Kamis, 06 Desember 2018

Traumatized



Gue pernah punya suatu hubungan yang umurnya sekitar satu setengah tahun. Lalu hubungan itu kandas karena cowok gue selingkuh dari gue. Gue memang ngga menunjukkan patah hati yang berkepanjangan (cuma nangis selama tiga hari tiga malam). Gue tampaknya baik-baik aja. Tapi saat itu gue sadar, gue bukan lagi gue yang dulu. Sebelum gue jadian sama (kita sebut aja Nine/9).



gue sebut Nine bukan karena dia pacar ke sembilan ya, pure sebutan aja.



Ada beberapa cowok yang dekatin gue pasca Nine. Tapi gue sama sekali ngga tertarik. Meskipun gue sudah merasa biasa aja sama dia, gue sudah bisa merelakan dan memaafkan apa yang sudah dia lakuin ke gue. Tapi ternyata hati gue belum siap. Gue belum bisa terima cowok lain di hidup gue. Gue belum bisa kenalan dan terbiasa lagi sama cowok baru. Tahu apa kesukaannya, hobi dia, teman-temannya. Meskipun gue sama sekali ngga mau balikan lagi sama Nine.

Gue ga pernah menyangka kalau hubungan gue sama Nine se-membekas itu. Sampai gue ngga bisa jatuh cinta lagi sama orang lain.


Selama ngga punya pacar, gue jadi punya banyak hobi baru. Tentunya hobi yang bisa gue lakukan seorang diri. Salah satunya hobi nonton di bioskop.


XXI Pejaten Village menjadi saksi bisu dan langganan gue untuk menghilangkan kebosanan. Dalam seminggu, gue bisa 2 kali nonton film. Boros memang, tapi gue bosan. 


Waktu itu kegiatan gue cuma bekerja dan pulang ke rumah. Weekend sih gue ke sekolah SMK gue untuk ikut latihan ekskul Paduan Suara. Tapi itu belum bisa bikin gue sibuk. Dan lagi ngga ada yang chat gue tiap hari, bosenin banget sih keseharian gue. Soalnya orang tua gue juga jarang nyariin gue. Gue juga kurang dekat sama teman kantor karena mereka semua umurnya kebanyakan beda 20 tahun diatas gue yang waktu itu memulai karir di umur 17 tahun. Gue ngga mengharapkan bisa hangout bareng mereka sih. Belum lagi urusan selera dan obrolan yang terkadang ga gue mengerti. Misalnya gini, mereka hidup di zaman Metallica atau Guns and Roses saat gue tau nya lagu Paramore atau Fall out Boys. Age matter


Di tengah dilemma itu, gue deket lagi sama sahabat gue di SMA. Saat itu dia lagi menjalin hubungan sama cewek yang ngga terlalu gue kenal. Tapi ngga lama setelah itu, dia balikan lagi sama sahabat cewek gue di SMA. Mereka bertahan cukup lama kali ini. Gue ikut senang. Karena sepertinya kali ini mereka akan lebih bahagia.


Gue ngga tahu kenapa dan sejak kapan, tapi sebetulnya ada saat dimana gue sama sekali ngga kabar-kabaran sama sahabat cewek gue yang pacaran sama sahabat cowok gue ini. Gue tahu sih si cewek ini sedikit banyak cemburu banget kalau cowoknya deket sama gue. Dan kayaknya itu yang jadi pemicu kita sempat ngga akur. Walaupun gue mendukung mereka berdua seratus persen, si cewek pastinya tetap curiga. Iya, karena gue memang pernah mengakui kalau gue juga suka sama si cowok. 


Kemudian ada sebuah berita yang cukup heboh di inner circle gue. Jadi gue tahu dari sahabat gue yang lain kalo si cewek ini selingkuh dari cowoknya. Dan cowoknya udah tahu dong, walaupun begitu dia ngga mau bilang dan lebih memilih diam dan cuek aja nunggu si cewek mengakui sendiri kalau dia punya pacar yang lain. Tapi gue tahu betul gimana perasaannya si cowok, karena gue juga pernah ngerasain waktu Nine selingkuh dari gue.



Sahabat cowok gue ini menghubungi gue dan minta advice dari gue. Jujur gue bingung. Gue juga lagi dalam kondisi yang ngga memungkinkan untuk dimintai pendapat. Dia tahu gue lagi 'musuhan' sama ceweknya (sampai gue di delete contact blackberry messenger sama ceweknya), tapi dia minta saran sama gue. Dari dulu gue selalu support dia pacaran sama sahabat gue karena gue dulu percaya sama si cewek. Gue rela bukan gue cewek yang dipilih cowok itu. Tapi gue akan bahagia kalau dia bahagia sama cewek yang dia cinta. Kalau si cewek udah selingkuh gini, gue ga tahu mesti gimana dong?


Akhirnya gue pun sering mengajak dia nonton film bareng. Jadi kita ketemuan langsung di XXI Pejaten Village. Gue sih berusaha untuk se-minim mungkin melakukan kontak fisik. Gue lebih pengen jadi pendengar yang baik untuk dia. Gue yakin itu satu-satunya hal yang dia butuhkan saat itu. Entah pertemuan ke berapa, akhirnya gue mengakui kalo perasaan gue buat dia timbul lagi. Iya gue suka lagi sama dia. 



Sebetulnya gue sama sekali ngga pernah berniat untuk ngga suka lagi sama dia, kasus gue dan dia bisa dibilang kurang lebih mirip dengan kasus cinta Harry-Ginny di Harry Potter. Ketika gue sebagai Ginny yang ngga terlihat di mata Harry sama sekali, gue memilih untuk tidak terlalu mengharapkan perasaannya akan membalas perasaan gue. Gue memilih untuk menjadi diri gue sendiri dan mencoba untuk pergi bersama cowok lain untuk menghilangkan kecanggungan kalau gue berhadapan dengan Harry. 


Meskipun gue sama sekali ngga berniat untuk pacaran sama dia. Tapi gue ngga bisa terus melihat dia sedih. Dan tanpa gue sadari, dia pun mulai melihat gue dengan tatapan yang lain. Bukan tatapan seorang teman untuk sahabatnya lagi.


Saat itu ada teman gue yang bilang kalau gue ngga boleh terlalu kepedean, si cowok mau nonton sama gue itu bukan karena dia suka sama gue. Tapi karena gue ada saat dia lagi butuh. Gue memang ngga pernah mau merasa terlalu percaya diri. Tapi perasaan si cowok ini ke gue kelihatan jelas setiap kita ketemu. Dan saat itulah terjadi.






Si cowok ini nembak gue.







Tentu aja tanpa pikir panjang gue nolak dia. Statusnya itu masih pacaran sama sahabat cewek gue. Gue benar-benar ngga punya muka dan hati kalau misalnya nerima cowok ini. Tapi lebih dari itu, gue memang masih belum siap untuk pacaran lagi. Gue masih belum bisa menerima kenyataan kalau di setiap memulai hubungan, cepat atau lambat pasti akan berakhir. Dan menurut pengalaman gue yang baru aja gue rasain, mengakhiri hubungan itu ngga selalu berjalan baik. Terkadang ada pengkhianatan disana.


Tapi cowok ini ngga menyerah begitu aja. Entah berapa kali dia sudah nembak gue dan memohon agar gue mau nerima dia jadi pacar gue. Dan gue juga ngga menyerah begitu aja untuk selalu menolak dan menolak lagi. Meskipun gue tahu perasaannya saat itu lagi ngga karuan dan butuh penghiburan. Tapi gue tetap terus menolak.

"Gue akan tetap hibur lo, ada di sisi lo, dan siap dengerin semua keluhan lo soal hidup lo. Gue akan lakuin itu semua meskipun gue bukan pacar lo." Itu yang selalu gue bilang.

Sampai akhirnya, si cowok ini melakukan satu keputusan besar dalam hubungannya.


Hubungan sahabat cowok gue dengan sahabat cewek gue berlangsung cukup lama. Mereka beberapa kali putus nyambung. Dan biasanya si cewek lah yang mutusin hubungan mereka. Tapi kali ini, si cowok yang mengambil langkah. Dia ngga bisa lagi melihat pacarnya pacaran sama cowok lain. Dan ya, cowok itu mutusin ceweknya. Setelah itu dia kirim chat gue sekali, "gue udah putus" dan setelah chat singkat itu, dia pun menghilang ngga ada kabar lagi berhari-hari kemudian.


Gue merasa yang dilakuin cowok itu adalah yang paling tepat. Kalau memang sahabat cewek gue bahagia dengan keputusannya memilih selingkuhannya dibanding sahabat cowok gue, gue rasa cowok ini pantas untuk bahagia juga, meskipun ngga bersama si cewek. Tapi bagaimana pun, si cowok itu pasti patah hati banget. Hubungan mereka itu kira-kira berlangsung selama kurang lebih tiga tahun. 


Setelah hilang kurang lebih seminggu, dia akhirnya kembali memenuhi chat gue. Dia minta maaf karena hilang selama ini. Dia bilang dia butuh waktu untuk sendiri dan menghilangkan bayangan si cewek. Dan gue bangga sama dia karena bisa mengambil keputusan yang tepat saat itu. Bukan karena gue berharap setelah mereka putus terus si cowok bakal nembak gue lagi. Tapi karena gue ngga bisa terus melihat dia sedih.

We're back to how we were before. Supporting each other and just be friends.. But not for a long time.


Dia kembali nembak gue meskipun udah tahu apa jawaban gue. No, I'm fine with my loneliness.


And again, he's just confessed.

But yeah, my guard is break more and more.

And finally, I lose.


Perasaan untuk memiliki orang yang gue sayang yang selama ini gue tahan, akhirnya ga bisa lagi gue tahan. Gue mengalah pada cinta. Gue mengalah dan menerima bahwa gue jatuh cinta sama dia. Dan gue membayangkan akan lebih bahagia kalau gue dan dia bisa sama-sama mencintai.


Dan untuk sahabat cewek gue yang juga mantan cowok itu, I feel bad for her. Gue sudah mempercayakan orang yang gue sayang untuk bahagia sama dia. Tapi dia mengecewakan bukan hanya si cowok, tapi juga gue. Ibaratnya gue memberikan rasa sayang gue ke cowok itu sekitar tujuh puluh persen, tapi gue mengalah untuk membiarkan cowok itu menjadi milik cewek yang rasa cintanya ke cowok itu cuma sekitar tiga puluh persen. That's hurt. Gue merasa kalau itu sudah final. Once a cheater, she will do it again and again.




So, apa gue masih ngga siap untuk memulai hubungan baru? Ya, gue ngga siap. Gue terima ajakan pacaran cowok itu karena dia bukan orang baru di hidup gue. Dan gue suka sama dia sejak empat tahun sebelum kami jadian, tepatnya sejak kita ketemu di tingkat SMA. Lagipula kalau dia memilih gue untuk jadi pacarnya, setidaknya itu berarti gue membuat dia sedikit banyak merasa bahagia kan? Kalau gue belum bisa membuat diri gue sendiri bahagia, setidaknya gue ngga perlu menolak orang yang akan merasa bahagia kalau gue menjadi pacarnya. Sampai sekarang gue merasa kalau bukan karena cowok itu, gue ngga akan pernah siap menjalin hubungan baru setelah Nine.


Buat kalian yang pernah atau sudah beberapa kali cheating, please STOP. If you aren't love your boyfriend/girlfriend anymore and just bored, please just leave them. Because you don't know how much your love is loved you. And even after you gone, the scar will always stay there. Don't know how long it takes to make it gone forever.



--D Ark R Ain Bow--