Aku tidak takut pada musuhku. Karena aku percaya ada yang lebih berbahaya daripadanya.
Weekend berlalu sangat cepat. Entah terkadang aku merasa waktu berputar sangat cepat, kadang sangat lambat. Mungkin karena hal-hal yang terjadi di hidupku selalu berbeda setiap harinya. Bukan hanya seorang mahasiswi yang kerjanya kuliah dan nongkrong menghabiskan uang orangtua, banyak hal seru yang biasanya aku lakukan. Dan lebih lagi karena aku tidak punya orangtua untuk kumintai uang.
Selama akhir pekan kemarin, Diva sama sekali tidak menghubungiku. Untung saja Keenan menghiburku dengan adanya Marleen. Tapi tetap saja ketika aku tiba di rumahku yang kosong, pikiranku selalu kembali pada Diva.
Banyak orang yang berpikir mungkin aku sudah jatuh cinta padanya. Aku pun tak mengerti perasaan jenis apa yang kurasakan untuk sahabatku itu. Kadang aku merasa terlalu memonopoli kehidupannya. Dan dia membiarkanku melakukan itu sampai Doni datang dan memisahkan kami berdua.
Banyak orang yang berpikir mungkin aku sudah jatuh cinta padanya. Aku pun tak mengerti perasaan jenis apa yang kurasakan untuk sahabatku itu. Kadang aku merasa terlalu memonopoli kehidupannya. Dan dia membiarkanku melakukan itu sampai Doni datang dan memisahkan kami berdua.
Aku kembali melihat ke layar ponselku. Sudah sekitar 36 pesan yang kukirim ke ponsel Diva dan 54 kali missedcall-ku terabaikan. Aku mulai kesal dengannya. Tapi aku tidak bisa begitu saja menemuinya. Bagaimana kalau ternyata disana ada Doni? Habislah aku jika tanpa persiapan apapun.
Tubuhku terasa sangat berat. Kurasa aku kurang olahraga belakangan ini. Kekuatanku terus menurun. Kalau begini terus, Mr. dan Mrs. Killian tidak akan pernah mengadopsiku sebagai tim mereka.
Aku berbaring di kamarku. Kembali ke tempat tidur yang keras dan dingin. Pikiranku sangat random kali ini. Dan aku masih harus memikirkan pernikahan Candice yang sebentar lagi. Tiga hari dari hari ini ia dan calon suaminya akan tiba di rumahku. Aku harus menyiapkan kejutan untuknya. Dan tentu saja membantu persiapan acara pernikahan mereka.
"Baiklah, aku akan mulai beres-beres rumah." Ucapku pada diriku sendiri.
***
--Doni's POV--
"Sayang, Sheerin udah banyak banget spam handphone aku loh. Aku diemin aja nih? Nanti kalo ketemu dia di kampus aku mesti ngomong apa?" Ucap Diva di perjalanan kami menuju kampus.
"Tenang aja. Hari ini dia ngga akan ngampus. Jadi nanti siang kita ke rumahnya." Jawabku.
"Masa sih? Kamu tau dari mana?" Tanya Diva.
"Intuisi?" Ucapku singkat.
Jalanan hari ini lancar sekali. Sepertinya agak aneh karena ini masih hari Senin. Tapi aku tidak terlalu memikirkan jalanan yang sepi ini. Otakku kembali sibuk mengurusi masalah Sheerin dan rahasia kecilnya. Tapi aku yakin dia tidak akan masuk kuliah. Dia habis bersenang-senang bersama pacarnya kan?
***
"Yups selesai juga. Sheerin sangat luar biasa dalam hal membersihkan masalah." Ucapku memuji diri sendiri. Kurasa aku memang pantas mendapat pujian itu. Membersihkan sebuah rumah 3 lantai dalam waktu 2 jam bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan bagi sebagian orang. Kemungkinan besar mereka menyewa orang lain untuk membersihkan rumah mereka. Padahal kan kalau orang lain yang membersihkannya, bisa jadi rahasia dan barang-barang koleksi pribadi mereka tersentuh tangan-tangan tidak profesional.
Ting tong
"Seperti suara bel." Ucapku sambil mengipaskan sebuah majalah lama di depan wajahku.
Ting tong
"Hei itu memang suara bel rumahku. Siapa yang membunyikannya? Keenan kan tidak perlu bunyikan bel untuk masuk ke rumah. Apa orang-orang kompleks lagi? Tapi kan buah-buah dan makanan masih banyak. Atau?"
Aku segera mungkin menuju ke pintu utama rumahku. Gerbangnya memang tak pernah kukunci, tapi untuk beberapa hal seperti membersihkan rumah, aku selalu mengunci pintu utama rumahku. Untuk berjaga-jaga agar tidak ada yang mengganggu saat aku menelaah kembali barang-barang penuh nostalgia milikku.
Aku mengintip lewat lubang kunci.
Sial, ini kan pintu model baru. Lubangnya bahkan tidak bisa kupakai untuk membuat kunci duplikat sederhana. Dan aku tidak pernah sempat membuat lubang intip karena sudah lama sekali rumah ini tidak kehadiran tamu.
Aku membuka pintu perlahan. Memang aku bukan tipe orang yang gampang panik dan takut. Tapi kali ini aku merasa harus sedikit waspada pada apapun yang ada di balik pintu. Wajahku panas, lalu..
Ada seseorang yang menubrukku. Dia mendekapku dalam pelukannya erat sekali. Sampai aku tidak sempat menarik nafas.
"Sayaaang, maaf aku ngga sempat hubungin kamu. Handphone-ku tertinggal di Doni dan aku mabuk semalam. Kamu kenapa ngga kuliah?" Diva memborbardirku dengan kalimat khawatirnya yang biasa. Walaupun aku merasa ada sesuatu di nada suaranya. Aku tahu dia tidak mabuk semalam, sebab kalau ya, dia tidak akan seceria ini. Dan aku tahu ponselnya tidak tertinggal di Doni, karena aku melacak gps ponselnya berada di kawasan rumahnya. Kenapa dia bohong padaku?
Lalu dia melepaskan pelukannya.
Aku mulai bisa bernafas lagi. Namun tersekat lagi ketika kulihat Diva tidak datang seorang diri. Apa yang dilakukannya disini?!
Laki-laki itu menatapku dengan tatapan santai dan tanpa emosi. Namun aku tahu betul di dalam hatinya tersimpan begitu dalam kebencian. Dan sekarang dia sudah tahu tempatku tinggal. Baiklah Sheerin, tetap tenang. Yang penting dia tidak tahu kediaman keluarga Killians.
Aku menyunggingkan senyuman di bibirku. "Silakan masuk kalian." Ucapku mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah.
"Kalian datang tepat waktu loh. Aku baru selesai beres-beres rumah." Ucapku.
"Jadi kamu ngga masuk kuliah karena bersih-bersih rumah?" Tanya Diva.
"Begitulah, Candice akan pulang dua hari lagi. Jadi aku harus siap-siap kan?" Ucapku. "Sebentar, aku ambilkan kalian minum dulu."
"Ngga usah Sher, tadi sebelum kesini aku sama Doni mampir beli kopi dulu. Nih." Diva menyodorkan segelas es kopi padaku.
'Dia ngga sebodoh dulu rupanya.' Ucapku dalam hati. Tidak menerima makanan atau minuman dari musuh itu adalah salah satu hal baik yang harus dilakukan setiap orang.
Lalu kami bertiga duduk bersama di ruang tamu. Aku baru ingat. Mereka belum kuberitahu soal Candice yang akan menikah sebentar lagi. Atau apakah aman kalau aku mengundang mereka berdua? Tapi pasti akan janggal kalau tidak diundang kan?
"Candice mau pulang?" Tanya Diva.
"Ya. Bersama calon suaminya." Jawabku.
Raut wajah Diva berubah terkejut. Tapi tetap senang. "Candice akan menikah?" Tanyanya.
"Ya, minggu depan." Jawabku.
Kini wajah Diva menjadi bersemangat sekali. "Lihat sayang, bukan cuma kita yang akan berbahagia." Ucap Diva pada Doni.
'Berbahagia'? Pikirku dalam hati. "Maksud kamu, Va?" Tanyaku.
Diva tersenyum sambil melambaikan tangan kirinya. Menunjukkan jemarinya yang panjang dan pada salah satu jarinya kulihat sesuatu yang tidak kulihat sebelumnya. Sebuah cincin berwarna perak bermata berlian sederhana terpasang di jari manis-nya.
"Doni melamarku." Ucap Diva senang.
'Apaaa??!!!!' Ucapku dalam hati.
"Jadi kamu mengambil Diva milikku?" Ucapku pada Doni dengan emosi berapi-api.
Diva tertawa. Dia pikir aku hanya bercanda berkata demikian. "Sheerin, setiap burung pasti akan terbang pada akhirnya." Ucapnya ceria.
"Tapi kamu bukan burung, Diva. Kamu ngga bisa tinggalin aku." Ucapku. Aku tahu ini adalah reaksi yang diharapkan Doni. Tapi mengetahui Diva telah menerima lamarannya, aku menjadi sulit mengendalikan emosiku.
"Sher, kamu ngomong apa sih. Aku ngga akan tinggalin kamu. Kita kan tetap sahabat. Sampai aku dan Doni menikah, sampai kamu dan Keenan menikah, sampai kita punya anak pun kita tetap sahabat, Sher." Ucap Diva.
'Aku harus tenang.' gumamku dalam hati sambil menstabilkan detak jantungku.
Aku tersenyum pada mereka berdua. "Ahahaha maaf aku hanya kaget sekali tadi. Kalian sangat cepat mengambil langkah. Aku dan Keenan saja belum terpikirkan sampai kesana." ucapku seraya tertawa kecil.
"Keenan harus belajar dariku kalau begitu." Ucap Doni dengan senyum palsu tampak jelas di wajahnya.
Aku membalas senyum palsunya. "Ahaha, ya kamu sangat agresif ternyata." Balasku. Yang kumaksud 'agresif' di kalimatku adalah bukan berarti dia benar-benar ingin menikahi Diva, tapi dia benar-benar ingin membalas dendam padaku dengan menggunakan satu-satunya sahabat yang kupunya.
Aku kembali menoleh ke Diva. "Selamat untuk kalian berdua kalau begitu. Dan jangan lupa datang ke acara Candice ya." Ucapku.
"Tentu." Jawab Diva berseri-seri.
Kami terdiam beberapa saat untuk meminum kopi kami. Aku hampir bisa mengetahui rencana yang sedang dijalankan Doni. Tapi kenapa sampai melibatkan perasaan Diva? Harusnya urusan ini hanya antara aku dan dia kan?
Aku memutar-mutar gelas kopi dalam genggamanku. Diva sedang mengecek handphone-nya sementara Doni memperhatikan gerakkanku. Aku tahu dia sedang menimbang langkah selanjutnya yang harus ia ambil. Tiba-tiba terdengar suara klakson dari luar rumah. Klakson mobil yang tidak kukenal. Siapa lagi yang bertamu ke rumahku?
আPrevious: Clink and Scream
আNext: The Brighter Dark
Aku berbaring di kamarku. Kembali ke tempat tidur yang keras dan dingin. Pikiranku sangat random kali ini. Dan aku masih harus memikirkan pernikahan Candice yang sebentar lagi. Tiga hari dari hari ini ia dan calon suaminya akan tiba di rumahku. Aku harus menyiapkan kejutan untuknya. Dan tentu saja membantu persiapan acara pernikahan mereka.
"Baiklah, aku akan mulai beres-beres rumah." Ucapku pada diriku sendiri.
***
--Doni's POV--
"Sayang, Sheerin udah banyak banget spam handphone aku loh. Aku diemin aja nih? Nanti kalo ketemu dia di kampus aku mesti ngomong apa?" Ucap Diva di perjalanan kami menuju kampus.
"Tenang aja. Hari ini dia ngga akan ngampus. Jadi nanti siang kita ke rumahnya." Jawabku.
"Masa sih? Kamu tau dari mana?" Tanya Diva.
"Intuisi?" Ucapku singkat.
Jalanan hari ini lancar sekali. Sepertinya agak aneh karena ini masih hari Senin. Tapi aku tidak terlalu memikirkan jalanan yang sepi ini. Otakku kembali sibuk mengurusi masalah Sheerin dan rahasia kecilnya. Tapi aku yakin dia tidak akan masuk kuliah. Dia habis bersenang-senang bersama pacarnya kan?
***
"Yups selesai juga. Sheerin sangat luar biasa dalam hal membersihkan masalah." Ucapku memuji diri sendiri. Kurasa aku memang pantas mendapat pujian itu. Membersihkan sebuah rumah 3 lantai dalam waktu 2 jam bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan bagi sebagian orang. Kemungkinan besar mereka menyewa orang lain untuk membersihkan rumah mereka. Padahal kan kalau orang lain yang membersihkannya, bisa jadi rahasia dan barang-barang koleksi pribadi mereka tersentuh tangan-tangan tidak profesional.
Ting tong
"Seperti suara bel." Ucapku sambil mengipaskan sebuah majalah lama di depan wajahku.
Ting tong
"Hei itu memang suara bel rumahku. Siapa yang membunyikannya? Keenan kan tidak perlu bunyikan bel untuk masuk ke rumah. Apa orang-orang kompleks lagi? Tapi kan buah-buah dan makanan masih banyak. Atau?"
Aku segera mungkin menuju ke pintu utama rumahku. Gerbangnya memang tak pernah kukunci, tapi untuk beberapa hal seperti membersihkan rumah, aku selalu mengunci pintu utama rumahku. Untuk berjaga-jaga agar tidak ada yang mengganggu saat aku menelaah kembali barang-barang penuh nostalgia milikku.
Aku mengintip lewat lubang kunci.
Sial, ini kan pintu model baru. Lubangnya bahkan tidak bisa kupakai untuk membuat kunci duplikat sederhana. Dan aku tidak pernah sempat membuat lubang intip karena sudah lama sekali rumah ini tidak kehadiran tamu.
Aku membuka pintu perlahan. Memang aku bukan tipe orang yang gampang panik dan takut. Tapi kali ini aku merasa harus sedikit waspada pada apapun yang ada di balik pintu. Wajahku panas, lalu..
Ada seseorang yang menubrukku. Dia mendekapku dalam pelukannya erat sekali. Sampai aku tidak sempat menarik nafas.
"Sayaaang, maaf aku ngga sempat hubungin kamu. Handphone-ku tertinggal di Doni dan aku mabuk semalam. Kamu kenapa ngga kuliah?" Diva memborbardirku dengan kalimat khawatirnya yang biasa. Walaupun aku merasa ada sesuatu di nada suaranya. Aku tahu dia tidak mabuk semalam, sebab kalau ya, dia tidak akan seceria ini. Dan aku tahu ponselnya tidak tertinggal di Doni, karena aku melacak gps ponselnya berada di kawasan rumahnya. Kenapa dia bohong padaku?
Lalu dia melepaskan pelukannya.
Aku mulai bisa bernafas lagi. Namun tersekat lagi ketika kulihat Diva tidak datang seorang diri. Apa yang dilakukannya disini?!
Laki-laki itu menatapku dengan tatapan santai dan tanpa emosi. Namun aku tahu betul di dalam hatinya tersimpan begitu dalam kebencian. Dan sekarang dia sudah tahu tempatku tinggal. Baiklah Sheerin, tetap tenang. Yang penting dia tidak tahu kediaman keluarga Killians.
Aku menyunggingkan senyuman di bibirku. "Silakan masuk kalian." Ucapku mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah.
"Kalian datang tepat waktu loh. Aku baru selesai beres-beres rumah." Ucapku.
"Jadi kamu ngga masuk kuliah karena bersih-bersih rumah?" Tanya Diva.
"Begitulah, Candice akan pulang dua hari lagi. Jadi aku harus siap-siap kan?" Ucapku. "Sebentar, aku ambilkan kalian minum dulu."
"Ngga usah Sher, tadi sebelum kesini aku sama Doni mampir beli kopi dulu. Nih." Diva menyodorkan segelas es kopi padaku.
'Dia ngga sebodoh dulu rupanya.' Ucapku dalam hati. Tidak menerima makanan atau minuman dari musuh itu adalah salah satu hal baik yang harus dilakukan setiap orang.
Lalu kami bertiga duduk bersama di ruang tamu. Aku baru ingat. Mereka belum kuberitahu soal Candice yang akan menikah sebentar lagi. Atau apakah aman kalau aku mengundang mereka berdua? Tapi pasti akan janggal kalau tidak diundang kan?
"Candice mau pulang?" Tanya Diva.
"Ya. Bersama calon suaminya." Jawabku.
Raut wajah Diva berubah terkejut. Tapi tetap senang. "Candice akan menikah?" Tanyanya.
"Ya, minggu depan." Jawabku.
Kini wajah Diva menjadi bersemangat sekali. "Lihat sayang, bukan cuma kita yang akan berbahagia." Ucap Diva pada Doni.
'Berbahagia'? Pikirku dalam hati. "Maksud kamu, Va?" Tanyaku.
Diva tersenyum sambil melambaikan tangan kirinya. Menunjukkan jemarinya yang panjang dan pada salah satu jarinya kulihat sesuatu yang tidak kulihat sebelumnya. Sebuah cincin berwarna perak bermata berlian sederhana terpasang di jari manis-nya.
"Doni melamarku." Ucap Diva senang.
'Apaaa??!!!!' Ucapku dalam hati.
"Jadi kamu mengambil Diva milikku?" Ucapku pada Doni dengan emosi berapi-api.
Diva tertawa. Dia pikir aku hanya bercanda berkata demikian. "Sheerin, setiap burung pasti akan terbang pada akhirnya." Ucapnya ceria.
"Tapi kamu bukan burung, Diva. Kamu ngga bisa tinggalin aku." Ucapku. Aku tahu ini adalah reaksi yang diharapkan Doni. Tapi mengetahui Diva telah menerima lamarannya, aku menjadi sulit mengendalikan emosiku.
"Sher, kamu ngomong apa sih. Aku ngga akan tinggalin kamu. Kita kan tetap sahabat. Sampai aku dan Doni menikah, sampai kamu dan Keenan menikah, sampai kita punya anak pun kita tetap sahabat, Sher." Ucap Diva.
'Aku harus tenang.' gumamku dalam hati sambil menstabilkan detak jantungku.
Aku tersenyum pada mereka berdua. "Ahahaha maaf aku hanya kaget sekali tadi. Kalian sangat cepat mengambil langkah. Aku dan Keenan saja belum terpikirkan sampai kesana." ucapku seraya tertawa kecil.
"Keenan harus belajar dariku kalau begitu." Ucap Doni dengan senyum palsu tampak jelas di wajahnya.
Aku membalas senyum palsunya. "Ahaha, ya kamu sangat agresif ternyata." Balasku. Yang kumaksud 'agresif' di kalimatku adalah bukan berarti dia benar-benar ingin menikahi Diva, tapi dia benar-benar ingin membalas dendam padaku dengan menggunakan satu-satunya sahabat yang kupunya.
Aku kembali menoleh ke Diva. "Selamat untuk kalian berdua kalau begitu. Dan jangan lupa datang ke acara Candice ya." Ucapku.
"Tentu." Jawab Diva berseri-seri.
Kami terdiam beberapa saat untuk meminum kopi kami. Aku hampir bisa mengetahui rencana yang sedang dijalankan Doni. Tapi kenapa sampai melibatkan perasaan Diva? Harusnya urusan ini hanya antara aku dan dia kan?
Aku memutar-mutar gelas kopi dalam genggamanku. Diva sedang mengecek handphone-nya sementara Doni memperhatikan gerakkanku. Aku tahu dia sedang menimbang langkah selanjutnya yang harus ia ambil. Tiba-tiba terdengar suara klakson dari luar rumah. Klakson mobil yang tidak kukenal. Siapa lagi yang bertamu ke rumahku?
আPrevious: Clink and Scream
আNext: The Brighter Dark