Selasa, 31 Januari 2017

07. Regret ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


"Maaf aku tidak bisa menyelamatkan ayahmu. Maaf kakiku patah dengan satu peluru. Maaf aku tidak sekuat penjahat yang sudah menculikmu. Maaf aku tidak bisa menjagamu lebih dari ini. Maaf aku harus menjadi orang yang jahat."


Di belakang lemari, jempolku sibuk menekan nomer telepon darurat. "Lacak aku. Kumohon, temanku diculik." Aku berbisik ke ponselku lalu menggeletakkannya di lantai dengan status masih menelpon sampai sekitar satu menit. Setelah itu kumatikan lalu aku membiarkan si penjahat mendekatiku.

Sekitar lima langkah jarakku dengan si penjahat, aku berteriak. "Tunggu!!" Lalu pria itu berhenti.

"Aku mau bilang satu hal pada ayah Diva. Tolong izinkan aku." Ucapku.

Tidak ada tanggapan dari si penjahat maupun ayah Diva.

"Aku mohon. Setelah itu kau bisa bunuh aku. Aku benar-benar harus mengatakan kata-kata terakhirku kan?" Sambungku dengan nada memelas.

Aku keluar dari persembunyianku dan berjalan timpang menuju ayah Diva di sudut ruangan. Ayah Diva memberi gerakan tangan yang berarti 'tahan tembakan' kepada si penjahat.

"Kau mau bilang apa?" Tanya ayah Diva dingin.

"Om, papaku ngga akan mengorbankan anaknya demi keuntungan bisnis. Tapi kalau memang ini jalanmu, pastikan Diva akan hidup sampai remaja dan dewasa. Aku sayang sama dia. Aku ngga mau nasibnya berakhir seperti aku. Dan jangan sampai dia tahu kau melakukan ini padanya. Dia pasti akan sangat sedih." Ucapku sambil bercucuran air mata.

Ayah Diva melongo mendengar kata-kataku. Kulihat dia berpikir keras mencerna tiap kata yang keluar dari bibir kecilku.

"Sekarang kau bisa bunuh aku." Aku berkata sambil berbalik membelakangi ayah Diva dan menghadap si penjahat yang sudah siap dengan pistolnya.

Si penjahat menarik pelatuk untuk kedua kalinya. Dan kedua kalinya pula ia tidak tepat sasaran. Aku yakin tadi dia membidik kepalaku. Namun setelah kuraih leher ayah Diva dan naik ke punggungnya, tubuh ayah Diva pun membungkuk dan 'dorr!' kepalanya bolong, sebuah peluru bersarang di otaknya yang tidak waras.

"Itu balasan karena menculik temanku." Ucapku sambil merebut pistol dari tangan ayah Diva yang kini sudah tidak bernafas lagi.

Aku  mengarahkan pistol ke si penjahat. Namun sepertinya dia masih tidak sadar karena masih terlalu kaget memperhatikan tubuh mati ayah Diva yang jatuh ke lantai.

"Kau mau menyusul?" Ucapku pada si penjahat membuyarkan pikiran kosongnya.

Aku masih menodongkan pistol yang kurebut dari ayah Diva ke arah si penjahat. Dia terkejut, namun tidak takut. Dia yakin tidak ada anak Tingkat Sekolah Dasar yang bisa menggunakan senjata api di tanganku ini.

"Coba saja, yang itu hanya kuisi 2 peluru. Dan keduanya sudah ditembakkan orang tua bodoh itu." Ucap si penjahat.

"Coba saja tembak aku. Aku tidak takut padamu." Ucapku tenang.

Si penjahat menarik pelatuk pistolnya berkali-kali. Namun yang keluar hanyalah bunyi 'ceklak-ceklek' dan bukannya peluru. Wajahnya mulai panik.

Aku mengambil target salah satu--atau mungkin beberapa--bagian tubuh si penjahat. Sekuat tenaga aku berusaha menarik pelatuk yang ternyata sangat keras. Detik berikutnya si penjahat menjatuhkan pistol dalam gengamannya dan mulai mengerang kesakitan sambil memegang kedua kakinya.

Aku mendekati si penjahat dengan jalan timpang sambil mengosongkan pistol yang tadi kupakai untuk menembak kakinya. Darah segar sudah membasahi sebagian kakinya yang tertembus peluru. "Kita impas." Ucapku seraya melempar pistol ke dekatnya dan mengambil tali dan kursi. Aku masih terus berjalan timpang sampai ke sudut lain ruangan.

Si penjahat tidak melepas pandangannya dariku. "Kau mau apa lagi?" Tanya si penjahat dengan nada sedikit ketakutan.

"Kau bocah gila! Kau tidak waras!" Si penjahat berteriak tanpa bisa bergerak sesentipun. Aku memastikan tembakanku tadi tidak hanya membuat retak tulangnya. Aku yakin aku meremukkannya.

'Plak-plak-plak'



আPrevious: Stuck

আNext: The New Me

Minggu, 29 Januari 2017

06. Stuck ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Aku merasa kesepian, aku berharap akan ada yang bisa menenangkan pikiranku dari memikirkan hal yang tak perlu. Tapi untuk saat ini aku hanya ingin terbuka dengan diriku sendiri dan membiarkan yang lain tidak mengenalku sama sekali.


Rumah itu tidak bisa kubilang kumuh. Tapi aku tidak bisa bilang juga kalau rumah itu nyaman untuk ditinggali. Hanya ada satu lampu menyala di rumah itu. Aku mendekat ke jendela yang di dalamnya ada cahaya. Gelak tawa terdengar keras dari dalam ruangan itu.

"Kalian melakukan kerja kalian dengan sangat baik." Ucap suara yang sepertinya aku kenal.

"Kami tidak pernah mengecewakan klien kami, Pak." Ucap seorang laki-laki yang tidak kukenali suaranya dengan nada bangga.

Lalu tawa lagi.

Tawa berlalu. Seseorang berteriak dengan suara serak dan lemah yang sepertinya berasal dari ruangan lain di rumah itu.

"Kau yakin kami tidak harus memberinya makan, Pak?" Ucap seorang laki-laki.

"Tidak perlu. Klienku harus melihat kondisinya yang mengenaskan agar mereka terus merasa iba dan tidak membatalkan perjanjian kerjanya denganku." Ucap suara itu lagi.

Aku masih berusaha untuk tidak mengeluarkan bunyi sedikitpun. Aku menahan nafas dan amarahku. Aku tahu suara orang yang tadi dipanggil 'Pak' oleh suara yang lain.

"Kalian memastikan di dalam sana dia tidak akan mendengar suara dari luar kan?" Ucap suara 'Pak' itu lagi.

"Seperti yang kau minta, Pak." Jawab pria yang lain.

"Bagus. Bisa gawat kalau sampai dia tahu aku ada disini mengobrol bersama kalian."

Aku memutar ke arah pintu masuk. Mengetuk beberapa kali. Tak lama menunggu, seseorang terdengar sedang membuka pintu. Lalu dua orang laki-laki bertubuh besar menodongku dengan pistol dan posisi waspada.

"Oh, kau lagi. Dari mana kamu tahu kami disini?" Ucap salah satu dari mereka dengan nada meremehkan tapi kaget.

"Apa kamu mau memberikan kaki yang satunya, gadis kecil?" Ucap yang lain dengan nada menggoda sambil mengetuk pelan tongkat jalanku.

"Tidak. Aku hanya ingin bertamu. Dan biar kuberi satu saran, kalau kalian mau jadi penjahat yang hebat, mulailah belajar teknologi." Ucapku tenang.

"Apa kamu gila, anak kecil? Kami ini penjahat yang jahat. Jangan beraninya menghina kami." Ucap laki-laki pertama agak geram.

"Tidak sejahat orang berjas di dalam." Jawabku.

Mata kedua laki-laki tersebut membelalak. Mereka langsung menangkap dan menghentikan pergerakkanku yang bisa dibilang aku nyaris tidak bergerak dan tubuhku setenang manekin. Mereka membawaku masuk ke dalam ruangan yang tadi kuintip dari jendela.

Pria berjas yang kusebutkan berjengit ngeri saat aku dibawa masuk.

"Hey untuk apa kalian bawa masuk dia? Kalian tahu siapa anak ini kan?" Ucap pria berjas.

"Dia sudah tahu kau ada disini, Pak." Ucap laki-laki pertama.

Aku masih diam dengan tangan di belakang punggung.

"Apa maumu anak kecil?" Tanya pria berjas sambil menatap mataku dengan geram.

"Maaf, Om. Tapi teman baikku ada di dalam sana. Aku harus membawanya pulang." Jawabku tenang.

Pria bertubuh besar tadi mempererat pegangannya pada tanganku. Seakan takut seorang gadis kelas 6 SD akan memukulinya hingga pingsan.

"Apa yang akan kita lakukan dengan anak ini, Pak?" Ucap pria yang memegangiku.

"Apa lagi? Bunuh dia. Kita tidak boleh meninggalkan saksi."

Aku pikir itu adalah terakhir kalinya aku mendengar suara Diva. Aku akan dibunuh oleh ayah teman baikku. Sungguh bukan akhir hidup yang kuharapkan.

Pria bertubuh besar tadi kembali menodongkan pistolnya ke keningku sementara yang lainnya memegangi tubuhku erat. Aku mulai berpikir mungkin inilah akhir hidupku. Aku tak berdaya di tangan para penjahat yang tubuhnya tiga kali lebih besar dari tubuhku.

Saat aku mulai kehilangan semua harapanku untuk hidup, tiba-tiba aku merasa seperti disentakkan keras dan muncul perasaan seperti tidak takut mati. Jantungku berdetak cepat beraturan dan darahku panas mendidih. Aku tidak benar-benar menyadari apa yang terjadi pada tubuhku. Yang kuingat, Diva. Kalau aku mati sekarang, dia juga akan mati bersamaku. Masih banyak hal yang ingin dia lakukan di masa depan.

Aku bertumpu kuat pada kedua lututku dan dengan hitungan sedetik, aku menolak lantai dan lompat di udara. Tepat ketika pria yang menodong pistol menarik pelatuknya.

Pria yang memegangiku beberapa detik lalu rubuh ke lantai. Dadanya bolong dan darah mulai menggenangi tempatnya terbaring.

"DASAR ANAK KURANG AJAR!" Ucap ayah Diva geram.

Aku baru teringat kakiku yang terperban dengan tulang retak. Kenapa tiba-tiba saja aku sembuh? Aku tidak memikirkan hal itu sekarang, segera setelah aku menyadari aku bisa menggunakan kedua kakiku dengan normal, aku melempar tongkat jalanku. Karena peluru kedua dan ketiga meluncur dari pistol yang dipegang ayah Diva.

Aku berlari ke belakang sebuah lemari kayu.

"Kamu harus membayarnya, anak kecil! Temanku mati gara-gara kau!" Pria yang tadi menodongku berteriak keras marah sekali.

"Padahal kau yang membunuhnya kan." Ucapku tenang.

Aku membiarkan si penjahat mendekatiku.



আPrevious: Throw Back

আNext: Regret

Sabtu, 28 Januari 2017

05. Throw Back ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Masa depan itu mustahil bisa kita ketahui. Sekalipun kau punya sebuah mesin waktu, kau bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi sedetik lagi.

Cahaya lampu terasa sangat menyilaukan saat kubuka kedua mataku. Aku lelah. Apa yang telah aku lakukan sampai aku merasa selelah ini? Tanganku meraih kening yang kuraba terasa ada beberapa lapis perban membalutnya. 

"Ma! Sheerin bangun, Ma!" Teriak seorang perempuan.

Tak lama kemudian ada seorang perempuan lagi (kini lebih tua) berlari memasuki kamar yang tempat tidurnya aku tempati.

"Sher sayang, kamu bangun nak." Ucap perempuan tua itu dengan wajah lega.

"Mama.." Ucapku terbata memanggilnya.

Lalu datang beberapa orang lagi ke dalam kamar itu. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka mengelilingi ranjang dimana aku terbaring.

Aku mencoba duduk. Tapi kakiku terasa kelu. Aku tak dapat sepenuhnya mengendalikan kaki kananku. Aku ingat sekarang. Hari itu aku tertembak oleh sebuah peluru saat aku mencoba melawan pria dewasa yang membawa Diva dengan paksa ke mobil mereka. Kakiku patah lalu aku tak sadarkan diri karena tubuhku jatuh dan kepalaku membentur trotoar jalan.

"Ma, Diva mana?" Ucapku lemah.

Mamaku menatap dengan mata sendu.

"Ma, Diva mana?" Ucapku lagi dengan suara lebih keras.

Semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam. Mereka menunduk dan menghindari tatapanku. Aku pun terdiam. Aku kesal. Aku gagal mendapatkan Diva kembali.

Aku disuruh tinggal di rumah sakit satu hari lagi. Kakiku mulai bisa kugerakkan, katanya tulangnya tidak sampai patah, hanya retak sedikit. Dokter bingung kenapa aku bisa sembuh lebih cepat dari pasien lain dengan keadaan sama. Tapi aku tak peduli. Aku masih belum mendapat kabar dari Diva yang diculik. Dia adalah satu-satunya teman yang aku miliki.

Papaku yang saat itu berbaring di sofa untuk menemaniku sudah tertidur lelap. Sepertinya dia kelelahan karena siangnya dia bekerja dan ditambah harus menjagaku malam ini. Aku membiarkannya tidur pulas dan mengendap-endap lewat jendela. Agak sulit bergerak melewati lubang jendela dengan tongkat jalan. Tapi akhirnya aku bisa menyusup keluar dan menuju ke mobil papaku.

Usiaku memang baru 12 tahun. Tapi aku sering melihat papa mengemudi. Aku pasti bisa melakukan hal yang sama. Hanya menginjak beberapa pedal dan menggerakkan persneling kan?

Sekarang tinggal bagaimana aku bisa melewati portal rumah sakit. Aku tidak punya kartu parkir.

Aku melajukan mobil papa sampai kecepatan diatas 90km/jam Menginjak pedal dengan kaki dan tongkat jalanku, sedetik berikutnya aku menabrak lembut portal dan membuatnya patah dengan bunyi luar biasa keras. Beberapa petugas keluar dari pos dan berusaha menghentikan mobil. Tapi aku sudah berhasil keluar rumah sakit dan mobil terus melaju kencang.

Aku mengikuti arahan dari hasil lacakan gps ponsel Diva. Tibalah pada sebuah rumah dengan halaman depan tak terawat. Aku memarkirkan mobil papa agak jauh dari rumah itu. Tapi aku mengenali satu mobil yang terparkir manis disana. Itu mobil ayah Diva! Apakah akhirnya dia akan membebaskan putrinya? Apa dia sudah ditelpon oleh sang penjahat dan dimintai uang tebusan? Tapi kenapa dia datang sendirian? Bodoh sekali kalau dia berpikir para penjahat itu akan menuruti janji mereka untuk membebaskan putrinya dengan balasan sejumlah uang. Tapi aku lega Diva sudah bersama orang yang tepat.

Aku mendekat ke jendela yang di dalamnya ada cahaya. Gelak tawa terdengar keras dari dalam ruangan itu.

Jumat, 27 Januari 2017

NIFFLER | Si Kecil Pembuat Keonaran di Film Pertama Fantastic Beast and Where To Find Them (2016)

Sebetulnya sih tujuan utama Newt Scamander ke Amerika adalah untuk mengembalikan Frank sang Thunderbird ke kampung halamannya di Arizona. Sayangnya pas lagi otw ke Arizona, hewan peliharaan Newt si Niffler ini kabur dari dalam koper dan masuk ke sebuah bank! Omg!😰

Newt get spotted by an auror dan akhirnya dibawa ke MACUSA (Magical Congress Of United States of America) untuk diadili karena hewan peliharaannya membuat kekacauan dan dia berpotensi mengungkap rahasia keberadaan komunitas sihir Amerika..

But, without this little creature, Newt would never met his future wife (Porpentina Goldstein).

Niffler?
Apasih dia itu?

Niffler adalah hewan asli Inggris. Berbulu halus, hitam dan bermoncong panjang. Makhluk penggali ini gemar akan benda apa saja yang gemerlapan. (Scamander, Newt).




Niffler sering dipelihara oleh Goblin untuk menggali tanah mencari harta karun. Meski niffler lembut dan bahkan penuh kasih, mereka bisa merusak benda-benda dan sebaiknya tidak dipelihara di dalam rumah.

Niffler tinggal di sarang-sarang yang dalamnya mencapai enam meter di bawah permukaan tanah. Mereka melahirkan enam sampai delapan anak.

Dari awal kemunculan Niffler yang lucu ini di film pertama Fantastic Beast and Where To Find Them, hati penonton dan potterhead dari seluruh penjuru dunia sudah terpaut. Banyak yang jatuh cinta pada pandangan pertama hingga akhirnya si Niffler berhasil kembali masuk ke dalam koper Newt Scamander.

Dalam cerita Harry Potter, makhluk menggemaskan ini sempat mendapat peran kecil di buku ke 4 (Harry Potter and The Goblet of Fire) saat Harry dkk di pelajaran Pemeliharaan satwa gaib bersama Hagrid, dan buku ke 5 (Harry Potter and the Order of The Phoenix) saat Niffler membuat kantor Prof. Umbridge berantakan.


--D Ark R Ain Bow--

Kamis, 26 Januari 2017

04. Real Thing? ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Kadang ketakukan itu datang karena berkurangnya rasa adrenalin dalam darahmu. Atau mungkin saat jiwamu dibawa jauh dari logika dan akal sehat yang kau pegang teguh sampai hari ini.

Tidak biasanya Diva menelponku seperti ini. Sebelum menelpon, biasanya dia pasti chat dulu di line. Ada apa kali ini?

"Halo." Ucapku.

"Sher. Doni, Sher.." Suara Diva diseberang agak bergetar.

"Ada apa, Va?" Tanyaku setenang mungkin.

"Aku ngga nyangka dia begitu." Ucap Diva masih dengan nada bergetar yang sama.

"Doni kenapa? Dia apain kamu, Va?" Aku mulai agak penasaran.

"Dia nembak aku, Sher." Ucap Diva.

"Nembak dalam arti yang sebenarnya? Dia pakai pistol atau senapan?" Ucapku sekarang mulai terkejut dan kesal.

Diva diam beberapa detik. Sebelum setelahnya ia tertawa keras sekali sampai aku harus menjauhkan ponselku agar telingaku tidak rusak karena suaranya yang seperti nyanyian siren di daratan.

"Kamu ngomong apa sih, Sher. Tentu aja bukan nembak dalam arti sebenernya lah. Maksud aku tuh dia nyatain cintanya." Ucap Diva puas sekali.

Aku merasa seperti orang bodoh. Jangankan nembak dengan pistol atau senapan, mana ada orang yang menodongkan senjata mereka ke orang yang baru mereka kenal sebagai teman?

"Kamu hampir bikin aku jantungan, Va." Ucapku.

Diva tertawa lagi kali ini dengan suara lebih pelan.

"Jadi kamu jawab apa?" Tanyaku.

"Aku jawab iya, Sher. Aku jadi pacar Doni sekarang." Ucap Diva bersemangat.

Sesuatu sepertinya jatuh dari tenggorokanku menuju usus. Rasanya agak tidak nyaman. Aku merasa ada yang salah dengan Doni. Tapi sekarang aku mau tidak mau akan lebih sering bertemu dengan Doni kalau Diva menjadi pacarnya.

Tiba-tiba ada suara langkah kaki menuruni tangga. Aku yakin Keenan bangun begitu aku menerima telpon dari Diva dan aku yakin dia sudah tahu apa pembicaraan kami berdua.

Dia muncul di pintu dapur. Tatapan matanya membuatku takut. Seseorang tolong aku.

"Kita lanjut telpon nanti ya Va. Bye." 

"Yah Sher kok dimatiin sih?"

"Iya nanti aku telpon lagi ya. Congrats kamu sama Doni." Aku menutup telponku dengan Diva.

Aku berjalan perlahan mendekati Keenan. Saat jarak kami hanya kira-kira tiga puluh senti, Keenan memelukku. Mengusap rambut panjangku beberapa kali.

"Aku akan jaga kamu dari dia kali ini, lebih dari usahaku dulu. Aku yakin tujuannya belum berubah." Ucapnya.

Aku mengangguk dalam pelukannya.

Aku merasakan ketakutan yang tidak biasa. Aku bukan orang yang penakut. Tapi entah kenapa memori masa laluku dengan Doni membawa perasaan takut ikut bersama tatapan tajamnya waktu itu. Sekarang dia punya space lebih dekat untuk menjangkauku. Melalui Diva.

Selasa, 24 Januari 2017

03. Warmth ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Kalau tidak ada perselisihan, kau tidak akan dapat melihatku dari sisi yang lain. Namun jika kau tetap tidak dapat melihat bagaimana diriku, mungkin karena aku tidak ingin kau tahu.

Setelah memasang seat belt dengan benar, aku memutar radio yang hari itu menyiarkan berita mengenai beberapa film yang sedang tayang di bioskop.

"Sayang, kamu ingat Doni?" Tanya Keenan.

"Emm... Sedikit. Kenapa sama dia?" Tanyaku.

"Kayaknya dia masih penasaran sama kamu." Ucap Keenan.

"Ayolah, terima dia sebagai masa lalu. Sekarang yang penting kan aku udah sama kamu." Ucapku.

"Aku ngga masalah sama apa yang terjadi beberapa tahun lalu. Tapi aku ngga suka kalo dia ganggu kita lagi." Ucap Keenan dengan nada sedikit lebih tinggi dari biasanya.

"Kali ini ngga ada alasan buat dia ganggu kita, sayang." Ucapku.

"Kamu pikir dia deketin cewek itu tanpa alasan tertentu?"

"Aku akan jamin kalau dia ngga akan mengganggu lagi kali ini. Lagi pula aku tahu Diva. Doni itu bukan tipe nya." Ucapku mantap.

Aku dan Keenan tidak mempermasalahkan Doni lagi. Sepertinya amarah Keenan sudah mereda dan dia memutuskan untuk tidak membicarakan Doni lagi. Kenapa dia bisa tahu kalau cowok yang ditemui Diva adalah Doni? Doni yang berasal dari masa lalu kami? 

Bisa dibilang pacarku ini seperti detektif. Dan aku lebih seperti kaki tangannya. Kami partner yang luar biasa. Dan bisa dibilang juga Keenan tahu segalanya yang aku tahu. Sampai saat ini pun aku masih belum tahu bagaimana caranya dia tahu segala hal yang terjadi.

Keenan memarkirkan mobilnya di halaman luas dan rapi milik keluarga besarnya. Rumah bertingkat 3 menjulang tinggi dan kokoh berdiri di atas tanah tersebut. Rumah ini sangat besar dan mewah. Namun letaknya bukanlah di pusat kota. Orang tua Keenan tidak terlalu suka keramaian. Mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan diri mereka sendiri daripada mendengar ocehan dari tetangga komplek yang menyebalkan.

"Siapa yang tersisa hari ini?" Tanyaku.

"Kemungkinan Grace." Jawab Keenan.

"Oh ayolah, apa yang bisa dilakukan anak umur satu tahun? Atau berapa umurnya sekarang?"

"Tiga. Dan dia bisa membinasakan seluruh koloni serangga di halaman belakang."

Kami turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah tersebut. Kalau saja tidak terurus, rumah ini akan sangat mirip dengan penggambaran rumah hantu di film-film.

Keenan tujuh orang bersaudara. Namun lima saudaranya yang lain jarang ada di rumah. Mereka lebih sering bekerja dan tidak pulang. Pekerjaan yang mereka lakukan bukanlah sebuah pekerjaan delapan jam di depan komputer. Dan dalam melakukan sekali pekerjaan, membutuhkan waktu setidaknya satu minggu. Jadi tidak heran kalau hari ini pun rumah itu hanya tersisa adik perempuannya.

"Halo Grace. Berapa kelabang yang kau bunuh hari ini?" Sapaku pada seorang gadis yang mengenakan gaun pink berlumuran tanah merah.

"Tidak banyak. Mungkin 79." Jawab Grace sambil berusaha menangkap ulat kaki seribu di lututnya.

"Kau akan mendapatkan lebih banyak besok." Ucap Keenan.

Aku dan Keenan masuk ke kamarnya, di lantai dua rumah tersebut.

"Aku mau tidur. Kamu lakukanlah apapun yang kamu mau. Mama papa sampai rumah sekitar jam 11 malam nanti."

"Baiklah aku akan masak. Kamu mau makan apa hari ini?"

"Jus tomat dan bawang." Jawab Keenan.

"Manusia menyebutnya sup krim tomat, sayang."

"Aku tidak dengar." Ucap Keenan sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

Aku menuju dapur. Sayangnya ibu Keenan bukanlah tipikal ibu yang suka memasak. Dan kalau bukan karena aku, mungkin dapur ini entah dibuat untuk tujuan apa.

"Kak Sher. Kakak bisa bantu aku buka resletingnya?" Ucap Grace sambil berusaha menjangkau resleting belakang gaunnya.

"Tentu." Ucapku sambil membuka resleting gaun Grace. Punggung Grace yang kecil berlumuran tanah merah dari belakang rumahnya. Tak sedikit pula kulit yang tergores dan terluka di sana sini. Untuk ukuran gadis 3 tahun, ini sangat menyakitkan. Tapi aku sudah terbiasa dengan luka-luka di keluarga ini. Jadi menurutku tidak apa-apa.

"Terima kasih, Kak Sher." Ucap Grace.

"Kamu mau kakak mandikan?" Ucapku.

"Tidak terima kasih. Kakak masak aja yang enak. Aku lapar." Ucap Grace sambil berlari meninggalkanku.

Aku membuka kulkas dan menemukan beberapa bahan makanan yang bisa kupakai untuk memasak malam ini.

Drrtt... drrttt... (Telepon dari Diva)

"Halo." Ucapku.

"Sher. Doni Sher.."


Sabtu, 21 Januari 2017

02. Nobody ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Kenapa kamu ngga bisa jadi 'bukan apa-apa' lagi buat aku? Kenapa kamu selalu kembali dan merusak semua yang aku miliki? Pada akhirnya selalu akan ada perpisahan pada setiap perkenalan. Namun kita tidak pernah berkenalan, apa kau tetap tidak akan menghilang?

Diva berjabatan dengan cowok bernama Doni itu. Aku tahu normalnya aku juga harus melakukan hal yang sama. Jadi kujabat tangannya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulitku, aku merasakan perasaan yang aneh. Ada apa sebenarnya dengan cowok ini?

Kami berjalan keluar dari area taman dan akan menuju ke sebuah tempat makan tak jauh dari sana. Diva dan Doni berjalan saling beriringan. Aku membuntut di belakang mereka sambil berbalas chat dengan Keenan. Beberapa kali aku mendapati Doni yang melirik ke belakang (tempatku berjalan) dan dengan tatapan yang susah ditebak. Apa maunya? Aku bahkan tidak mengingat siapa dia. Atau apakah dia mungkin mengingat sesuatu?

Tiba di depan pintu sebuah tempat makan (yang agak mewah) kami pun langsung memesan meja untuk 3 orang. Disana yang lebih sering ngomong adalah Diva. Doni tampaknya kurang tertarik padanya, aku ataupun hari itu, aku tidak tahu mengapa wajahnya datar seperti itu di pertemuan pertamanya dengan Diva.

"Sayangnya ini tahun terakhir kamu ada di kampus ya. Padahal aku baru kenal." Ucap Diva.

"Kamu tetep bisa hubungin aku kok. Lagipula aku juga akan cari kerja sekitar sini setelah lulus nanti." Jawab Doni.

Pesanan kami tiba. Aku memesan segelas milkshake cokelat untuk mengembalikan mood-ku. Lalu tiba-tiba aku merasa diperhatikan.

"Aku ke toilet sebentar ya." Ucap Diva.

Aku hanya mengangguk dan kembali menghadapi gelas milkshake yang sudah sangat menggoda.

"Kenapa kamu bisa punya teman?" Ucap Doni tiba-tiba membuatku tersentak kaget.

"Apa maksud kamu?" Tanyaku.

Doni tidak berkata apa-apa. Namun ia melototiku dengan tatapan sangat tajam. Seperti ditransfer memori, tiba-tiba ada beberapa kilasan bayangan di kepalaku. Seragam putih biru, gelak tawa anak-anak, toilet anak perempuan, kantin, Keenan. Aku berjengit ngeri. Aku ingat siapa dia!

"Kamu.." Ucapku terbata.

"Aku ngga takut sama kamu." Ucap Doni dengan menurunkan sedikit volume suaranya sampai hampir berbisik.

Tubuhku bergetar mendengar suaranya. Aku tahu dia tidak takut padaku. Aku tahu dia sangat menantikan saat kami akan bertemu lagi. Tapi kenapa sekarang? Aku bukanlah Sheerin yang dulu. Aku sudah berubah. Kenapa dia kembali?

"Kalian mulai akrab kayaknya." Ucap Diva mengagetkanku.

Diva kembali dengan riasan wajah yang lebih fresh. Sepertinya dia ke toilet untuk touch up. Dan itu tandanya berarti dia menyukai Doni. Tugasku sudah selesai. Aku harus pergi. Aku memang harus menjauhi cowok bernama Doni itu.

Keenan tiba. Dia datang untuk menjemputku setelah sebelumnya aku mengabarinya lewat line. Aku tidak menunggu dia masuk ke resto untuk menghindarkan dia bertemu dengan Doni. Aku tidak mau membuat masalah lagi.

"Pacarku sudah jemput. Aku pulang duluan ya. Kalian selamat bersenang-senang." Ucapku sambil berlalu keluar dari resto.

Aku masuk ke dalam mobil Keenan dan mencium kedua pipinya.

"Kali ini cowoknya menarik?" Tanya Keenan.

"As usual. Aku ngga yakin Diva bisa bertahan." Ucapku.

"She should learn from you." Ucap Keenan.

Keenan itu sesosok cowok yang bisa dibilang ganteng banget (kalopun misalnya aku bukan pacarnya aku akan tetap bilang dia ganteng banget), tingginya sekitar 1,8 m dengan kulit berwarna putih pucat dan bobot tubuh ideal. Ah ya warnya rambutnya cokelat tua hampir ke hitam dengan bola mata hitam pekat dan hidung mancung alami sempurna. Selama kami pacaran, sekitar 3 lusin cewek mencoba memisahkanku darinya. Tapi tak berhasil. Aku lebih sempurna untuknya daripada mereka. Dan aku merasa tidak sendirian selama aku bersama Keenan.

"Sayang, kamu ingat Doni?" Tanya Keenan.

"Emm.."


Kamis, 19 Januari 2017

01. First Impression ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Hari ini terasa asing. Aku tidak tahu akan kemana lagi kakiku membawaku. Aku sudah berjalan jauh. Tapi aku masih ada disini. Berputar di tempat yang sama. Aku tidak bisa pergi kemana-mana. Setiap aku berkata aku akan menghilang, kau selalu disana. Kau selalu menemukanku dan membawaku kembali padamu..


"Sheerin, kamu ngga lupa sama janji kamu kan?" Ucap Diva dari kejauhan memanggil namaku.

"Iya tenang aja. Aku kan ngga pernah ingkar janji." Jawabku.

Ya aku memang belum pernah ingkar janji pada siapapun. Aku akan selalu ada untuk mereka selama mereka menganggap aku teman. Aku orang yang setia dan mudah bergaul. Aku akan melakukan apa saja demi orang yang kusayangi dan aku tidak pernah mengeluh dengan hal yang tidak kusukai (setidaknya tidak dengan suara lantang).

Aku menangis dalam kegelapan. Aku sendirian. Aku selalu merasa sendirian. Aku tidak tahu bagaimana merasakan apa yang mereka rasakan. Aku bisa melihat yang mereka lihat. Tapi aku merasakannya dengan otakku, bukan hatiku.

"Siapa lagi kali ini, Va?" Tanyaku pada sahabatku itu.

"Namanya Doni. Dia anak kuliahan juga tapi beda satu tingkat diatas kita."

"Oke. Ketemu jam berapa kita?"

"Jam 3."

"Sip."

Sebenarnya Diva memintaku untuk menemaninya bertemu dengan cowok kenalannya. Padahal dia cantik dan pintar. Tapi dia selalu mau aku ikut setiap dia kencan pertama dengan cowok. Jujur saja aku kurang suka kalau dia kencan. Tapi aku tidak bisa menolak ajakannya karena aku sudah bilang ya.

Oh iya, aku juga punya pacar lho. Namanya Keenan. Aku pacaran sama dia sejak SMP dan masih terus sampai sekarang. Dia adalah segalanya bagiku. Apalagi setelah kedua orangtuaku meninggal dan saudara-saudaraku di penjara. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain cowok itu. Dia yang selalu setia padaku.

Aku dan Diva menunggu di sebuah taman kota yang agak ramai. Diva memang tidak mau bertemu dengan orang asing di tempat yang sepi. Karena dia agak trauma dengan kesepian. Dia pernah diculik waktu SD dan di bekap selama 48 jam sebelum akhirnya polisi datang bersama ayahnya. Sayangnya saat itu ayahnya terkena tembakan dari pistol si penjahat dan meninggal di tempat dengan kepala bolong tertembus peluru.

"Kamu cantik." Ucapku menenangkan karena Diva berkali-kali mengecek tatanan rias nya di cermin bundar setelapak tangan.

"Aku gugup, Sher." Ucap Diva.

Kami tak menunggu waktu yang lama. Seseorang bernama Doni itu muncul dan menghampiri tempat kami berdua.

Aku memandang wajah Doni tanpa berkedip. Wajah itu..

Sepertinya aku pernah melihat wajah cowok itu di tempat lain dan waktu yang lain pula. Siapa dia sebenarnya? Mengapa aku merasa tak asing?