak bisa menyalakannya lagi.

Tapi dibalik sikapnya yang aneh, rumahku penuh dengan piagam penghargaan atas nama 'Sheraphyna Shine'. Mulai dari piagam olimpiade Sains, Matematika,  debat multi bahasa, sampai lomba piano dan menari pun pernah ia dapatkan. Aku sampai heran kenapa mamaku bisa melahirkan anak sejenius Sher.

Kekagumanku pada si adik bungsu sirna seketika saat aku pulang ke rumah pada suatu hari.

Saat itu tidak biasanya rumah terlihat gelap. Tidak ada satu pun lampu yang dinyalakan. Padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kupikir mungkin ada pemadaman bergilir karena dua rumah di kanan dan kiri rumahku juga gelap. Tapi tidak mungkin kan pemadaman listrik hanya tiga rumah yang diputus alirannya?

Hari ini keluargaku mengantarkan Candice ke bandara. Dia akan melanjutkan kuliah di salah satu universitas di kota New York. Jadi sekitar dua minggu sebelum tahun ajaran baru dimulai, dia harus sudah berada disana.

"Harusnya mereka udah balik dari bandara kan?" Ucapku.

Hanya aku yang tidak ikut mengantar Candice ke bandara karena masih ada tugas di kampus. Kulihat mobil papa sudah terparkir di halaman, berarti mereka memang sudah pulang.

Aku membuka pintu utama dan masuk ke dalam rumah.

"Mama, aku pulang." Ucapku.

"Kakaaak! Jangan masuk!" Teriak suara Sheerin dari salah satu ruangan yang aku tidak tahu ruangan mana.

"Sher, kamu dimana?" Aku balas berteriak pada Sheerin dengan nada panik.

Aku menyalakan senter dari handphoneku. Apa ini? Kenapa ruang tamu berantakan seperti ini?

Jantungku mulai berdegup kencang tak beraturan. Aku bergegas keluar lagi dan langsung memutar nomor telepon darurat. Saat menunggu nada dari operator yang menyambungkan panggilanku, tiba-tiba saja aku merasa sebuah benda tumpul menyentuh kepala bagian belakangku dengan keras. Aku ambruk di lantai lalu tidak sadarkan diri.

Aku tidak tahu jam berapa saat itu. Tapi yang pasti aku berhasil terbangun dari pingsan. Walaupun tidak ada bedanya aku buka mata atau tidak karena sepertinya pemadaman listrik masih berlangsung. Semuanya gelap.

Aku mendapati diri terbaring di tempat tidur kamarku. Aku memang pingsan, tapi aku tidak lupa apa yang terjadi. Siapa yang membawaku kesini? Aku keluar dari kamarku.

Traaang*

Semua lampu di rumah tiba-tiba menyala. Aku menuju ke kamar orang tuaku untuk mengecek apakah mereka ada disana.

"Sheerin kamu ada dimana?" Aku berteriak memanggil si adik bungsu. Tidak ada jawaban.

Kubuka pintu kamar orang tuaku. Kamar yang ini masih padam lampunya. Aku tidak bisa melihat apa-apa dari luar. Aku masuk ke dalamnya. Lalu pintu menutup sendiri di belakangku. Kegelapan kembali menyelimuti. Aku tidak bisa melihat apapun.

Aku melangkahkan kaki, lalu sepertinya aku menginjak sesuatu. Kuraba benda itu kemudian menyadari bahwa yang kupegang adalah sebilah pisau dapur. Perasaanku mulai tidak enak. Apa perampoknya ada di ruangan ini? Lalu siapa yang menutup pintu di belakangku tadi? Aku tahu normalnya aku akan mengecek pintu, tapi aku terlalu khawatir dengan keadaan orang tua dan adik-adikku, jadi aku tidak peduli dan tetap masuk lebih dalam ke kamar orang tuaku.

Aku merasa beruntung menemukan pisau dapur. Aku tidak mungkin melawan penjahat tanpa senjata. Aku melangkah lagi menuju arah tempat tidur sambil meraba tembok di sampingku mencari saklar untuk menyalakan lampu.

"Sial. Kenapa lampu nya ngga bisa nyala." Aku menekan terus saklar lampu tapi tidak nyala juga.

"Hey keluar kau. Siapa kamu?" Aku berteriak tanpa tahu siapa yang kuajak bicara.

Sreet-sreet*

Aku mendengar sesuatu terseret di lantai.

Sreet-sreet*

Semakin dekat..

Sreet-sreet*

Sesuatu menyentuh kakiku.

Aku menyadari kalau sesuatu benar-benar menyentuh kakiku. Aku membombardir benda itu dengan berkali-kali tusukan dari pisau dapur yang kupegang.

Bau amis mulai memenuhi ruangan kamar yang gelap. Aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari pisau ke tanganku.

Aku masih kaku di tempatku berlutut tanpa bisa melihat apa yang sedang terjadi. Suara seretan di lantai memang sudah tidak ada lagi. Tapi aku masih belum tahu apa dan siapa yang ada di kamar orang tuaku.

Saat aku hendak membungkuk untuk meraba benda apa yang aku tusuk, tiba-tiba pintu kamar menjeblak terbuka. Kulihat beberapa siluet bayangan orang-orang bertubuh besar di muka pintu. Mereka tampak memegang senjata.

Lalu tiba-tiba lampu menyala. Menampilkan pemandangan menjijikan di kakiku. Tepat di tempat aku menusuk benda asing yang terseret di lantai.


Jumat, 10 Februari 2017

13. Saturday Morning ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Tekanan itu semakin berat, kurasa aku akan lebih memilih hidup tanpamu. Katanya kalau cinta berarti kau harus berani berkorban kan?

Hari ini aku tidak kuliah. Sampai menjelang pagi aku masih terjaga sambil memutar nomor telpon Diva terus menerus, padahal aku tahu dia pasti sudah tidur. Aku juga mengirimi banyak sms minta maaf karena aku ketiduran dan lupa telpon dia lagi.

Sekitar jam enam, kutelpon lagi nomor Diva dan akhirnya diangkat!

"Halo." Ucap suara khas Diva yang baru bangun tidur.

"Diva maaf. Aku lupa telpon kamu lagi tadi malam. Aku ketiduran di rumah Keenan dan baru bangun larut malam. Maaf ya aku bener-bener lupa banget." Ucapku merepet tidak karuan.

"Iya Sher sayang. Kamu jangan lebay deh. Hahaha." Ucap suara Diva di seberang.

"Yaudah nanti kita jalan-jalan ya. Untuk nebus kesalahanku." Ucapku.

Diva tidak langsung menjawab sebelum akhirnya "Mmm Sher, aku mau pergi sama Doni. Gapapa ya?" Ucap Diva ragu-ragu.

"Oh, Doni ya?" Ucapku. "Oiya kamu kan udah pacaran sama dia."

"Jadi gimana? Boleh kan?" Tanya Diva.

"Tentu aja boleh. Dia kan pacar kamu." Jawabku.

"Atau kamu sama Keenan mau ikut?" Ajak Diva.

"Ngga deh. Aku belum bilang Keenan juga. Kayaknya dia udah ada acara." Jawabku.

"Oke." Ucap Diva.

"Oke. Have a nice day ya kalian." Ucapku mengakhiri telpon kami.

Aku kembali membaringkan tubuh di tempat tidur. Aku tidak mau lagi bertemu dengan Doni. Dia adalah penyebab aku  menjadi seperti sekarang ini. Dia selalu membuat aku emosi dan aku tidak bisa mengendalikan apa yang kulakukan selanjutnya. Kenapa dia harus datang lagi sih? Aku kan sudah berubah. Aku tidak seperti dulu lagi.

Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Keenan menelponku.

"Halo Sher sayang, kamu ada acara hari ini?" Tanya Keenan.

"Apa kamu pikir seorang gadis yang tinggal sebatang kara ini punya acara selain dengan pacarnya?" Jawabku dengan nada agak kesal.

"Yah, biasanya kamu kan pergi sama Diva." Ucap Keenan.

"Yah coba tebak siapa yang punya pacar baru." Ucapku.

"Jangan cemburu begitu. Gimana kalau kita pergi hari ini?" Ucap Keenan.

"Kemana?"

"Mengunjungi saudara dari anak yang sebatang kara, mungkin?" Ucap Keenan.

"Sudah lama sepertinya ya."

"Aku akan tiba disana lima belas menit lagi." Ucap Keenan.

"Mana mungkin. Rumah kamu kan jauh." Ucapku.

"Aku udah tiga perempat jalan ke rumahmu." Jawab Keenan.

"Uh kamu curang." Ucapku langsung bangun dari tempat tidur.

Keenan tertawa.

"Aku mandi sekarang. Kalau kamu udah sampai rumah masuk aja. Pintu ngga aku kunci." Ucapku.

"Oke."

Kami mengakhiri pembicaraan telpon kami.

Benar saja, lima belas menit kemudian aku mendengar gerbang dibuka dan suara mobil memasuki halaman rumah. Aku buru-buru keluar dari kamar setelah memastikan berpakaian lengkap dan rapi.

Hari ini Keenan mengenakan kaos warna merah maroon dengan celana jeans warna biru tua dan topi abu-abu tua.

"Hai ganteng." Godaku pada cowok yang kini sedang duduk santai di sofa panjang di ruang tamu.

Aku menghampiri Keenan. Lalu duduk di pangkuannya dengan posisi berhadapan dan membiarkan lipstik yang baru kupakai pindah ke bibirnya.

"Hey sejak kapan kamu jadi se-agresif ini?" Ucap Keenan sambil menjauhkan wajahku yang menempel pada wajahnya.

"Hahaha." Aku tertawa seraya menyingkir dari pangkuannya. "Kamu udah sarapan?" Tanyaku.

"Belum. Kamu punya makanan?" Tanya Keenan.

"Buah dari tetangga kemarin." Jawabku.

"Oke. Kita bisa makan sambil jalan." Ucap Keenan.

Aku ke dapur untuk mengambil beberapa jenis buah yang ditinggalkan tetangga di pintu rumahku kemarin. Apel adalah buah kesukaanku. Selain rasanya yang tidak terlalu manis dan tidak terlalu asam, aku merasa seperti seorang putri salju setiap memakan gigitan pertama. Oh tapi mungkin aku lebih mirip nenek sihir saat pertama kali memegang lalu meracuni si apel.

Aku masuk ke dalam mobil Keenan dan kami pun berangkat meninggalkan rumahku.

Satu jam perjalanan membawaku tiba di salah satu penjara di kota itu. Aku meninggalkan KTP lalu diizinkan masuk. Setelah menunggu sekitar dua menit di ruang tamu khusus, akhirnya orang yang kutunggu bersama Keenan tiba.

Sama-sama memakai seragam penjara yang berwarna orange, ditambah wajah nereka yang mirip, mereka tampak sangat serasi. Kak Aiden dan Kak Lisa menatapku dengan tatapan penuh kebencian yang biasa.

Aku menjabat tangan terborgol Kak Aiden dan Kak Lisa. Tubuh mereka sangat kurus walaupun aku tidak bisa dibilang gemuk, tapi kondisi tubuh mereka jauh lebih memprihatinkan.

Mereka duduk berhadapan denganku dan Keenan.

"Kamu sudah dapat kabar dari Candice?" Tanya Kak Aiden.

"Mmm kayaknya dia udah lupa sama dua kakaknya deh." Jawabku dengan nada mencemooh.

"Hei, jangan samakan adik kami dengan kau, iblis." Ucap Kak Lisa naik pitam.

"Hey Kak. Aku kan adik kalian juga." Protesku. "Adik tersayang malah." Aku menyeringgai kecil.

"Kamu tidak waras, Sheerin. Cepat beritahu kami keadaan Candice." Ucap Kak Aiden.

"Tenang aja Kak. Selama kalian baik-baik aja menjalani hukuman ini, Kak Can ngga akan kenapa-kenapa kok." Ucapku.

Kesunyian menyelinap di ruang tersebut selama beberapa saat. Kak Aiden tampak tidak melepas pandangannya dariku. Sedangkan Kak Lisa terus memperhatikan Keenan.

...




আPrevious: Doni

আNext: The Next Body

Rabu, 08 Februari 2017

12. Doni ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Hope is the only thing stronger than fear. But memory is the only thing you need to hoping.

Sudah tidak ada bus umum  yang lewat, jadi aku terpaksa jalan kaki dari rumah Doni ke rumahku. Aku masuk ke kamarku lewat jendela yang memang tak pernah kukunci. Sudah jam dua dini hari saat aku akhirnya sampai di kamar. 

Tiba di dalam kamar, kulihat sepiring penuh makanan. Sebelum aku pergi, aku meninggalkan pesan sms:

"Ma, Sher pusing. Aku tidur ya. Aku udah mandi kok. Makan malamnya diantar ke kamar aja. Nanti aku makan kalo aku bangun. Mama jangan nyalain lampu kamarku atau buka selimutnya ya. Aku pusing kalo lihat cahaya. Aku sayang mama."

Kulihat tempat tidurku masih rapi, aku menata guling dan bonekaku agar menyerupai aku yang tertutup selimut.

Tanpa basa basi lagi, aku langsung menyantap makan malamku dengan lahap. Ternyata balas dendam itu menyebabkan kelaparan yang luar biasa. Setelah mandi dan membersihkan pakaianku dari tanah, aku segera tidur.

Jam setengah tujuh pagi mamaku membangunkanku. Dia juga membawakan sarapan untukku karena dia pikir aku masih sakit. "Kalau kamu masih sakit, kamu ngga usah sekolah dulu sayang." Ucapnya.

Oh tidak. Aku tidak akan melewatkan saat seisi sekolah membicarakan keadaan Doni. Ucapku dalam hati.

"Aku udah sembuh mama. Aku akan masuk sekolah hari ini." Ucapku sambil beranjak dari tempat tidur.

Aku memasuki ruang kelas. Tak lama kemudian wali kelasku masuk kelas dengan raut wajah sedih. "Selamat pagi anak-anak." Ucapnya. "Hari ini kita menerima berita duka cita. Semalam Doni terjatuh dari lantai dua rumahnya dan beberapa tulangnya patah. Pulang sekolah nanti kita akan menjenguknya ke rumah sakit." Ucapnya lagi.

Banyak gumam kaget dari anak-anak sekelas. Aku tersenyum kecil.

"Bu, kenapa dia bisa jatuh?" Tanya salah satu cewek.

"Sepertinya dia sleepwalking semalam. Jadi dia berjalan saat tidur." Jawab guruku.

"Apa dia akan lama berada di rumah?" Tanyaku. Seketika saja suasana kelas menjadi senyap. Puluhan pasang mata menyorot ke arahku.

"Apa maksudmu, Sheraphyna?" Tanya guruku.

"Apa dia tidak akan masuk sekolah untuk waktu yang lama?" Tanyaku lagi dengan nada datar yang biasa.

"Kemungkinan, tapi orang tuanya tidak ingin dia tinggal kelas. Jadi nanti akan ada siaran secara langsung pelajaran di kelas dan dia akan belajar dari rumah." Jawab guruku. "Kamu sangat memperhatikan dia ya, Shera."

Oh sial. Kenapa dia tidak tinggal kelas saja sih, jadi aku tidak perlu cuti. Pikirku, sambil menyunggingkan senyuman pada guruku.

Suasana kelas kembali sepi karena guruku belum membuka pembicaraan lagi. Tiba-tiba dokter klinik sekolah memasuki ruang kelas. Wajahnya tegang.

"...Sheerin. Anjingmu mati..." Ucapnya yang langsung saja membuat suasana kelas kembali ramai gumaman anak-anak yang terkejut. Sebenarnya banyak kalimat yang diucapkan dokter klinik itu pada kami termasuk kata '..saya mendapat telpon dari rumah sakit..' dan '..saya sungguh menyesal..'. Tapi aku hanya menunggu tiga kata itu saja. Jadi aku tidak terlalu memperhatika kata-katanya yang lain.

Joker-ku mati. Sudah seharusnya kan? Untuk apa dia hidup kalau hanya akan membebaniku dalam merawatnya? Aku tidak mau memelihara anjing yang cacat.  Dan payah sekali dia tidak bisa menahan racun itu setidaknya dua puluh empat jam. Dia mati karena racun yang kuberikan padanya semalam.

Aku menunduk dan memasang wajah sedih. Seharusnya begitu kan tampangku di depan anak-anak saat tahu peliharaanku mati?

Lepas pulang sekolah kami sekelas menjenguk Doni di rumah sakit. Tentu saja aku ikut. Aku mau lihat sejauh mana aku melukainya.

Kami masuk ke kamar rawat Doni bertiga-tiga dengan seorang guru pendamping. Aku dapat kesempatan di grup terakhir.

Aku melihat seorang cowok terbaring di tempat tidur dengan kaki kanannya digantung. Perban luar biasa tebal melilit hampir seluruh bagian tubuhnya. Kurasa dibawah perban itu ada gips juga.

Aku mendekat ke bagian atas tubuh Doni. Aku menatap matanya. Dengan tajam dia membalas tatapanku. Lalu dia menangis. Kenapa dia menangis?

"Kamu kenapa sayang?" Tanya mamanya Doni.

"Sher-Sheerin. Aku minta maaf." Ucap Doni. Kata-kata yang keluar dari mulutnya membuatku terkejut. Apa kepalanya terbentur sebegitu kerasnya hingga otaknya agak aneh? 'Maaf' katanya?

"Apa?" Ucapku terkejut.

"Kudengar anjingmu mati." Ucapnya. "Sepertinya semalam aku mimpi bertemu dengannya dan tiba-tiba saja aku tidur sambil berjalan dan jatuh. Aku mendengar dia mengaum." Jelas Doni.

"Tapi dia anjing. Bukan serigala." Ucapku membenarkan.

"Maafkan aku, Sheerin." Ucap Doni lagi.

Suasana di ruang kamar itu menjadi sendu. Apa ini? Kenapa dia malah minta maaf padaku? Aku jadi merasa agak aneh. Aku senang dia merasa bersalah padaku, tapi aku tidak suka dia minta maaf di depan orang banyak seperti ini.

"Ya." Jawabku.

Aku tidak tahu berapa lama Doni tidak masuk sekolah. Terpotong libur akhir semester dan aku tidak akan bertemu dengannya di semester berikutnya karena aku mulai cuti sekolah.

Aku bertemu dengan Diva saat mulai masuk sekolah lagi. Karena aku dan Doni beda kelas, kami jarang bertemu jadi sepertinya dia telah melupakanku. Semua berjalan sesuai rencana. Di kelasku yang baru, tidak ada lagi yang menjauhi atau membully. Aku berteman dengan beberapa orang anak di kelas dan Diva adalah teman yang paling dekat denganku.

Aku menarik nafas dalam. Kembali ke tubuh dua puluh satu tahun yang sedang terbaring di kasur dingin dalam kegelapan. Ya, itu adalah salah satu memori bersama Doni yang kuingat hari ini. Bukan memori yang tiba-tiba kuingat saat bertatapan dengannya tadi sore memang. Tapi setelah bertemu dia, aku jadi merasa seperti ditarik kembali ke masa lalu. Dia adalah cowok yang membuatku menjadi seorang yang bisa dibilang tidak bersosialisasi dengan baik di masyarakat. Aku benci padanya.

"Ya ampun aku kan janji mau telpon Diva." Ucapku tersentak kaget seraya mencari-cari handphone. "Dia pasti udah tidur." Aku menyadari jam berapa sekarang.




আPrevious: Wolf

আNext: Saturday Morning






Senin, 06 Februari 2017

11. Wolf ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Whether through an act of revenge or a genuine desire to feel the thrill. Just do what you want to do to the people you meant.

Aku baru seharian menjadi pemilik Joker. Tapi dia sangat ramah pada orang yang masih bisa dibilang asing. Dia selalu menurut padaku dan aku sangat menyayanginya.

Tapi lagi-lagi cowok itu bikin aku kesal. Dia menyebar gosip bahwa anjingku adalah seekor anak serigala yang buas. Saat aku meninggalkan Joker di kelas untuk ke kamar mandi, aku lihat Joker sedang dianiaya oleh cowok menyebalkan itu. Ia memukul-mukul salah satu kakinya dengan batu.

"Hey ayolah kau pasti bisa mengaum seperti serigala." Ucap cowok menyebalkan itu.

Beberapa teman sekelasku mengerumuni Joker dengan tatapan tertarik dan penasaran.

"Kau bohong. Dia bukanlah serigala." Ucap salah satu anak cewek yang sedang menggendong tupai di bahunya.

"Aku yakin dia pasti serigala. Ayolah mengaum." Ucap cowok itu lagi, memukul kaki Joker lebih keras.

Aku berlari mendekati Joker yang kini merintih kesakitan. Salah satu kakinya memar.

"Oh hai ibu serigala, anak mu sepertinya kehilangan suaranya." Ucap cowok itu.

Aku memberi tatapan sinis kepada cowok itu tanpa berkata sedikit pun.

"Kau sungguh menyeramkan, Shine. Serigala untuk dipelihara?" Cowok itu tertawa.

Aku menggendong dan membawa Joker keluar kelas menuju ke klinik sekolah. Dadaku sesak. Aku kesal luar biasa. Awas saja kalau sampai Joker terluka parah.

"Dia baik-baik saja, bu dokter?" Tanyaku.

"Kita harus membawanya ke rumah sakit hewan, nak. Tampaknya dia tidak hanya memar. Kita harus tahu kondisi tulangnya." Ucap dokter sekolahku.

Hari itu aku izin dari sekolah dan segera membawa Joker ke rumah sakit hewan. Dia harus menginap malam itu karena harus menjalani beberapa perawatan untuk kakinya yang patah. Papa dan mamaku bilang aku tidak perlu menemani Joker di rumah sakit. Jadi aku pulang.

Langit sore itu gelap. Sepertinya akan turun hujan. Aku masuk ke kamarku dan membiarkan kegelapan menyelimutiku. Tapi hatiku tidak tenang. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu.

Aku memecahkan celenganku dan mengambil beberapa lembar uang yang berhasil kukumpulkan beberapa bulan ini. Ranselku sudah kuisi dengan sebuah semprotan, pulpen, suntik mainan, gunting, dan batu. Aku akan kembali ke rumah sakit hewan dengan naik bus umun untuk menjemput Joker.

Tiba disana suster mengenaliku sebagai pemilik Joker. Dia mengizinkanku bermain bersamanya sekitar dua puluh menit. Itu waktu yang cukup untukku.

Aku menuju ke kandang dimana Joker dirawat. Kakinya tampak diperban rapi dan tubuhnya masih lemas. Aku sedih melihat keadaannya. Dokter bilang Joker baru akan bisa menggunakan kakinya dengan normal beberapa bulan kedepan. Aku tahu setelah aku pulang nanti aku akan kesulitan merawat seekor anjing yang cacat.

Aku memeluk Joker dan mengelusnya lembut. Dia menggonggong lemah dan membalas pelukanku.

"Aku tinggal kau sebentar." Ucap suster yang mengantarku seraya pergi meninggalkan aku hanya berdua dengan Joker.

Aku hanya tersenyum padanya dan kembali mengelus Joker dengan lembut. "Aku menyayangimu, Joker." ucapku sambil menusuk kakinya yang diperban dengan pulpen lalu menyuntikkan cairan yang ada di dalam suntikan mainanku. Dia merintih sedikit. "Shuutt tenanglah sayang." Ucapku. Lalu kemudian sekitar beberapa detik berlalu, dia tenang kembali.

Aku mengembalikannya ke dalam kandang dan pamit pulang.

Aku mencuri alamat dari kartu nama yang tertempel di salah satu tas teman sekolahku. Di depan rumah sakit, aku memberhentikan taksi dan meminta pada supir untuk mengantarku ke alamat tersebut.

Aku keluar dari taksi dan mengintip sedikit ke dalam rumah melalui salah satu jendela yang terbuka. Aku yakin anak di dalam rumah itu adalah anak yang kumaksud. Beruntungnya rumah si anak ini adalah komplek perumahan terbuka tanpa ada pintu gerbang.

Aku menjauh dari jendela dan bersembunyi di semak tinggi. Aku menunggu disana sampai gelap.

Di lantai dua rumah yang kuintai terlihat siluet seorang anak yang kini bersiap untuk tidur. Jam di pergelangan tangan kiriku menunjuk pukul sembilan. Jadi aku yakin orang tua anak itu masih terjaga.

Aku bersembunyi lebih lama lagi. Menunggu sampai seluruh lampu di rumah tersebut mati.

Dinginnya udara malam itu tidak membuatku kedinginan. Aku merasa sangat bersemangat sekali. Kurasa sudah waktunya keluar dan bersenang-senang.

Aku menuju ke jendela kamar anak itu. Memanjat di dinding melalui pipa air. Sial. Jendelanya dikunci. Tapi aku yakin pintu kamarnya tidak terkunci.

Aku lompat dan memutar mencari jendela yang lain. Semuanya terkunci. Kecuali satu. Lubang anjing.

Aku memutar ke pintu depan dan mulai masuk melalui pintu anjing. Agak sempit memang, tapi aku beruntung aku masih muat lewat lubang itu.

Anjing milik keluarga itu mengendus bauku. Matanya masih terpejam. Tapi aku yakin dia merasakan kehadiranku.

Aku menyemprotnya dengan semprotan obat tidur dan dia pun kembali tenang.

Aku berjalan tanpa suara menuju ke lantai dua rumah itu.

Ceklek*

Aku menemukan seorang anak cowok berbaring di tempat tidur. Kuakui wajahnya cukup manis. Tapi sekarang bukan saatnya aku mengagumi wajahnya.

Aku menutup matanya dengan selembar kain.

Cowok itu menggerakkan badannya. Sepertinya dia tahu kalau kamarnya kedatangan tamu tak diundang. Dia hampir berteriak kalau saja aku tidak membekap mulutnya.

"Auuwwwmm.." aku menirukan suara serigala mengaum berbisik di daun telinganya lalu menyemprotkan obat tidur padanya dengan dosis yang melebihi aturan pakai.

Dia sempat kejang namun selang lima detik langsung tidak bergerak lagi. Aku menunggu sekitar semenit penuh untuk memastikan cowok itu tertidur pulas.

Untuk mengetes apakah dia akan bangun atau tidak, aku menggunting sedikit kulit bagian betis kanannya. Darah mulai mengalir keluar. Tapi cowok itu tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Jadi dapat kusimpulkan dia akan terus tertidur untuk beberapa jam ke depan.

Bersusah payah aku menurunkan tubuh cowok itu dari ranjang tempat tidurnya. Badannya memang lebih besar daripada badanku. Tapi aku masih bisa menyeretnya menuju ke jendela.

"Tenang saja, aku akan menemanimu terjun ke bawah dari sini." Ucapku pada tubuh tidak sadar si cowok.

Aku tidak lupa untuk mengunci pintu kamar si cowok agar orang tuanya tidak mencurigai ada penyusup. Setelah itu aku bersiap di jendela. Aku memanjatkan tubuhku lalu menarik tubuh si cowok.

Kami siap terjun. Aku memegangi tubuh si cowok dengan erat. Kutekuk kaki kanannya ke belakang dan mulai menjatuhkan diri dengan tubuh cowok itu di bawah tubuhku. Tidak sampai tiga puluh detik di udara, kami pun mendarat di tanah keras dengan bunyi debum cukup keras.

Lampu kamar orang tua si cowok mendadak menyala.

Darah mulai keluar dari beberapa bagian tubuh si cowok yang tidak bisa kulihat jelas karena gelap (aku mencium bau amisnya). Sedangkan tubuhku mendarat tanpa luka sedikitpun karena aku menggunakan tubuh si cowok sebagai bantalan mendarat.

Aku beranjak dari tubuh si cowok dan menuju semak-semak persembunyianku tadi.

Lampu rumah itu mulai nyala mengikuti gerakan dua bayangan orang dewasa menuju ke pintu utama rumah. Gonggongan anjing mulai menyeruak diantara kesunyian malam itu. Sepertinya aku tidak menyemprotkan obat tidur dengan cukup pada si anjing.

Ayah cowok itu keluar rumah dengan membawa sebuah pistol. Dia berjalan perlahan ke tempat si anak terjatuh.

Menyadari anaknya tidak sadarkan diri dan bergelimang darah, dia berteriak pada istrinya untuk memanggil ambulans.

Dari semak-semak aku tertawa kegirangan. "Jangan pernah mengganggu anak serigala kalau kau tak siap dibalas ibunya. Rasakan itu, Doni." Ucapku pada diriku sendiri lalu beranjak pergi dari semak-semak.



আPrevious: Sheraphyna Shine

আNext: Doni

Minggu, 05 Februari 2017

10. Sheraphyna Shine ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Sekalipun dia gila, saat ia mengingat memori yang telah ia lalui, ia akan menangis. Kau tidak bisa memilih akan jadi apa dirimu. Life is just watch and learn.

Aku kembali dari rumah Keenan sekitar pukul satu dini hari. Diantar oleh Keenan dan Grace. Kebetulan orang tua mereka tidak jadi pulang malam itu dan akhirnya setelah aku juga ketiduran di pelukan Keenan (tidak jadi memasak), mereka harus keluar untuk mencari makan. Kami bertiga makan malam (yang kelewat malam) di warung pinggir jalan. Banyak yang memberikan pandangan sinis kenapa kami membawa anak 3 tahun keluar rumah sangat larut malam. Tapi aku dan Keenan tak peduli. Grace juga tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan.

Tiba di depan rumahku, Grace merasa agak terganggu. Ya memang kalau dibandingkan dengan rumah Keenan, rumahku ini jauh lebih kecil dan lebih tidak terurus. Maklum saja, aku hanya tinggal seorang diri di rumah bertingkat 2 ini.

Sebelum kedua orang tuaku meninggal, rumah ini sangat ramai. Mereka sangat suka mengadakan pertemuan dengan tetangga-tetangga komplek. Makanya saat mereka meninggal dengan berita yang kurang enak didengar pun para tetangga bukannya jijik malah bersimpati dan penasaran. Banyak dari mereka yang mengunjungi rumahku untuk menghibur dan memberikanku makanan. 

Sebelum aku membuka pintu, aku menemukan sekeranjang penuh buah-buahan. Di atasnya ada secarik kertas yang bertuliskan:

"Jaga kesehatanmu, adik Shine. Kalau ada apa-apa jangan sungkan minta tolong pada kami."

Buket makanan ini tidak terjadi sekali atau dua kali. Tapi bisa empat hingga lima kali dalam seminggu. Kebaikan yang ditanam oleh kedua orang tuaku kini aku yang menuainya. Tetangga disini sangat baik padaku.

Aku masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarku. Aku tidak pernah menyalakan lampu kecuali jika aku butuh penerangan untuk dandan. Aku lebih suka berada dalam kegelapan. Seperti ada sesuatu yang memeluk dan menyelimutiku dengan aura dingin yang kusuka.

Aku membaringkan tubuh di tempat tidur. Mataku terbuka menatap langit-langit kamarku dalam kegelapan. Terkadang pada waktu-waktu tertentu seperti sekarang, aku merindukan keluargaku. Aku kangen kakak-kakakku yang sangat memanjaku. Mereka selalu menuruti semua permintaanku.

Dulu, ada saat dimana rumah ini selalu terang dan damai. Mama memasak makanan yang aku suka. Kadang dia juga memasak untuk dibagikan ke tetangga. Orang-orang bilang rumah kami selalu bercahaya. Nama keluarga kami memang 'Shine' yang artinya bersinar. Banyak yang kagum pada kebaikan orang tuaku.

Namaku Sheraphyna Shine.

Aku teringat sebuah rahasia kecil. Saat ini aku adalah seorang mahasiswa tingkat 3. Usiaku 21 tahun dan aku adalah anak keempat dari empat orang anak hasil pernikahan Bapak dan Ibu Shine. Kakak pertamaku adalah seorang laki-laki bernama Aiden, dia punya saudara kembar yang seorang perempuan bernama Lisa yang juga merupakan kakak keduaku. Selang sekitar 2 tahun, kakak ketigaku lahir, dia adalah seorang perempuan bernama Candice. Lalu aku lahir sekitar 5 tahun kemudian.

Ketiga kakakku adalah orang yang sangat baik. Sejak kecil aku dipenuhi memori indah bermain bersama mereka. Mereka tidak pernah beradu argumen denganku dan lebih memilih mengalah demi apa pun yang aku inginkan.

Saat aku mulai masuk taman kanak-kanak, aku merasa tidak nyaman. Banyak teman sekelasku yang tidak memberikan apa yang aku inginkan. Mereka selalu merusak mood-ku. Aku sering sekali berkelahi dan berebut mainan. Hingga akhirnya salah satu dari mereka mimisan karena hidungnya aku pukul dengan batu.

Setelah kejadian itu, teman-teman yang lain mulai menjauhiku. Orang tua mereka juga melarang untuk berteman denganku. Aku tidak tahu apa yang salah dengan hal itu. Aku hanya memukulnya sekali. Dan aku tidak akan begitu kalau dia tidak merusak mood-ku. Salah dia sendiri kenapa dia begitu lemah dan langsung mengeluarkan darah dengan sekali pukulan. Padahal dia kan laki-laki, seharusnya dia jauh lebih kuat daripada batu.

Saat aku masuk ke sekolah dasar, aku bertemu dengan orang-orang baru. Mereka memberikan senyuman yang tidak pernah lagi kulihat sejak kejadian di TK dulu. Mereka tampaknya menyukaiku. Aku yakin aku bisa memiliki teman kali ini.

Tapi tunggu. Laki-laki lemah itu ada di kelas yang sama denganku. Kulihat hidungnya masih bengkok sejak terakhir kali kami bertemu.

Aku tidak sadar mulai kapan aku benar-benar sendirian lagi. Tak ada satupun anak yang mau berteman denganku lagi. Semua gara-gara pengaruh dari gosip yang disebarkan oleh anak laki-laki itu. Aku benar-benar tidak punya seorang pun teman.

Naik ke kelas 3 SD, aku mulai malas masuk sekolah.

"Ma, Sher ngga mau masuk sekolah." Ucapku

"Lagi? Ada apa nak? Kamu sudah bolos lima belas hari dalam sebulan ini. Ada masalah?" Tanya mamaku.

"Ngga. Aku cuma kangen mama. Aku mau berdua sama mama di rumah." Ucapku.

"Kamu harus sekolah, sayang." Ucap mamaku lembut.

"Tapi aku ngga mau, ma." Aku berkata sambil berlari menuju ke ruang keluarga.

Aku mengambil telpon rumah dan menekan nomer handphone papaku.

"Pa, belikan aku komputer ya. Aku bosan di rumah. Aku mau main game." Ucapku.

"Kamu tidak sekolah, nak?" Tanya papaku.

"Aku lagi ngga enak badan, Pa. Please ya pa." Ucapku.

"Kamu kan bisa pakai komputer kakak, nak." Ucap papaku.

"Tapi aku mau personal milikku sendiri, papa." Ucapku.

"Baiklah nanti papa coba belikan ya." Ucap papaku akhirnya.

Mamaku datang dari arah dapur mendekatiku yang kini sedang mengganti-ganti saluran televisi.

"Sayang, kamu ada masalah di sekolah?" Tanya mamaku lembut.

"Ngga, ma. Aku cuma lagi malas sekolah aja. Boleh aku cuti?" Ucapku tanpa memalingkan perhatian dari televisi.

"Sayang, kamu masih kelas 3 SD. Masa kamu mau cuti."

"Mama." Aku berlari ke pelukan mamaku dan menangis.

"Ceritakan pada mama apa yang terjadi, nak." Tanya mamaku sambil mengelus lembut rambutku.

"Ada seorang cowok yang benci sama aku. Tolong izinkan aku untuk tidak satu kelas dengannya lagi. Dia selalu bully aku, ma." Aku menangis sejadi-jadinya. "Tolong jangan laporkan ini kepada guru. Aku ngga mau mama dipanggil ke sekolah. Aku hanya perlu tidak satu kelas lagi dengan cowok itu, ma."

"Jadi ini semua karna satu cowok?" Tanya mamaku dengan sedikit senyum di wajahnya.

Aku mengangguk.

"Mungkin dia begitu karena dia suka padamu, Sheerin." Ucap mamaku.

"Aku ngga peduli, ma. Aku ngga mau sekelas lagi sama dia." Ucapku.

Mamaku melepaskan pelukannya. Lalu dia menghadapkan wajahnya tepat di depan wajahku.

"Nak, kalau kamu memang mau seperti itu, mama akan turuti. Tapi kamu harus masuk sekolah sampai akhir semester ini, ya." Ucap mamaku.

"Mama janji?" tanyaku.

"Iya mama janji. Nanti mama akan bilang ke papa."

Aku memeluk lagi tubuh mamaku yang hangat.

Sorenya, papaku pulang membawa satu set komputer seperti yang kuminta. Dia bilang aku baru boleh memainkannya saat nanti aku benar-benar sudah tidak sekolah. Jadi komputer itu belum bisa dipasang saat itu juga.

Aku menepati janjiku untuk tetap masuk sekolah sampai semester berakhir. Aku berusaha untuk tidak peduli pada pandangan teman sekelasku saat itu. Sebetulnya aku anak yang sangat pintar di pelajaran sekolah. Rangking satu pun tidak pernah lepas dari rapor yang diberikan guru. Jadi mungkin itu salah satu alasan orang tuaku selalu menuruti permintaanku.

Hari ini kami disuruh mengenalkan hewan peliharaan kami dan membawanya ke sekolah. Aku belum pernah punya hewan peliharaan sebelumnya. Jadi sehari sebelumnya aku meminta dibelikan seekor anak anjing pada papa.

Seketika saja kelas berubah menjadi tempat penitipan hewan peliharaan. Suara gonggong dan meong mendominasi suasana kelas hari itu. Banyak yang membawa kucing dan anjing. Ada juga yang membawa hamster, kelinci, ikan mas, bahkan tupai dan burung kakatua.

Kebanyakan dari yang membawa anjing adalah jenis anjing pudel yang lucu dan berbulu. Hanya aku yang membawa jenis anjing siberian husky yang sekilas hampir mirip dengan serigala. Banyak yang terlonjak dan bahkan jatuh dari kursi mereka saat aku membawa masuk Joker--anjingku.



আPrevious: Witness

আNext: Wolf