Tampilkan postingan dengan label Delmora The Ocean's Princess. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Delmora The Ocean's Princess. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 Mei 2016

Delmora The Ocean's Princess: Bab 14 (Pulang)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 14
Pulang
Lima hari setelah hari heroik bagiku dan Oliver telah berlalu. Hari ini aku akan mengantar ayahku pulang ke istananya. Sebetulnya ia tidak benar-benar membutuhkan antaran dari dua orang remaja, tapi liburanku yang hanya tersisa satu hari lagi membuatku ingin bermain-main di pantai sebelum kembali ke rutinitas sekolahku yang biasa. Sebenarnya ayahku ingin ibu ikut untuk memastikan Oliver tidak berbuat macam-macam padaku, tapi dia tidak bisa terus mengambil cuti kerja untuk menemaniku liburan. Dan setelah Oliver dan aku keluar dengan selamat dari gua, ibuku merasa lebih percaya pada Oliver. Walaupun Poseidon masih terlalu protektif terhadap Oliver.
Aku, Oliver, Poseidon dan Athena menuju ke pantai dengan naik mobil milik ayah Dylan (dia masih menjadi ikan badut) yang dikemudikan oleh Oliver. Sebenarnya Athena tidak harus ke pantai untuk pulang ke Olimpus, tapi ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan Oliver. Oliver sudah bisa menerima semua fakta tentang dirinya yang dikatakan oleh Athena.
“Baiklah, kurasa aku harus kembali ke istana sekarang. Aku sudah terlalu lama berada jauh dari wilayahku.” Ucap Poseidon.
“Aku juga akan pulang ke Olimpus sekarang. Aku tidak mau membuat yang lainnya khawatir padaku. Terutama Zeus. Tapi kurasa mereka akan mengerti.” Ucap Athena.
Athena beralih kepada Oliver. “Nak, kau sudah tumbuh besar sekarang. Jaga dirimu baik-baik ya. Dan jaga juga nenekmu di rumah. Dia sangat menyayangimu. Seperti halnya orang tuamu dan juga aku. Aku selalu menjadi ibumu, Oliver. Kalau kau butuh apa pun yang bisa kubantu, mintalah. Mudah-mudahan aku akan selalu ada disana saat kau membutuhkanku.”
“Ya, Dewi Ath—emm maksudku Ibu.” Ucap Oliver.
Lalu dalam hitungan detik saja, Athena telah terbuyarkan menjadi cahaya dan hilang.
Poseidon sudah berjalan ke pantai sampai air membasahi lututnya ketika ia berteriak sambil melambai kepadaku. “Aku sayang kau Delmora!” detik berikutnya ia menghilang tergulung ombak—atau mungkin dia yang menggulung ombak.
Aku dan Oliver memandang ombak sampai buih gelombang itu menjauh dan hilang di garis khatulistiwa.
Oliver meraih tanganku dan menggenggamnya seraya mengecup lembut punggung tanganku. Aku menoleh dan tersenyum padanya. Aku baru menyadari betapa banyaknya yang telah kami lewatkan bersama.
“Aku sayang kamu.” Ucapku.
Oliver hanya tersenyum lalu tertawa.
“Kenapa? Ada yang lucu dari kata-kataku barusan?” Tanyaku sedikit jengkel.
“Ngga.” Ucap Oliver di sela-sela tawanya.
“Terus?” Tuntutku.
“Aku masih memikirkan saat pertama kamu cium aku.” Ucap Oliver.
Wajahku terasa panas dan tak diragukan lagi pastinya sangatlah merah. Aku langsung memalingkan pandanganku dari wajah Oliver ke pasir yang tiba-tiba terlihat lebih menarik.
“Senja di tepi pantai. Waktu itu kamu lagi ketakutan, begitu juga aku. Aku sempat berpikir, kalau kamu ngga lagi ketakutan, mungkin kamu ngga akan dapat keberanian untuk melakukannya.” Ucap Oliver.
Aku mulai mengangkat kembali wajahku untuk menatap Oliver. Aku ngga terima dipermalukan pacarku sendiri.
“Tapi waktu di gua, kamu juga cium aku. Walaupun saat itu aku udah jadi setengah batu.” Ucapku.
“Aku sering lihat di film, kalau si jagoan mau perang, ceweknya selalu ngasih ciuman selamat tinggal untuk menyemangati.” Oliver berkata dengan polosnya.
Aku mendengus sebal. Jadi cuma karena dia lihat adegan di film?
Aku jadi merasa agak sakit hati. Berarti dia ngga menganggap hal itu spesial? Aku berkutat dengan pikiran-pikiran yang menyebalkan tentang cowok di sampingku ini. Kenapa cowok setampan ini bisa sama sekali tidak romantis sih?
Oliver kembali menggenggam tanganku. Aku menoleh karena ia menolehkan pipiku ke arah wajahnya.
“Tapi aku mau melakukannya lagi, Delmora.” Ucap Oliver polos.
Aku masih terdiam.
“Boleh kan?” Tanya Oliver dengan nada seperti seorang anak kecil yang sedang meminta dibelikan sebatang permen lolipop oleh ibunya.
Aku mengangguk.
Saat berikutnya, jarak antara aku dan Oliver sudah tidak bisa kuhitung lagi. Dia begitu dekat sampai aku bisa melihat bintik di hidungnya yang luar biasa mancung. Di saat yang sama dengan pertama kali kami melakukanya. Senja di tepi pantai.
Dan itulah aku, Delmora Naida Arethusa. Sekarang aku sudah menerima kenyataan kalau aku ini cewek berusia tujuh belas tahun yang dalam tubuhnya mengalir darah penguasa Laut, Dewa Poseidon. Salam Trisula.



 Previous: 

Kamis, 07 April 2016

Delmora The Ocean's Princess: Bab 13 (Kelahiran Oliver)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah





 Bab 13
Kelahiran Oliver
Aku merasakan belaian lembut yang mencoba menyingkirkan rambut-rambut nakal di keningku. Apakah ini surga? Bukan. Aku sudah tiga kali hampir mati. Tapi nyatanya aku masih hidup dan bernafas. Tapi mungkin yang selama ini aku lihat hanyalah mimpi. Ya. Pasti mimpi. Nyatanya aku masih disini. Di rumah. Dan bergerak. Tidak ada yang namanya jadi patung batu atau ikan badut. Medusa tidak ada, Athena tidak dikurung, dan aku bukan anak Poseidon. Ya, pasti aku hanya bermimpi.
Pemilik tangan yang membelaiku tersenyum. Aku baru hendak duduk di tempat tidur hangatku, tapi tangan di keningku berpindah ke badanku dan membiarkan aku berbaring lebih lama. Itu memang lebih baik. Karena aku baru sadar betapa pegalnya tubuhku.
“Sayang.” Panggil pemilik tangan yang ternyata ibuku.
“Ibu? Aku haus.” Ucapku lemah.
Ibuku menyodorkan segelas air putih ke mulutku. “Tentu saja kamu haus. Kamu tidur selama tiga hari.” Ucap Ibuku.
Tiga hari? Nah, benar kan kataku. Aku tidur cukup lama untuk memimpikan petualanganku yang luar biasa itu. Tapi kemudian sesuatu mengganjal hatiku.
“Oliver mana?” Ucapku.
“Dia ada di sebelahmu.” Jawab Ibuku.
Aku menengok ke tepi tempat tidur. Kepala Oliver terkulai lemah berbantalkan tangannya yang dilipat. Ia tertidur.
“Dia ngga mau pindah. Dia nunggu kamu sejak kalian pulang.” Jelas Ibuku.
“Pulang? Pulang dari mana?” Tanyaku.
“Kalian menyelamatkan Athena, ingat?” Jawab Ibuku.
“Athena?” Jadi aku ngga bermimpi selama ini? Aku langsung bangun dari posisi tiduranku dan menyentakkan kasur cukup keras untuk membangunkan Oliver.
“Ibu akan menyiapkan makanan untuk kalian.” Ucap Ibuku seraya meninggalkan kamarku.
Oliver langsung mengucek matanya dengan semangat ketika melihatku. “Delmora.” Ucapnya penuh haru.
“Katanya aku tidur selama tiga hari?” Tanyaku.
“Iya. Ternyata kamu benar-benar kelelahan setelah dari gua.” Ucap Oliver.
“Tapi aku ngga inget apa-apa setelah Athena menyentuh hidungku.” Ucapku.
“Athena bilang, butuh waktu cukup lama untuk mengembalikan kutukan Medusa. Kau ingat saat aku melakukannya untukmu? Setelah lima hari baru manjur.”
“Dan, kalian berhasil membawaku pulang?” Tanyaku.
“Naik Ferus. Kita harus cepat, kan?”
Ada banyak pertanyaan yang berlari-lari di kepalaku saat itu. Tapi saat aku mau mengajukannya, perutku menandakan aku benar-benar lapar.
Di ruang makan, aku tidak hanya melihat ibuku sendiri. Tapi di tambah dengan ayahku Poseidon dan Ibu Oliver, Athena.
“Terpujilah para Dewa.” Ucap Athena begitu aku masuk ke ruang makan.
“Selamat datang kembali, Delmora.” Ucap Poseidon.
Aku menyunggingkan senyuman. “Jadi, urusan kalian sudah selesai?” Tanyaku sambil mengambil tempat di sebelah Poseidon.
“Berkat kalian berdua.” Ucap Poseidon.
“Kami sangat berterima kasih pada kalian.” Sambung Athena.
Aku kembali tersenyum. Ternyata benar kenyataan antara aku, Oliver, Poseidon dan Athena.
Kami makan dengan suasana ramai dan hangat. Walaupun Poseidon dan Athena tidak ikut menyantap makanan seperti kami, mereka saling berbagi cerita dengan serunya. Tapi aku memperhatikan wajah Oliver yang justru murung sejak kami duduk mengelilingi meja makan.
Setelah makan selesai, Oliver langsung meninggalkan meja tanpa sepatah kata pun. Karena merasa ada yang tidak beres, aku pun menyusul tak lama setelah ia mengangkat bokongnya dari kursi.
“Oliver, ada apa?” Tanyaku ketika sampai menyusul Oliver.
Oliver tidak langsung menjawab. Ia diam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaanku yang singkat itu. “Ada sesuatu.” Jawabnya setelah berpikir dan menimbang.
“Apa?” Desakku.
“Aku masih bingung dengan Athena.” Ucapnya.
“Apa maksudmu?” Tanyaku juga bingung.
“Kalau dia memang ibuku, bagaimana bisa dia mengandungku dalam perutnya? Lagi pula setahuku, Athena tidak pernah berhubungan dengan laki-laki, apalagi manusia.” Ucap Oliver.
Jujur, aku juga tidak tahu cara menjawab pertanyaan ini. Selama beberapa lama kami berdua hanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Oliver, raut wajahnya sangat sulit dibaca. Lalu seseorang datang dan membuyarkan lamunan kami.
“Aku meminjamkannya.” Ucap Athena dari balik tubuh kami.
“Apa maksudmu?” Tanya Oliver setengah kaget.
“Aku meminjamkan rahimku pada ibumu dulu. Dia wanita yang cantik dan sangat baik. Tapi, seperti kebanyakan orang baik, mereka punya kehidupan yang tidak terlalu baik. Ibumu tidak bisa memiliki anak dari rahimnya sendiri. Dan selama bertahun-tahun dia sudah mencoba berbagai hal. Sampai sangat putus asanya, dia mau ayahmu menikahi wanita lain agar mereka bisa punya keturunan.” Jelas Athena dengan suara yang sangat menentramkan tapi juga berwibawa.
Ada banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalaku. Tapi sepertinya Athena masih mau bercerita. Jadi kutahan semua pertanyaanku dan menunggu Athena berbicara lagi.
“Saat hari kelahiranmu, aku menyaksikannya dengan jelas. Sayangnya ternyata ‘meminjamkan’ berarti lebih daripada yang kami semua bayangkan. Kau mewarisi beberapa sifat dewa-ku. Ibumu tidak terlalu kuat untuk melahirkanmu secara normal, mengingat kelahiranku sendiri tidak normal. Dokter kalian membuat pilihan siapa yang akan diselamatkan karena kau dan ibumu tidak bisa diselamatkan keduanya.”
“Ayahmu sudah membuat keputusan untuk menyelamatkan ibumu saja. Dia tidak tega melihat ibumu mengalami kesakitan yang luar biasa, dia sangat mencintainya. Tapi ibumu tidak merasa demikian. Dia ingin kamu yang selamat. Dia sangat menginginkan adanya seorang anak di keluarga. Sempat ada perselisihan antara ibu dan ayahmu. Tapi akhirnya ibumu-lah yang mengalah untuk kehidupanmu sekarang ini. Kau lahir dengan sempurna. Ketampanan luar biasa untuk seorang bayi yang lahir setengah dewa.”
“Kamu sempat tinggal beberapa bulan dengan ayahmu. Tapi kuperhatikan, semakin lama hati ayahmu semakin teriris setiap melihat wajahmu. Dia sangat merindukan ibumu dan selalu begitu setiap dia melihatmu. Akhirnya dia tidak tahan dan membunuh dirinya sendiri. Aku mengambilmu dan menitipkannya pada nenekmu. Aku tidak bisa mengurusmu secara langsung. Tapi sedikit banyak aku telah membantu nenekmu membesarkanmu sampai sekarang.”
“Jadi orangtuaku meninggal karena aku?” Tanya Oliver marah.
“Kamu jangan salah sangka, anakku.” Ucap Athena. “Aku tidak bermaksud bilang kamu adalah alasan orang tuamu meninggal.”
“Lalu apa?” Tanya Oliver semakin naik pitam.
“Beberapa waktu setelah mereka meninggal, mereka pernah mengunjungiku. Mereka bilang, mereka sangat menyayangimu. Dan mereka menitipkan kamu kepadaku. Mereka bilang, mungkin aku akan lebih berhasil merawatmu daripada mereka.”
Aku merasa seluruh bulu di lengan dan tengkukku berdiri semua. Aku merasa terharu sekaligus sedih mendengar cerita Athena barusan.
“Percayalah, Oliver. Mereka sangat menginginkanmu. Tidak ada alasan mereka tidak menyayangimu. Dan walaupun mereka sudah tidak lagi bersamamu, kau masih miliki aku. Darahku mengalir dalam tubuhmu juga.” Athena berkata dengan sabar.
Oliver tertunduk dalam diam. Aku melihat air mata mengalir ke pipinya sekilas. Tapi dia mencoba sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya dari pandanganku dan Athena.
“Aku selalu jadi ibumu, Oliver.” Athena mengakhiri obrolan dan berjalan masuk ke dalam rumah lagi.
Aku tetap di tempat untuk memastikan Oliver tidak apa-apa. Meskipun sepertinya Oliver sedang ingin sendiri, aku tidak bisa membiarkannya sendirian dalam keadaan ini. Aku tahu perasaannya sangat sedih.
Aku membelai punggung Oliver dengan lembut. “Oliver. Kamu ngga apa-apa?” Ucapku perlahan.
Oliver menyandarkan kepalanya pada bahuku. Kini aku bisa melihat dengan jelas butir air mata yang mengalir cantik ke pipinya. Bahkan saat sedang menangis seperti ini pun, ia tetap terlihat sangat tampan. Aku merangkulnya dengan harapan bisa mengembalikan semangat dan mengikis rasa sedihnya. Oliver tampak seperti seorang anak kecil yang kehilangan ibunya di tengah hujan badai. Ia menggigil tertahan dalam pelukanku.



 Previous: 
 Next:

Rabu, 23 Desember 2015

Delmora The Ocean's Princess: Bab 12 (Dewi Athena)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 12
Dewi Athena

“Etiam.” Jawab Oliver yang artinya ya
“Oliver kah itu?” Tanya suara wanita itu lagi.
“Ya, Bu.” Jawab Oliver lagi. “Kau ada di seberang sana?”
“Ya. Masih beberapa meter dari jaring.” Jawab Dewi Athena.
“Bagaimana cara kami bisa menembus jaring ini?” Tanya Oliver.
“Letakan batu atau apapun untuk menghalangi petirnya.” Jawab Athena.
“Baiklah, ibu tunggu sebentar. Aku akan cari caranya.” Ucap Oliver.
Oliver berbalik menghadapiku. Di wajahnya terpeta sangat jelas ia kebingungan.
“Sekarang gimana?” Tanyaku.
Oliver memberi pandangan aneh padaku. “Aku punya satu rencana. Tapi aku masih ragu.” Ucapnya.
“Apa? Bilang aja.” Ucapku mendesak.
“Sekarang jam lima. Sebentar lagi kamu kembali jadi patung batu. Kalau perhitunganku ngga meleset, seengganya kamu akan bisa menghalangi petirnya dan memberi celah untukku lewat.” Oliver berkata panjang lebar dengan keraguan masih jelas di wajahnya.
“Baiklah, ayo kita cari tahu apakah rencanamu itu akan berhasil atau ngga.” Jawabku tenang. Walaupun jujur, aku juga ragu dan takut.
“Tapi kalau gagal?” Tanya Oliver.
“Kita ngga akan tahu kalau kita ngga coba, sayang.” Ucapku.
Oliver menengok beberapa kali arloji di pergelangan tangan kirinya dengan cemas.
Kakiku mulai kaku. Aku tahu, matahari sudah tidak sabar untuk terbit menandakan hari akan mulai lagi.
“Oliver, kakiku mulai kaku.” Ucapku seraya berjalan lebih dekat ke jaring.
Oliver merentangkan tangannya menghalangiku. “Tunggu. Kita tunggu sampai seluruh tubuhmu berubah dulu. Aku ngga mau kamu kesetrum.”
Baiklah, aku mulai merasakan lagi sensasi tidak nyaman itu.
“Kalau leher kamu sudah membatu, baru aku akan mengangkatmu maju.” Ucap Oliver.
Beku baru mencapai betisku.
“Aku selalu sayang sama kamu, Delmora.” Ucap Oliver dengan nada rendah dan sedih.
Beku mulai merajahi pinggangku. Aku ngga boleh nangis di depan Oliver. Athena berada tinggal beberapa meter lagi.
“Kita pasti ketemu ngga lama lagi, sayang.” Ucap Oliver lagi.
Beku mulai membatukan leherku. Oliver memegang pinggangku dan melekatkan bibirnya padaku. Sedetik, ia mengangkat tubuhku dan meletakkannya di tengah jaring petir dan langsung membuat celah bebas petir di sisi lainnya.
“Aku akan segera kembali, sayang.” Aku masih mendengar Oliver berkata sebelum pergi. “Theoí na mas voíthísei.” Oliver berlari.
Aku masih bisa melihat Oliver menjauh. Dan aku baru sadar, ternyata kami telah mencapai ujung gua ini. Karena Oliver berjalan tidak terlalu jauh dariku. Kira-kira hanya berjarak enam meter dari kakiku.
“Ibu?” Panggil Oliver ke dinding ujung gua.
“Oliver.” Balas Athena.
“Kau dimana, Bu?” Tanya Oliver.
“Aku tepat berada di depanmu.” Ucap Athena.
Oliver meneliti tiap senti dinding ujung gua itu. Aku juga merasa aneh. Athena seperti bersuara dari dalam dinding. Karena jelas-jelas disana tidak ada ruang lagi untuk menampung apa pun, dan siapa pun.
Theoí na mas voíthísei.” Gumam Oliver.
Oliver kembali kepadaku. Ia mengambil pedangku yang kini sudah berubah menjadi batu juga seperti aku.
Oliver mencoba memukul-mukul dinding gua dengan pedang. Dan tidak ada yang terjadi kecuali lengannya kelelahan.
Aku melihat Oliver mendekatkan mata pedang batu itu ke telapak tangannya. Apa yang akan ia lakukan? Tak usah menunggu lama, pertanyaanku langsung terjawab. Oliver menggores telapak tangannya sendiri. Ih, aku ngga kuat ngeliatnya. Tapi aku ngga bisa berkedip.
Darah mengucur cukup deras dan langsung mengenai dinding dan lantai gua yang sudah sangat kotor tanpa ditambah darah dari Oliver.
Theoí na mas voíthísei.” Gumam Oliver sambil menyebarkan darahnya ke segala sudut dinding gua.
Oliver merintih kesakitan. Tangannya tergolek lemah ke arahku. Ugh, sebuah sayatan yang cukup lebar membuat hatiku merinding—kalau aku ngga jadi batu, mungkin seluruh rambut di tubuhku berdiri. Tapi ada hal aneh yang terjadi selanjutnya.
Dinding gua perlahan mulai luntur. Seperti lilin yang dibakar api. Walaupun lelehannya tidak memadat lagi melainkan berubah menjadi uap yang sepertinya baunya lebih busuk dari kotoran kelelawar. Aku bisa melihat uapnya berwarna kuning kehijauan.
Oliver masih terduduk lemah di lantai gua. Ternyata dia lupa kalau lantai gua itu sangat amat kotor sekali. Pada situasi lain, mungkin aku akan menganggapnya jorok. Tapi untuk saat ini, aku akan memaklumi.
Tiba-tiba jaring petir yang sejak tadi menerangi seluruh lubang gua padam seketika. Yang bisa kulihat hanyalah satu warna yang membuatku sakit kepala. Hitam. Tapi tak lama kok. Karena detik berikutnya aku melihat cahaya yang lebih terang dari jaring petir tadi. Datangnya tepat dari dinding yang baru saja meleleh. Itukah Athena?
Cantik. Mungkin itu adalah satu kata simpel yang bisa menggambarkan bagaimana rupa Athena. Walaupun sebenarnya, kata luar biasa, menakjubkan, atau spektakuler lebih cocok untuknya. Dari ujung rambut hingga jempol kaki tampak sangat sempurna dan bercahaya.
“Gratias tibi, Oliver.” Ucap Athena sambil membantu Oliver berdiri, dan mengayunkan tangannya dengan lembut ke telapak tangan Oliver yang kemudian terbalut perban dengan rapi.
“Duis te, mater.” Ucap Oliver.
Aku baru sadar Oliver sangat mahir berbicara bahasa Latin. Tapi aku tidak iri padanya, sebab, sulit sekali belajar bahasa latin. Belum lagi tulisannya. Aku lebih memilih bahasa Arab daripada Latin.
Athena berjalan ke arahku dengan langkahnya yang ringan dan anggun. Athena pasti akan membuat semua wanita ingin menjadi seperti dirinya. Cantik, ramah, berani, pintar dan kuat. Uuhhhh...
Sang Dewi berhenti tepat di depan wajahku. Ia meneliti wajahku dengan seksama dan mengacungkan tangannya ke hidungku. Lalu aku tidak ingat lagi apa yang ia lakukan kepadaku. Karena aku tiba-tiba saja tak sadarkan diri.


 Previous: 

Selasa, 06 Oktober 2015

Delmora The Ocean's Princess: Bab 11 (Boa Kelelawar Hantu)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 11
Boa Kelelawar Hantu
          Aku dan Oliver melanjutkan perjalanan menyusuri gua. Suhu disini sungguh dingin. Langkah-langkah kami pun ramai karena di pantulkan gema. Sebenarnya gua ini cukup besar, tapi banyaknya stalaktit dan stalagmit yang bertebaran di langit-langitnya membuat gua ini akan sulit dilalui orang yang jangkung. Baunya pun basah dan lembab. Lantainya penuh dengan kotoran kelelawar.
          “Berapa jauh lagi kita berjalan?” Tanya Oliver.
          “Entahlah. Ferus ngga ngasih tahu apa-apa.” Jawabku.
          Setelah sepuluh langkah lagi berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara desisan yang tidak asing di telingaku. Ular.
          Aku dan Oliver saling menatap seakan takut salah satu dari kami tiba-tiba dilahap ular. Aku mengarahkan pedangku ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara. Tapi tetap tak tampak apa pun yang menyebabkan desisan itu.
          “Oliver, jangan injak kakiku.” Ucapku. Karena aku merasa kakiku menjadi berat.
          “Aku tidak menginjak kakimu.” Ucap Oliver.
          Refleks, aku langsung mengarahkan pedangku ke kaki dan membiarkan cahayanya menyinari lantai gua.
          SSSSHHHHHHH.
          Sekitar sepuluh ular Boa sedang tidur nyenyak melingkarkan tubuhnya bagai bantal bulu yang empuk. Aku mendekap mulut dengan buku tangan menahan suara dan nafasku. Aku hampir menangis.
          “Mereka sedang tidur.” Ucap Oliver dalam bisikan.
          Aku mengangguk ketakutan.
          “Ayo pelan-pelan kita lewati saja mereka. Jangan sampai menginjaknya.” Ucap Oliver lagi lebih pelan.
          Baru satu kaki kuangkat, ular-ular itu mulai membuka lingkaran tubuhnya dan menunjukkan ukuran aslinya.
          Oliver merebut pedang dari genggamanku dan langsung menebas seluruh bagian ular yang bisa dijangkaunya. Langsung saja lantai gua menjadi penuh darah yang berwarna merah pekat dan lengket. Beberapa ular mencoba melilitku. Dan yang bisa kulakukan hanyalah meloncat-loncat seperti sedang bermain lompat tali.
          DUG. Aku terjatuh terjerembab di lantai. Dua ekor ular menindih tubuhku dan melilitku dengan kuat.
          “O-Liv er.” Aku berkata dengan suara sesak. Sebentar lagi aku akan mati.
          Oliver terlalu sibuk dengan ular-ular yang lain dan juga kesulitan untuk menjangkauku. Aku berusaha memberontak. Tapi semakin aku bergerak, ular-ular ini semakin membelit dengan kuat.
          Desisan lain terdengar dari jauh. Aku punya pikiran, saudara-saudara ular yang lain mulai berdatangan. Dan tak lewat dari semenit, puluhan ular merayap menuju santapan malamnya. Kami.
          Oliver sudah kelelahan menebas ular-ular itu yang kini bertambah banyak. Dan yang mencengangkan adalah, tiba-tiba dia berlari maju dan meninggalkanku berkutat dengan ular di atas tubuhku yang kini sudah berjumlah tujuh. Apa yang akan dia lakukan? Membiarkanku menjadi makan malam keluarga ular ini? Kini air mata telah benar-benar menetes dari pupil mataku yang kini buta lagi karena cahaya pedang telah menjauh.
          Baiklah, lebih baik dihancurkan dengan parang oleh petugas jaga pantai teluk Pangandaran daripada jadi santapan. Aku sudah tidak bisa bergerak. Oliver, dimana kamu?!
          Cahaya berwarna biru terang datang kepadaku. Awalnya kukira aku sudah berada di surga. Namun ternyata Oliver kembali dengan pasukan burungnya.
          Bukan benar-benar burung sih. Kebanyakan justru kelelawar yang terbang dan langsung membabi buta serangan ular Boa kepadaku. Sisanya ada beberapa burung hantu yang mulai mencakar-cakar ular itu. Kenapa aku tahu mereka itu kelelawar? Karena baunya sama dengan bau tubuhku yang sudah tercampur lantai gua ini.
          Sebuah tangan membantuku berdiri.
          “Delmora, kamu baik-baik saja?” Tanya Oliver.
          Aku tidak mampu berkata apa-apa. Yang kurasakan kemudian, aku sudah melayang beberapa senti dari tanah dan bergelantungan lemah di lengan Oliver. Kami kabur dari sarang ular.
          Setelah membuat jarak kira-kira setengah panjang lapangan bola, Oliver menurunkanku dari gendongannya.
Theoí na mas voíthísei
Epanèlthete se kanonikí
Aku menemukan tubuhku bergurat merah dan biru. Rasanya lelah sekali. Aku ingin tidur seharian ini.
“Oliver?” Panggilku untuk menandakan aku sudah sadar.
“Kamu baik aja, Delmora?” Tanya Oliver.
“Aku sudah lebih baik kok.” Jawabku.
Aku mencoba menggerakkan otot tubuhku, dan gagal.
“Sini aku bantu.” Ucap Oliver. Lalu ia memegang leher dan pinggangku sambil mengucapkan kata-kata dalam bahasa Yunani yang dulu pernah ia gumamkan sebelumnya saat aku masih jadi patung batu.
“Apa itu?” Tanyaku.
“Hanya doa, seperti biasa.” Jawab Oliver.
“Tapi aku bisa sembuh.” Ucapku.
“Akan kuajarkan padamu lain kali. Kita harus jalan lagi. Sekarang sudah jam empat. Sebentar lagi matahari terbit.” Oliver membantuku bangun.
Malam yang lama. Aku sampai lupa kalau pagi adalah musuhku saat ini. Kami melanjutkan perjalanan.
Sekitar dua ratus meter tertempuh kakiku dan Oliver, kami menemui jalan bercabang.
“Kita harus ke arah mana?” Tanyaku.
Oliver menimbang sambil menyorongkan pedang ke jalan sebelah kanan dan kiri secara bergantian selama beberapa kali berturut-turut.
“Sudah bisa menentukan?” Tanyaku lagi yang mulai bosan melihat Oliver bergantian memilih jalan dengan pedang.
“Ini aneh.” Ucap Oliver. “Di jalan sebelah kiri, kita bisa melihat dengan penerangan cahaya pedang. Tapi di jalan sebelah kanan, cahaya pedang tidak dapat membantu pengelihatan kita.”
“Baiklah, ayo kita ambil yang terang. Aku mulai muak dengan kegelapan.” Ucapku.
“Ngga segampang itu, Delmora.” Ucap Oliver. “Kita ambil yang sebelah kanan.”
Oliver melangkahkan kakinya melewati jalan di sebelah kanan. Mau tak mau, aku menggandeng erat lengan Oliver. Mataku buta lagi. Sama sekali tak ada cahaya disini.
Entah karena aku sangat kedinginan dan membayangkan api unggun yang bisa menghangatkan tubuhku, atau memang suhu di gua berubah panas?
Perlahan, mataku mulai berfungsi lagi. Ada sebuah cahaya besar diujung gua. Bentuknya seperti sebuah sarang dari jaring laba-laba raksasa. Tapi bersinar dan panas. Dan aku baru sadar, jaring itu terbuat dari petir. Maksudku, benar-benar petir. Karena listrik tidak mungkin ada di gua seperti ini. Dan jaring itu menutupi seluruh lubang gua, memblokir jalan kami.
Suara langkah kami masih bergaung di gua. Dan ketika kami sudah berada tepat di depan jaring petir itu, terdengar suara seseorang.
“Quis est?” Ucap suara seorang wanita di seberang jaring. Apakah ada orang?





 Previous: 

Senin, 10 Agustus 2015

Delmora The Ocean's Princess: Bab 10 (Bertemu Saudara Tiri)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 10
Bertemu Saudara Tiri
          Kami telah mencapai mulut gua yang sebetulnya tidaklah panjang. Aku bisa melihat sisi lain gua dari sini. Aku menoleh ke Oliver tanda bingung.
          “Bagaimana caranya dia menyembunyikan Athena disini?” Tanyaku.
          “Entahlah. Kurasa kita harus masuk dulu.” Ucap Oliver.
          Aku menunduk menghindari goresan langsung stalaktit dan stalagmit yang tajam dan banyak menghiasi langit-langit gua yang rendah. Dalam situasi lain, pemandangan gua ini pasti indah. Tapi kalau melihatnya pada malam hari, kesan indah sangat sulit ditangkap. Apalagi kalau tahu tujuan kita kesini adalah untuk menyelamatkan seseorang dari penculikan seorang Gorgon.
          Kami baru beberapa langkah masuk ketika Oliver berhenti berjalan.
          “Ada apa?” Tanyaku.
          “Sepertinya ada orang lain di gua ini.” Ucap Oliver dengan nada takut. “Dengar.”
          Aku diam dan menajamkan telingaku. Aku tidak mendengar apa-apa. Tapi tunggu. Ada yang bergerak di dinding. Aku merapatkan tubuhku ke Oliver.
          “Apa itu?” Tanyaku.
          “Sepertinya itu adalah makhluk berkaki banyak yang merayap.” Jawab Oliver.
          Kami terdiam di tengah gua. Menunggu sesuatu menyambut? Ini gua yang pendek. Apa yang kita harapkan? Hanya ada kita berdua disini. Aku sempat berpikir, mungkin besok kita harus mencari tempat baru untuk melanjutkan pencarian Athena. Di gua kecil ini tidak ada apa-apa atau siapa-siapa.
          “Athena!” Aku berteriak memecah kesunyian.
          “Delmora, apa yang kamu lakukan?” Tegur Oliver.
          “Apa rencana yang kamu punya sekarang? Menunggu pagi dan membawa patungku kembali ke kereta?” Ucapku.
          Lalu sunyi kembali merayapi kami. Tapi suara sesuatu yang merayap itu kembali dan kini mendekat. Oliver yang aku tahu dia sangat takut dengan sesuatu ‘berkaki’ banyak langsung semakin merapat padaku.
          Tiba-tiba dari dinding, aku melihat sesuatu.
          Oliver mengeluarkan pedang dari saku di pinggangku. Ia menyabet-nyabet tanpa arah ke sumber suara.
          “Oliver Oliver, tenang. Dengar. Dia tidak melawan.” Ucapku sambil merebut kembali pedangku dan memasukannya ke saku. “Kemarilah, aku tidak mau menyakiti apa pun kamu.” Ucapku ke arah dinding.
          Pelan-pelan, aku melihat sesosok besar makhluk berkaki delapan yang merayap di dinding. Oliver sudah ingin mengambil pedangku lagi sebelum kujauhkan pinggangku darinya. Oliver gemetar dari kepala sampai kelingking kakinya.
          “Kamu siapa?” Tanyaku mengarah ke bola mata hitam kelam yang kini juga menatapku dengan tajam.
          “Aku bukan siapa-siapa.” Jawab sosok dingin.
          “Sungguh, aku tahu kamu pasti seseorang.” Ucapku membujuk. Entah mengapa, aku sepertinya tahu kalau makhluk ini tahu tentang keberadaan Athena.
          “Kamu siapa?” Makhluk itu berbalik bertanya.
          “Namaku Delmora. Aku putri Poseidon.” Ucapku.
          Meskipun bola matanya sudah hitam dan terbuka lebar, aku melihat makhluk itu membelalak.
          “Apa yang membawamu kesini Putri Poseidon?” Tanyanya.
          “Kami mencari Dewi Athena. Kau tahu dimana dia?”
          “Ya.” Jawabnya.
          “Bisakah kita keluar dari kegelapan ini? Aku merasa kita sedang dikepung.” Ucap Oliver menggigil ketakutan.
          “Jangan.” Gumam makhluk itu penuh kesakitan.
          “Kenapa?” Tanyaku.
          “Kalian memang sedang dikepung. Tapi percayalah, kalian akan lebih bersyukur dalam kegelapan ini. Beberapa dari mereka buta. Tapi mereka akan tahu kehadiran kalian kalau terang.” Jelas makhluk itu.
          “Jadi. Kau tahu keberadaan Athena, dan bisakah kau memberitahu kami?” Tanyaku dengan sopan.
          “Tidak.” Jawab makhluk itu dengan lantang.
          “Kenapa?” Tanya Oliver.
          “Aku tidak bisa mengambil resiko. Teman-temanku yang lain sangat ingin memakannya. Tapi aku tidak akan membiarkan nasib Athena lebih buruk daripada menjadi santapan kami.” Jawab makhluk itu.
          “Apakah otak di kedelapan kakimu tidak cukup untuk memikirkan seorang Dewi untuk menjadi santapan Laba-laba sepertimu?” Ucap Oliver marah.
          “Laba-laba?” Aku kebingungan. Jadi selama ini aku berbicara dengan laba-laba? Ih, jijik.
          “Untuk menjauhkannya dari orang sepertimulah, aku ada disini, anak muda.” Makhluk yang katanya laba-laba itu bergerak mendekat Oliver, yang aku tahu pasti cukup membuat jantungnya berolahraga.
          “Jadi, apa yang harus kami lakukan untuk bisa membebaskan Athena?” Tanyaku.
          “Habisi dulu teman-teman kanibal-ku.” Jawab si makhluk.
          “Haruskah?” Ucapku kaget.
          “Ya, kecuali salah satu dari kalian bisa membuktikan kalau kalian tidak akan berbuat jahat kepada Athena.”
          “Wow, kau beruntung karena salah satu dari kami ternyata adalah anak dari Dewi Athena sendiri.” Ucap Oliver.
          “Benarkah kau pemberian Athena?” Ucap makhluk itu mendadak lembut dan penuh kasih sayang.
          “Ya.” Jawab Oliver bangga.
          Sunyi sebentar sebelum si makhluk berkaki delapan itu mulai bicara lagi.
          “Kalau begitu, kalian boleh tahu tentang Athena.” Ucapnya.
          “Terima Kasih emm siapa namamu?” Ucapku.
          “Ferus.” Jawab laba-laba bernama Ferus itu.
          Tapi aku melihat ada yang tidak beres dari Ferus. Dia menjadi kelihatan sedikit sedih. Matanya berkaca-kaca seperti menahan tangis.
          “Ada apa, Ferus?” Tanyaku.
          “A-aku, tidak.” Ferus tergagap.
          Tiba-tiba saja pedang dalam saku meluncur keluar dan menari-nari dalam genggaman Oliver. Apa yang dilakukannya? Membunuh laba-laba yang mengepung kami.
          Benar kata Ferus tadi, kegelapan memang membantu. Oliver tidak perlu melihat dengan siapa ia berkelahi. Sebab kalau ya, mungkin dia akan pingsan saat itu juga. Walaupun sudah tiga kali kakiku hampir ditebas putus di tangan pedangku sendiri.
          Butuh waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk memastikan kami aman menyalakan penerangan agar mengusir kegelapan yang mencekam. Aku menarik sebuah kayu dari dahan pohon terdekat dan mulai menggesekannya bersamaan. Sewaktu pramuka dulu, aku tidak pernah berhasil menyalakan api dengan cara ini, tapi hanya butuh beberapa detik saja untuk menyalakannya saat ini. Dan untuk beberapa saat aku menjadi takjub sendiri dengan hasil kerjaku.
          Dan harus kuakui, Oliver juga mungkin sedang takjub dengan hasil kerjanya. Laba-laba kanibal yang disebut Ferus sudah tidak ada lagi. Tapi...
          Ada sesuatu yang merayap di dinding selain Ferus. Laba-laba lain yang dua kali lebih besar darinya. Membuka mulut lebar-lebar dan bersiap membunuh kami semua dengan satu kali gulungan jaringnya. Lalu aku pun menyuruh air menggulung laba-laba itu sebelum aku yang digulung. Laba-laba itu terseret gelombang air dadakan dan kemudian menjauh bersama air.
          “Tidak!!!” Jerit Ferus.
          “Kenapa?” Tanyaku.
          “Kau harus membunuh yang itu juga. Aku mohon.” Pintanya.
          Lalu aku mengembalikan arus air dan membuat gelombang yang menyeret laba-laba itu kembali. Aku seperti pengendali suku air di Avatar. Seru sekali. Saat laba-laba cukup dekat dengan jangkauan pedang yang di pegang Oliver, ia menutup matanya dan menghunuskan pedang ke tubuh si laba-laba raksasa. Laba-laba itu menjerit kesakitan lalu lenyap. Aku pun menyudahi pertunjukkan gelombang airku dan memapah tubuh Oliver yang lemas. Aku tahu ketakutannya lebih besar daripada rasa lelah perlawanannya.
          Dengan penerangan yang seadanya dari kayu yang kubakar tadi, aku masih bisa melihat bahwa Ferus si laba-laba yang sejak awal kedatangan kami menempel di dinding gua, kini mulai berubah bentuk. Maksudku dia benar-benar berubah bentuk. Ada bagian-bagian tubuhnya yang tampak membesar dan mengecil di segala tempat. Dan tak menunggu waktu lama, tiba-tiba saja sosok laba-laba yang menyeramkan tadi telah berubah menjadi seekor kuda bersayap.
          Besarnya dua kali ukuran kuda normal, berwarna hitam pekat, dan sepasang sayap menyembul keluar di sisi kanan dan kiri tubuh si kuda.
          “Ferus?” Panggilku.
          Ferus meringkik. “Ya, Delmora.”
          “Ya, dan sekarang aku ngga ngerti obrolan kamu sama Ferus.” Ucap Oliver.
          “Delmora, terima kasih telah mengembalikanku kembali ke bentuk asliku.” Ucap Ferus.
          “Sama-sama, Ferus.” Ucapku. “Siapa yang mengubahmu menjadi laba-laba?”
          “Ibu.” Jawab Ferus. “Aku harus menjaga Athena agar dia atau pun anak-anaknya tidak bisa membebaskannya.”
          “Jenius.” Ucapku.
          “Ayolah, apa yang kalian obrolkan? Aku mulai kedinginan disini.” Ucap Oliver.
          “Ferus diubah menjadi laba-laba oleh Medusa. Lalu disuruh jaga Athena biar ngga kabur.” Ucapku.
          “Tragis ya, diubah sama ibunya sendiri.” Ucap Oliver jijik.
          “Ayo kita bebaskan Athena.”Ucap Ferus.
          Ferus berjalan ke salah satu bagian dinding yang cekung. Lalu ia menghentakkan kaki kudanya. Beberapa detik saja lantai gua berubah menjadi sebuah mata air yang muncrat keluar dengan deras sampai menghalangi pandangan dinding yang tadi berbentuk cekung.
          “Ayo masuk. Kamu hanya perlu melewati airnya.” Ucap Ferus.
          “Masuk? Tapi ngga ada ruang di dalam. Tadi cuma cekungan dinding gua.” Ucapku.
          “Dia minta kita nerobos air ini?” Tanya Oliver. “Bagaimana bisa kita percaya dia ngga mau nyesatin kita?”
          “Percayalah, Oliver.” Ucapku.
          “Bagaimana bisa aku percaya sama anak Medusa?” Sergah Oliver.
          “Mungkin ibunya memang Medusa, tapi dia masih satu ayah sama aku.” Ucapku agak tersinggung.
          Oliver kelihatan menjadi tidak enak. “Maaf, Delmora. Aku hanya emosi karena Medusa. Maafkan aku.” Ucapnya memohon.
          “Iya, gapapa.”
          Kami melangkahkan kaki menerobos mata air itu. Kami basah kuyup. Walaupun aku sudah menyuruh air itu supaya tidak membuatku basah, nyatanya aku tetap basah juga. Mata air yang aneh.
          “Itu mata air pemunah kutukan. Senjata kalian sama sekali tidak berfungsi disini.” Jelas Ferus menjawab pertanyaan dalam kepalaku.
          Dan ternyata, ketika kami keluar dari derasnya air, kami tidak menabrak dinding lengkung tadi. Air itu membawa kami ke gua lain yang ujungnya sangat panjang. Aku bahkan tidak dapat melihat apa-apa karena saking gelapnya.
          “Pakai pedangmu, Delmora.” Ucap Ferus.
          Pakai pedangku? Untuk apa?
          Pertanyaanku langsung terjawab begitu aku mengeluarkan pedangku dari dalam saku. Sebilah pedang di genggamanku bersinar begitu saja seperti ada yang memasukan lampu pipih ke dalamnya. Membuat mataku tidak buta lagi. Oliver berada tepat di sebelah kananku, Ferus ada di sisi lainnya.
          “Harus berjalan sedikit.” Ucap Ferus. “Tapi harus kuperingatkan, akan ada beberapa yang harus kau hadapi.”
          “Maksudmu seperti apa?” Tanyaku.
          “Entahlah. Aku tidak tahu.” Jawab Ferus. “Tapi aku hanya bisa sampai sini. Aku terlalu besar untuk gua ini. Kalian lanjutlah.”
          “Ferus hanya bisa mengantar kita sampai disini.” Ucapku pada Oliver.
          “Kenapa?” Tanya Oliver.
          “Dia terlalu besar untuk gua ini. Ayo kita lanjut.” Jawabku. “Kau tidak apa, Ferus?”
          “Ya, jangan khawatirkan kami, Ferus. Apakah kamu akan menunggu kami?” Ucap Oliver.
          “Ya. Tentu saja. Aku akan menunggu sampai kalian kembali. Semoga berhasil.” Ucap Ferus.
          “Terima kasih, Ferus.” Ucapku.



Previous: