Left the conviction in the middle
"Err, kita harus mulai obrolan apa ya?" ucap Diva canggung.
Keadaannya memang sangat canggung. Atmosfer diantara aku, Keenan dan Doni juga memanas. Entah Diva yang bodoh atau memang kami bertiga sangat pintar dalam menyembunyikan kebencian darinya. Aku yakin sekali Doni sedang berusaha mengingat siapa Keenan. Dia terdiam lama sekali dengan raut wajah kebingungan. Aku tahu Doni dan Keenan tidak sering bertemu sebelum ini. Bagi Doni pun, kehadiran Keenan mungkin hanya sebagian kecil pemeran figuran yang melintas dalam kehidupannya. Tapi kurasa setelah hari ini, hal itu akan berubah.
"Kurasa aku harus ke mobilku. Aku meninggalkan beberapa cemilan disana." Ucap Doni tiba-tiba.
"Benarkah sayang? Bukannya kita sudah memakan semuanya di perjalanan kita kesini tadi?" ucap Diva.
"Aku harus memeriksanya." ucap Doni sambil beranjak dari tempat duduknya.
Doni terus berjalan keluar rumah tanpa menghiraukan tiga pasang mata yang terus memperhatikannya. Ia tampak begitu gugup, namun tampak begitu berusaha keras agar kami tidak menyadarinya. Aku tahu apa yang akan dilakukannya kira-kira. Dia akan memeriksa apakah mobilnya tidak ditempelkan gps dan alat sadap. Dan kemungkinan juga dia akan menaruh kedua benda itu ke mobil yang dibawa Keenan. Aku tahu betul jalan pikiran orang-orang seperti Doni.
Tidak menunggu lama, Doni kembali dari luar. Dia tidak membawa satu pun cemilan yang dikatakan sebelumnya. "Kau benar sayang. Ternyata sudah kita habiskan semuanya. Hahaha." ucap Doni ketika bergabung lagi bersama kami yang kini sedang menatap televisi untuk menghilangkan kesunyian.
"Kau selalu saja tidak percaya padaku." ucap Diva.
"Tapi aku mempercayakan masa depanku padamu Diva." ucap Doni sambil merangkul Diva dengan lembut.
Tanpa sadar, aku dan Keenan sama-sama sudah tidak memperhatikan layar televisi lagi. Kami memperhatikan keakraban Diva dan Doni di depan kami.
"Hey guys, I think you both dating each others too. Didn't you flirting to each other or something?" ucap Doni pada kami. Dia memang tidak seperti merasa terganggu karena kami memperhatikan mereka. Dia lebih seperti meledek kami berdua.
Diva tertawa. "Padahal kalian yang lebih lama pacaran. Kenapa kalian begitu kaku?" tambah Diva.
Aku merasa ada sesuatu yang normalnya harus kulakukan dengan Keenan saat ini. Dan yang menjadi standarnya adalah kedua pasangan baru ini. Tapi aku benar-benar tidak ingin melakukannya.
"Kau benar-benar tidak romantis, Keenan." ucap Diva.
'menurutku dia sangat romantis ketika kami bersama-sama mengeluarkan isi perut seseorang.' batinku. Tapi sial, aku cemburu melihat Diva sangat dekat dengan Doni. Rasanya aku ingin sekali membunuh Doni dan menjadikannya tujuh bagian untuk diedarkan ke ketujuh benua di dunia.
"Kapan kalian tepatnya mulai pacaran?" tanya Doni tiba-tiba.
"Sejak SMP! Luar biasa kan sayang!" Diva yang menjawabnya.
"SMP? Kalian satu sekolah ketika SMP?" tanya Doni lagi.
"Ya! Saat itu Keenan adalah kakak kelas kami. Reputasi Sher langsung melonjak tinggi ketika seisi sekolah tahu kalau dia berpacaran dengan kakak kelas." ucap Diva.
"Kau tahu banyak soal sahabatmu ya Diva." ucap Doni.
"Tentu saja. Sher adalah penyelamatku. Aku tahu segala hal tentangnya karena kami ini satu jiwa." ucap Diva. "Tapi ada satu hal yang tidak pernah kutahu, Sher."
"Apa itu?" tanyaku akhirnya seakan baru menyadari aku bisa bergabung dengan percakapan mereka.
"Cerita detail bagaimana kau dan Keenan bisa pacaran. Waktu itu kan aku sedang ada di rumah sakit. Tiba-tiba setelah aku kembali ke sekolah, sudah ada orang yang menunggumu setiap pulang sekolah." ucap Diva. "Kau hanya bilang kalau kalian bertemu saat terjadi insiden mati listrik yang mengagetkan satu cewek kelas kita sampai pingsan."
DEG. Jantungku berdetak keras satu kali. Kita harus menghindari topik pembicaraan ini. Ini akan sangat berbahaya kalau sampai Doni menyadari sesuatu dari memori saat itu.
"Kami berdesakan di barisan saat itu. Dan tanpa sengaja aku menabrak Sheerin sampai jatuh. Jadi kurasa itulah takdir kami. Dipertemukan oleh sebuah tabrakan." ucap Keenan mengejutkanku.
"Oh manis sekali. Kau tidak pernah mau ceritakan bagian itu padaku, Sher." ucap Diva.
"Harusnya kenangan itu hanya untukku sendiri, Diva. Itu adalah saat Keenan masih sangat manis." ucapku meyakinkan cerita bualan yang Keenan buat.
"Hehe, maaf kawan." ucap Diva.
"Oh tidak. Sepertinya kita harus pulang sekarang Diva. Aku kan sudah janji mau mengantar mamaku belanja." Ucap Doni tiba-tiba.
'oh come on Doni. Alasan mengantar ibu belanja itu sudah klise.' batinku.
"Benarkah? Kalau begitu kita tidak boleh terlambat." ucap Diva seraya bangun dari duduknya. "Aku pulang sekarang ya Sher. Jangan lupa kau harus masuk kuliah besok. Kalau tidak aku akan menyeretmu ke kelas."
Lalu mereka berdua pulang.
"Menurutmu dia ingat kejadian itu?" tanyaku pada Keenan ketika sudah kupastikan Diva dan Doni jauh dari rumahku.
"Bukan hanya ingat. Bahkan dia sadar kalau kita tidak bertabrakan di barisan." jawab Keenan tenang.
***
--Doni's POV--
"Kapan kalian tepatnya mulai pacaran?" tanyaku.
"Sejak SMP! Luar biasa kan sayang!" Diva yang menjawabnya.
"SMP? Kalian satu sekolah ketika SMP?" tanyaku lagi.
"Ya! Saat itu Keenan adalah kakak kelas kami. Reputasi Sher langsung melonjak tinggi ketika seisi sekolah tahu kalau dia berpacaran dengan kakak kelas." ucap Diva.
"Kau tahu banyak soal sahabatmu ya Diva." ucapku. Tapi dia sama sekali tidak menyadari bahwa aku juga satu sekolah SMP dengannya. Aku satu angkatan dengan Keenan.
"Tentu saja. Sher adalah penyelamatku. Aku tahu segala hal tentangnya karena kami ini satu jiwa." ucap Diva. "Tapi ada satu hal yang tidak pernah kutahu, Sher."
"Apa itu?" tanya Sheerin buru-buru seakan takut orang lain akan mengajukan pertanyaan itu sebelum dia.
"Cerita detail bagaimana kau dan Keenan bisa pacaran. Waktu itu kan aku sedang ada di rumah sakit. Tiba-tiba setelah aku kembali ke sekolah, sudah ada orang yang menunggumu setiap pulang sekolah." ucap Diva. "Kau hanya bilang kalau kalian bertemu saat terjadi insiden mati listrik yang mengagetkan satu cewek kelas kita sampai pingsan."
Diva benar-benar tidak tahu yang sebenarnya terjadi. Dia bahkan tidak tahu salah saatu teman sekelasnya keluar dari sekolah setelah insiden yang 'katanya' mati listrik itu.
Kukira dua monster ini akan terkena skak mat atas apa yang diucapkan Diva. Tapi mereka begitu licik. Bahkan bisa mengarang cerita dalam waktu sepersekian detik saja.
"Kami berdesakan di barisan saat itu. Dan tanpa sengaja aku menabrak Sheerin sampai jatuh. Jadi kurasa itulah takdir kami. Dipertemukan oleh sebuah tabrakan." ucap Keenan tiba-tiba.
"Oh manis sekali. Kau tidak pernah mau ceritakan bagian itu padaku, Sher." ucap Diva.
"Harusnya kenangan itu hanya untukku sendiri, Diva. Itu adalah saat Keenan masih sangat manis." ucap Sheerin.
"Hehe, maaf kawan." ucap Diva.
Aku sudah tidak tahan berada disini saat ini. Aku harus memikirkan cara lain untuk membalas mereka. Saat ini aku harus menjauh dari mereka secepatnya. Aku tahu mereka menyadari kalau aku tahu keadaan sebenarnya. Bahwa mereka lah yang memotong jemari mantan pacarku dulu.
"Oh tidak. Sepertinya kita harus pulang sekarang Diva. Aku kan sudah janji mau mengantar mamaku belanja." Ucapku tiba-tiba.
"Benarkah? Kalau begitu kita tidak boleh terlambat." ucap Diva seraya bangun dari duduknya. "Aku pulang sekarang ya Sher. Jangan lupa kau harus masuk kuliah besok. Kalau tidak aku akan menyeretmu ke kelas."
Lalu kami berdua pulang.
Setelah menjauh sekitar tiga pulluh meter dari gerbang rumah Sheerin. Diva angkat bicara.
"Puas sekarang?" ucap Diva tiba-tiba dengan nada agak kesal.
"Apanya?" tanyaku kebingungan.
"Kau membuatkku berbohong di hadapan sahabatku satu-satunya, sayang. Dan kau lihat kan? Sheerin dan bahkan Keenan itu sama seperti manusia normal lainnya. Dia bahkan bercerita soal bagaiamana mereka bertemu dan kakaknya akan menikah sebentar lagi." jelasnya.
"Kau benar-benar tidak bisa melihat sahabatmu dari sisi lainnya ya?" ucapku kesal.
"Tentu saja. Dia kan sahabatku." ucap Diva.
"Apa kau percaya kalau aku juga satu sekolah SMP yang sama dengan kalian betiga?" ucapku.
"Ya. Dan apa kau percaya kalau aku tahu hubunganmu dengan Irene?" ucap Diva yang sontak saja mengagetkanku. Irene adalah mantan pacarku yang satu kelas dengannya. Dia yang jemarinya dipotong oleh Sheerin.
"Dari mana kau tahu itu?" tanyaku.
"Aku tahu Irene pindah sekolah setelah katanya kau mencoba memutuskan hubungan dengannya. Sampai-sampai dia gila dan memotong jari-jari tangannya di kelas olahraga." ucap Diva dengan nada seperti sedang membicarakan kalau lalat itu jorok.
Kontan saja aku menghentikan mobilku. "Dari mana kau mendengar gosip seperti itu?" tanyaku naik darah.
"Apa itu penting?" ucap Diva. "Kau bilang kau tidak pernah pacaran sebelum denganku kan? Itu menguatkan alasanmu saat berniat meninggalkan Irene. Kau tidak benar-benar menyukainya. Karena kau lah Irene memotong jemarinya."
"Bukan aku. Tapi Sheerin." Ucapku walaupun aku tahu kalau Diva akan lebih mempercayai Sheerin.
"Sayang, berhentilah mencurigai Sheerin. Ayo kita hidup normal saja. Sheerin itu ngga seperti yang kamu pikirkan selama ini." ucap Diva, nadanya melembut.
Sheerin. Sudah kau jadikan apa cewek sebaik Diva? Mengapa kau seperti punya sebuah boneka tangan yang selalu mengikuti arah gerakmu?
Aku akan mengumpulkan bukti dan memastikan kalau kau tidak akan mencapai usia tiga puluh.
Aku akan mengumpulkan bukti dan memastikan kalau kau tidak akan mencapai usia tiga puluh.