Rabu, 23 Desember 2015

Pulau Harapan

Ceritanya liburan kuliah. Selepas UTS, dapet libur seminggu dan ngambil 2 hari untuk dihabiskan di pulau Harapan.

Kita ber-dua belas setuju untuk ketemu di kereta Jurusan Jakarta Kota yang pertama. Beberapa temen gue ada yang start dari stasiun UI, Tebet, dan Depok. Sedangkan gue dan 2 lainnya start dari Pasar Minggu. Meskipun saat itu keadaan lagi ujan ringan, akhirnya kami sampe Stasiun Kota. Untuk sampe ke pelabuhan Muara Angke ternyata kita harus naek angkot lagi. Dan perjalanan via angkot ini bener-bener makan hati. Kira-kira 1 km ke dalam pelabuhan, kami disambut dengan banjir dan bebauan yang luar biasa menyengat. Belum lagi macet yang bikin laju angkot tersendat. Okay forget it. Yang penting ngga semua dari kita muntah-muntah setelah turun angkot. Wkwkwk.

Karena kami menyewa Travel, jadi setelah sampe di pelabuhan, kami udah ditungguin orang travel-nya. Beli Tiket dan masuk kapal. Sekitar jam lapan kapal pun mulai meninggalkan dermaga. Perjalanan dari Muara Angke ke Pulau Harapan memakan waktu sekitar 3 jam.

Menjejakkan kaki di dermaga pulau Harapan jam setengah 11an. Ternyata lebih cepet dari perkiraan. Dan kami langsung diantar ke Homestay untuk siap-siap Snorkeling di jam 1.








Kegiatan kami dilanjutkan dengan snorkeling dan mantai (Main-main di pantai). Dan sekitar jam 4 ke 5, kita diantar lagi untuk menikmati sunset di pulau bulat.





Setelah sunset-an, kami balik ke homestay, mandi dan makan malam. Sekitar jam 8 kami dipanggil untuk ke taman deket dermaga untuk acara barberque ikan.


Kenyang makan ikan-ikanan, kami balik ke homestay untuk acara bebas yaitu istirahat dan tidur.

Besoknya kami ditawarin untuk lihat sunrise. Tapi karena terlalu ngantuk karna tidur agak larut, maka tidak ada satu pun dari kami yang bangun pagi sebelum matahari terbit.

Jam setengah lapan kami harus udah rapi untuk ikut jadwal lagi yaitu ke tempat penangkaran penyu dan pulau Bira Besar. Setelah lama foto-foto, jam setengah 11 kami balik ke homestay untuk packing akhir sebelum pulang.


Jam setengah 12 naik kapal dan setengah jam kemudian kapal meninggalkan dermaga pulau harapan menuju Muara Angke.

Sekitar jam setengah tiga, kapal berlabuh di Muara Angke dan kami pun kembali nyari angkot yang akan membawa kami ke stasiun kota.

Perjalanan berakhir dan gue sampe rumah dengan selamat. Meskipun ada beberapa luka goresan karang, selebihnya bisa dibilang gapapa. Kalo ditanya mau balik lagi ke pulau apa ngga? Mungkin gue akan ragu dan lebih memilih ngga. Air mandi disana rasanya asin dan bikin ngga betah banget. Suasananya juga udah kayak perkampungan dan masyarakat disana juga udah banyak. Bikin kangen rumah. Hihihi


--D Ark R Ain Bow--

Delmora The Ocean's Princess: Bab 12 (Dewi Athena)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 12
Dewi Athena

“Etiam.” Jawab Oliver yang artinya ya
“Oliver kah itu?” Tanya suara wanita itu lagi.
“Ya, Bu.” Jawab Oliver lagi. “Kau ada di seberang sana?”
“Ya. Masih beberapa meter dari jaring.” Jawab Dewi Athena.
“Bagaimana cara kami bisa menembus jaring ini?” Tanya Oliver.
“Letakan batu atau apapun untuk menghalangi petirnya.” Jawab Athena.
“Baiklah, ibu tunggu sebentar. Aku akan cari caranya.” Ucap Oliver.
Oliver berbalik menghadapiku. Di wajahnya terpeta sangat jelas ia kebingungan.
“Sekarang gimana?” Tanyaku.
Oliver memberi pandangan aneh padaku. “Aku punya satu rencana. Tapi aku masih ragu.” Ucapnya.
“Apa? Bilang aja.” Ucapku mendesak.
“Sekarang jam lima. Sebentar lagi kamu kembali jadi patung batu. Kalau perhitunganku ngga meleset, seengganya kamu akan bisa menghalangi petirnya dan memberi celah untukku lewat.” Oliver berkata panjang lebar dengan keraguan masih jelas di wajahnya.
“Baiklah, ayo kita cari tahu apakah rencanamu itu akan berhasil atau ngga.” Jawabku tenang. Walaupun jujur, aku juga ragu dan takut.
“Tapi kalau gagal?” Tanya Oliver.
“Kita ngga akan tahu kalau kita ngga coba, sayang.” Ucapku.
Oliver menengok beberapa kali arloji di pergelangan tangan kirinya dengan cemas.
Kakiku mulai kaku. Aku tahu, matahari sudah tidak sabar untuk terbit menandakan hari akan mulai lagi.
“Oliver, kakiku mulai kaku.” Ucapku seraya berjalan lebih dekat ke jaring.
Oliver merentangkan tangannya menghalangiku. “Tunggu. Kita tunggu sampai seluruh tubuhmu berubah dulu. Aku ngga mau kamu kesetrum.”
Baiklah, aku mulai merasakan lagi sensasi tidak nyaman itu.
“Kalau leher kamu sudah membatu, baru aku akan mengangkatmu maju.” Ucap Oliver.
Beku baru mencapai betisku.
“Aku selalu sayang sama kamu, Delmora.” Ucap Oliver dengan nada rendah dan sedih.
Beku mulai merajahi pinggangku. Aku ngga boleh nangis di depan Oliver. Athena berada tinggal beberapa meter lagi.
“Kita pasti ketemu ngga lama lagi, sayang.” Ucap Oliver lagi.
Beku mulai membatukan leherku. Oliver memegang pinggangku dan melekatkan bibirnya padaku. Sedetik, ia mengangkat tubuhku dan meletakkannya di tengah jaring petir dan langsung membuat celah bebas petir di sisi lainnya.
“Aku akan segera kembali, sayang.” Aku masih mendengar Oliver berkata sebelum pergi. “Theoí na mas voíthísei.” Oliver berlari.
Aku masih bisa melihat Oliver menjauh. Dan aku baru sadar, ternyata kami telah mencapai ujung gua ini. Karena Oliver berjalan tidak terlalu jauh dariku. Kira-kira hanya berjarak enam meter dari kakiku.
“Ibu?” Panggil Oliver ke dinding ujung gua.
“Oliver.” Balas Athena.
“Kau dimana, Bu?” Tanya Oliver.
“Aku tepat berada di depanmu.” Ucap Athena.
Oliver meneliti tiap senti dinding ujung gua itu. Aku juga merasa aneh. Athena seperti bersuara dari dalam dinding. Karena jelas-jelas disana tidak ada ruang lagi untuk menampung apa pun, dan siapa pun.
Theoí na mas voíthísei.” Gumam Oliver.
Oliver kembali kepadaku. Ia mengambil pedangku yang kini sudah berubah menjadi batu juga seperti aku.
Oliver mencoba memukul-mukul dinding gua dengan pedang. Dan tidak ada yang terjadi kecuali lengannya kelelahan.
Aku melihat Oliver mendekatkan mata pedang batu itu ke telapak tangannya. Apa yang akan ia lakukan? Tak usah menunggu lama, pertanyaanku langsung terjawab. Oliver menggores telapak tangannya sendiri. Ih, aku ngga kuat ngeliatnya. Tapi aku ngga bisa berkedip.
Darah mengucur cukup deras dan langsung mengenai dinding dan lantai gua yang sudah sangat kotor tanpa ditambah darah dari Oliver.
Theoí na mas voíthísei.” Gumam Oliver sambil menyebarkan darahnya ke segala sudut dinding gua.
Oliver merintih kesakitan. Tangannya tergolek lemah ke arahku. Ugh, sebuah sayatan yang cukup lebar membuat hatiku merinding—kalau aku ngga jadi batu, mungkin seluruh rambut di tubuhku berdiri. Tapi ada hal aneh yang terjadi selanjutnya.
Dinding gua perlahan mulai luntur. Seperti lilin yang dibakar api. Walaupun lelehannya tidak memadat lagi melainkan berubah menjadi uap yang sepertinya baunya lebih busuk dari kotoran kelelawar. Aku bisa melihat uapnya berwarna kuning kehijauan.
Oliver masih terduduk lemah di lantai gua. Ternyata dia lupa kalau lantai gua itu sangat amat kotor sekali. Pada situasi lain, mungkin aku akan menganggapnya jorok. Tapi untuk saat ini, aku akan memaklumi.
Tiba-tiba jaring petir yang sejak tadi menerangi seluruh lubang gua padam seketika. Yang bisa kulihat hanyalah satu warna yang membuatku sakit kepala. Hitam. Tapi tak lama kok. Karena detik berikutnya aku melihat cahaya yang lebih terang dari jaring petir tadi. Datangnya tepat dari dinding yang baru saja meleleh. Itukah Athena?
Cantik. Mungkin itu adalah satu kata simpel yang bisa menggambarkan bagaimana rupa Athena. Walaupun sebenarnya, kata luar biasa, menakjubkan, atau spektakuler lebih cocok untuknya. Dari ujung rambut hingga jempol kaki tampak sangat sempurna dan bercahaya.
“Gratias tibi, Oliver.” Ucap Athena sambil membantu Oliver berdiri, dan mengayunkan tangannya dengan lembut ke telapak tangan Oliver yang kemudian terbalut perban dengan rapi.
“Duis te, mater.” Ucap Oliver.
Aku baru sadar Oliver sangat mahir berbicara bahasa Latin. Tapi aku tidak iri padanya, sebab, sulit sekali belajar bahasa latin. Belum lagi tulisannya. Aku lebih memilih bahasa Arab daripada Latin.
Athena berjalan ke arahku dengan langkahnya yang ringan dan anggun. Athena pasti akan membuat semua wanita ingin menjadi seperti dirinya. Cantik, ramah, berani, pintar dan kuat. Uuhhhh...
Sang Dewi berhenti tepat di depan wajahku. Ia meneliti wajahku dengan seksama dan mengacungkan tangannya ke hidungku. Lalu aku tidak ingat lagi apa yang ia lakukan kepadaku. Karena aku tiba-tiba saja tak sadarkan diri.


 Previous: