Senin, 06 Februari 2017

11. Wolf ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Whether through an act of revenge or a genuine desire to feel the thrill. Just do what you want to do to the people you meant.

Aku baru seharian menjadi pemilik Joker. Tapi dia sangat ramah pada orang yang masih bisa dibilang asing. Dia selalu menurut padaku dan aku sangat menyayanginya.

Tapi lagi-lagi cowok itu bikin aku kesal. Dia menyebar gosip bahwa anjingku adalah seekor anak serigala yang buas. Saat aku meninggalkan Joker di kelas untuk ke kamar mandi, aku lihat Joker sedang dianiaya oleh cowok menyebalkan itu. Ia memukul-mukul salah satu kakinya dengan batu.

"Hey ayolah kau pasti bisa mengaum seperti serigala." Ucap cowok menyebalkan itu.

Beberapa teman sekelasku mengerumuni Joker dengan tatapan tertarik dan penasaran.

"Kau bohong. Dia bukanlah serigala." Ucap salah satu anak cewek yang sedang menggendong tupai di bahunya.

"Aku yakin dia pasti serigala. Ayolah mengaum." Ucap cowok itu lagi, memukul kaki Joker lebih keras.

Aku berlari mendekati Joker yang kini merintih kesakitan. Salah satu kakinya memar.

"Oh hai ibu serigala, anak mu sepertinya kehilangan suaranya." Ucap cowok itu.

Aku memberi tatapan sinis kepada cowok itu tanpa berkata sedikit pun.

"Kau sungguh menyeramkan, Shine. Serigala untuk dipelihara?" Cowok itu tertawa.

Aku menggendong dan membawa Joker keluar kelas menuju ke klinik sekolah. Dadaku sesak. Aku kesal luar biasa. Awas saja kalau sampai Joker terluka parah.

"Dia baik-baik saja, bu dokter?" Tanyaku.

"Kita harus membawanya ke rumah sakit hewan, nak. Tampaknya dia tidak hanya memar. Kita harus tahu kondisi tulangnya." Ucap dokter sekolahku.

Hari itu aku izin dari sekolah dan segera membawa Joker ke rumah sakit hewan. Dia harus menginap malam itu karena harus menjalani beberapa perawatan untuk kakinya yang patah. Papa dan mamaku bilang aku tidak perlu menemani Joker di rumah sakit. Jadi aku pulang.

Langit sore itu gelap. Sepertinya akan turun hujan. Aku masuk ke kamarku dan membiarkan kegelapan menyelimutiku. Tapi hatiku tidak tenang. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu.

Aku memecahkan celenganku dan mengambil beberapa lembar uang yang berhasil kukumpulkan beberapa bulan ini. Ranselku sudah kuisi dengan sebuah semprotan, pulpen, suntik mainan, gunting, dan batu. Aku akan kembali ke rumah sakit hewan dengan naik bus umun untuk menjemput Joker.

Tiba disana suster mengenaliku sebagai pemilik Joker. Dia mengizinkanku bermain bersamanya sekitar dua puluh menit. Itu waktu yang cukup untukku.

Aku menuju ke kandang dimana Joker dirawat. Kakinya tampak diperban rapi dan tubuhnya masih lemas. Aku sedih melihat keadaannya. Dokter bilang Joker baru akan bisa menggunakan kakinya dengan normal beberapa bulan kedepan. Aku tahu setelah aku pulang nanti aku akan kesulitan merawat seekor anjing yang cacat.

Aku memeluk Joker dan mengelusnya lembut. Dia menggonggong lemah dan membalas pelukanku.

"Aku tinggal kau sebentar." Ucap suster yang mengantarku seraya pergi meninggalkan aku hanya berdua dengan Joker.

Aku hanya tersenyum padanya dan kembali mengelus Joker dengan lembut. "Aku menyayangimu, Joker." ucapku sambil menusuk kakinya yang diperban dengan pulpen lalu menyuntikkan cairan yang ada di dalam suntikan mainanku. Dia merintih sedikit. "Shuutt tenanglah sayang." Ucapku. Lalu kemudian sekitar beberapa detik berlalu, dia tenang kembali.

Aku mengembalikannya ke dalam kandang dan pamit pulang.

Aku mencuri alamat dari kartu nama yang tertempel di salah satu tas teman sekolahku. Di depan rumah sakit, aku memberhentikan taksi dan meminta pada supir untuk mengantarku ke alamat tersebut.

Aku keluar dari taksi dan mengintip sedikit ke dalam rumah melalui salah satu jendela yang terbuka. Aku yakin anak di dalam rumah itu adalah anak yang kumaksud. Beruntungnya rumah si anak ini adalah komplek perumahan terbuka tanpa ada pintu gerbang.

Aku menjauh dari jendela dan bersembunyi di semak tinggi. Aku menunggu disana sampai gelap.

Di lantai dua rumah yang kuintai terlihat siluet seorang anak yang kini bersiap untuk tidur. Jam di pergelangan tangan kiriku menunjuk pukul sembilan. Jadi aku yakin orang tua anak itu masih terjaga.

Aku bersembunyi lebih lama lagi. Menunggu sampai seluruh lampu di rumah tersebut mati.

Dinginnya udara malam itu tidak membuatku kedinginan. Aku merasa sangat bersemangat sekali. Kurasa sudah waktunya keluar dan bersenang-senang.

Aku menuju ke jendela kamar anak itu. Memanjat di dinding melalui pipa air. Sial. Jendelanya dikunci. Tapi aku yakin pintu kamarnya tidak terkunci.

Aku lompat dan memutar mencari jendela yang lain. Semuanya terkunci. Kecuali satu. Lubang anjing.

Aku memutar ke pintu depan dan mulai masuk melalui pintu anjing. Agak sempit memang, tapi aku beruntung aku masih muat lewat lubang itu.

Anjing milik keluarga itu mengendus bauku. Matanya masih terpejam. Tapi aku yakin dia merasakan kehadiranku.

Aku menyemprotnya dengan semprotan obat tidur dan dia pun kembali tenang.

Aku berjalan tanpa suara menuju ke lantai dua rumah itu.

Ceklek*

Aku menemukan seorang anak cowok berbaring di tempat tidur. Kuakui wajahnya cukup manis. Tapi sekarang bukan saatnya aku mengagumi wajahnya.

Aku menutup matanya dengan selembar kain.

Cowok itu menggerakkan badannya. Sepertinya dia tahu kalau kamarnya kedatangan tamu tak diundang. Dia hampir berteriak kalau saja aku tidak membekap mulutnya.

"Auuwwwmm.." aku menirukan suara serigala mengaum berbisik di daun telinganya lalu menyemprotkan obat tidur padanya dengan dosis yang melebihi aturan pakai.

Dia sempat kejang namun selang lima detik langsung tidak bergerak lagi. Aku menunggu sekitar semenit penuh untuk memastikan cowok itu tertidur pulas.

Untuk mengetes apakah dia akan bangun atau tidak, aku menggunting sedikit kulit bagian betis kanannya. Darah mulai mengalir keluar. Tapi cowok itu tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Jadi dapat kusimpulkan dia akan terus tertidur untuk beberapa jam ke depan.

Bersusah payah aku menurunkan tubuh cowok itu dari ranjang tempat tidurnya. Badannya memang lebih besar daripada badanku. Tapi aku masih bisa menyeretnya menuju ke jendela.

"Tenang saja, aku akan menemanimu terjun ke bawah dari sini." Ucapku pada tubuh tidak sadar si cowok.

Aku tidak lupa untuk mengunci pintu kamar si cowok agar orang tuanya tidak mencurigai ada penyusup. Setelah itu aku bersiap di jendela. Aku memanjatkan tubuhku lalu menarik tubuh si cowok.

Kami siap terjun. Aku memegangi tubuh si cowok dengan erat. Kutekuk kaki kanannya ke belakang dan mulai menjatuhkan diri dengan tubuh cowok itu di bawah tubuhku. Tidak sampai tiga puluh detik di udara, kami pun mendarat di tanah keras dengan bunyi debum cukup keras.

Lampu kamar orang tua si cowok mendadak menyala.

Darah mulai keluar dari beberapa bagian tubuh si cowok yang tidak bisa kulihat jelas karena gelap (aku mencium bau amisnya). Sedangkan tubuhku mendarat tanpa luka sedikitpun karena aku menggunakan tubuh si cowok sebagai bantalan mendarat.

Aku beranjak dari tubuh si cowok dan menuju semak-semak persembunyianku tadi.

Lampu rumah itu mulai nyala mengikuti gerakan dua bayangan orang dewasa menuju ke pintu utama rumah. Gonggongan anjing mulai menyeruak diantara kesunyian malam itu. Sepertinya aku tidak menyemprotkan obat tidur dengan cukup pada si anjing.

Ayah cowok itu keluar rumah dengan membawa sebuah pistol. Dia berjalan perlahan ke tempat si anak terjatuh.

Menyadari anaknya tidak sadarkan diri dan bergelimang darah, dia berteriak pada istrinya untuk memanggil ambulans.

Dari semak-semak aku tertawa kegirangan. "Jangan pernah mengganggu anak serigala kalau kau tak siap dibalas ibunya. Rasakan itu, Doni." Ucapku pada diriku sendiri lalu beranjak pergi dari semak-semak.



আPrevious: Sheraphyna Shine

আNext: Doni

0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!