Senin, 10 Agustus 2015

Delmora The Ocean's Princess: Bab 10 (Bertemu Saudara Tiri)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 10
Bertemu Saudara Tiri
          Kami telah mencapai mulut gua yang sebetulnya tidaklah panjang. Aku bisa melihat sisi lain gua dari sini. Aku menoleh ke Oliver tanda bingung.
          “Bagaimana caranya dia menyembunyikan Athena disini?” Tanyaku.
          “Entahlah. Kurasa kita harus masuk dulu.” Ucap Oliver.
          Aku menunduk menghindari goresan langsung stalaktit dan stalagmit yang tajam dan banyak menghiasi langit-langit gua yang rendah. Dalam situasi lain, pemandangan gua ini pasti indah. Tapi kalau melihatnya pada malam hari, kesan indah sangat sulit ditangkap. Apalagi kalau tahu tujuan kita kesini adalah untuk menyelamatkan seseorang dari penculikan seorang Gorgon.
          Kami baru beberapa langkah masuk ketika Oliver berhenti berjalan.
          “Ada apa?” Tanyaku.
          “Sepertinya ada orang lain di gua ini.” Ucap Oliver dengan nada takut. “Dengar.”
          Aku diam dan menajamkan telingaku. Aku tidak mendengar apa-apa. Tapi tunggu. Ada yang bergerak di dinding. Aku merapatkan tubuhku ke Oliver.
          “Apa itu?” Tanyaku.
          “Sepertinya itu adalah makhluk berkaki banyak yang merayap.” Jawab Oliver.
          Kami terdiam di tengah gua. Menunggu sesuatu menyambut? Ini gua yang pendek. Apa yang kita harapkan? Hanya ada kita berdua disini. Aku sempat berpikir, mungkin besok kita harus mencari tempat baru untuk melanjutkan pencarian Athena. Di gua kecil ini tidak ada apa-apa atau siapa-siapa.
          “Athena!” Aku berteriak memecah kesunyian.
          “Delmora, apa yang kamu lakukan?” Tegur Oliver.
          “Apa rencana yang kamu punya sekarang? Menunggu pagi dan membawa patungku kembali ke kereta?” Ucapku.
          Lalu sunyi kembali merayapi kami. Tapi suara sesuatu yang merayap itu kembali dan kini mendekat. Oliver yang aku tahu dia sangat takut dengan sesuatu ‘berkaki’ banyak langsung semakin merapat padaku.
          Tiba-tiba dari dinding, aku melihat sesuatu.
          Oliver mengeluarkan pedang dari saku di pinggangku. Ia menyabet-nyabet tanpa arah ke sumber suara.
          “Oliver Oliver, tenang. Dengar. Dia tidak melawan.” Ucapku sambil merebut kembali pedangku dan memasukannya ke saku. “Kemarilah, aku tidak mau menyakiti apa pun kamu.” Ucapku ke arah dinding.
          Pelan-pelan, aku melihat sesosok besar makhluk berkaki delapan yang merayap di dinding. Oliver sudah ingin mengambil pedangku lagi sebelum kujauhkan pinggangku darinya. Oliver gemetar dari kepala sampai kelingking kakinya.
          “Kamu siapa?” Tanyaku mengarah ke bola mata hitam kelam yang kini juga menatapku dengan tajam.
          “Aku bukan siapa-siapa.” Jawab sosok dingin.
          “Sungguh, aku tahu kamu pasti seseorang.” Ucapku membujuk. Entah mengapa, aku sepertinya tahu kalau makhluk ini tahu tentang keberadaan Athena.
          “Kamu siapa?” Makhluk itu berbalik bertanya.
          “Namaku Delmora. Aku putri Poseidon.” Ucapku.
          Meskipun bola matanya sudah hitam dan terbuka lebar, aku melihat makhluk itu membelalak.
          “Apa yang membawamu kesini Putri Poseidon?” Tanyanya.
          “Kami mencari Dewi Athena. Kau tahu dimana dia?”
          “Ya.” Jawabnya.
          “Bisakah kita keluar dari kegelapan ini? Aku merasa kita sedang dikepung.” Ucap Oliver menggigil ketakutan.
          “Jangan.” Gumam makhluk itu penuh kesakitan.
          “Kenapa?” Tanyaku.
          “Kalian memang sedang dikepung. Tapi percayalah, kalian akan lebih bersyukur dalam kegelapan ini. Beberapa dari mereka buta. Tapi mereka akan tahu kehadiran kalian kalau terang.” Jelas makhluk itu.
          “Jadi. Kau tahu keberadaan Athena, dan bisakah kau memberitahu kami?” Tanyaku dengan sopan.
          “Tidak.” Jawab makhluk itu dengan lantang.
          “Kenapa?” Tanya Oliver.
          “Aku tidak bisa mengambil resiko. Teman-temanku yang lain sangat ingin memakannya. Tapi aku tidak akan membiarkan nasib Athena lebih buruk daripada menjadi santapan kami.” Jawab makhluk itu.
          “Apakah otak di kedelapan kakimu tidak cukup untuk memikirkan seorang Dewi untuk menjadi santapan Laba-laba sepertimu?” Ucap Oliver marah.
          “Laba-laba?” Aku kebingungan. Jadi selama ini aku berbicara dengan laba-laba? Ih, jijik.
          “Untuk menjauhkannya dari orang sepertimulah, aku ada disini, anak muda.” Makhluk yang katanya laba-laba itu bergerak mendekat Oliver, yang aku tahu pasti cukup membuat jantungnya berolahraga.
          “Jadi, apa yang harus kami lakukan untuk bisa membebaskan Athena?” Tanyaku.
          “Habisi dulu teman-teman kanibal-ku.” Jawab si makhluk.
          “Haruskah?” Ucapku kaget.
          “Ya, kecuali salah satu dari kalian bisa membuktikan kalau kalian tidak akan berbuat jahat kepada Athena.”
          “Wow, kau beruntung karena salah satu dari kami ternyata adalah anak dari Dewi Athena sendiri.” Ucap Oliver.
          “Benarkah kau pemberian Athena?” Ucap makhluk itu mendadak lembut dan penuh kasih sayang.
          “Ya.” Jawab Oliver bangga.
          Sunyi sebentar sebelum si makhluk berkaki delapan itu mulai bicara lagi.
          “Kalau begitu, kalian boleh tahu tentang Athena.” Ucapnya.
          “Terima Kasih emm siapa namamu?” Ucapku.
          “Ferus.” Jawab laba-laba bernama Ferus itu.
          Tapi aku melihat ada yang tidak beres dari Ferus. Dia menjadi kelihatan sedikit sedih. Matanya berkaca-kaca seperti menahan tangis.
          “Ada apa, Ferus?” Tanyaku.
          “A-aku, tidak.” Ferus tergagap.
          Tiba-tiba saja pedang dalam saku meluncur keluar dan menari-nari dalam genggaman Oliver. Apa yang dilakukannya? Membunuh laba-laba yang mengepung kami.
          Benar kata Ferus tadi, kegelapan memang membantu. Oliver tidak perlu melihat dengan siapa ia berkelahi. Sebab kalau ya, mungkin dia akan pingsan saat itu juga. Walaupun sudah tiga kali kakiku hampir ditebas putus di tangan pedangku sendiri.
          Butuh waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk memastikan kami aman menyalakan penerangan agar mengusir kegelapan yang mencekam. Aku menarik sebuah kayu dari dahan pohon terdekat dan mulai menggesekannya bersamaan. Sewaktu pramuka dulu, aku tidak pernah berhasil menyalakan api dengan cara ini, tapi hanya butuh beberapa detik saja untuk menyalakannya saat ini. Dan untuk beberapa saat aku menjadi takjub sendiri dengan hasil kerjaku.
          Dan harus kuakui, Oliver juga mungkin sedang takjub dengan hasil kerjanya. Laba-laba kanibal yang disebut Ferus sudah tidak ada lagi. Tapi...
          Ada sesuatu yang merayap di dinding selain Ferus. Laba-laba lain yang dua kali lebih besar darinya. Membuka mulut lebar-lebar dan bersiap membunuh kami semua dengan satu kali gulungan jaringnya. Lalu aku pun menyuruh air menggulung laba-laba itu sebelum aku yang digulung. Laba-laba itu terseret gelombang air dadakan dan kemudian menjauh bersama air.
          “Tidak!!!” Jerit Ferus.
          “Kenapa?” Tanyaku.
          “Kau harus membunuh yang itu juga. Aku mohon.” Pintanya.
          Lalu aku mengembalikan arus air dan membuat gelombang yang menyeret laba-laba itu kembali. Aku seperti pengendali suku air di Avatar. Seru sekali. Saat laba-laba cukup dekat dengan jangkauan pedang yang di pegang Oliver, ia menutup matanya dan menghunuskan pedang ke tubuh si laba-laba raksasa. Laba-laba itu menjerit kesakitan lalu lenyap. Aku pun menyudahi pertunjukkan gelombang airku dan memapah tubuh Oliver yang lemas. Aku tahu ketakutannya lebih besar daripada rasa lelah perlawanannya.
          Dengan penerangan yang seadanya dari kayu yang kubakar tadi, aku masih bisa melihat bahwa Ferus si laba-laba yang sejak awal kedatangan kami menempel di dinding gua, kini mulai berubah bentuk. Maksudku dia benar-benar berubah bentuk. Ada bagian-bagian tubuhnya yang tampak membesar dan mengecil di segala tempat. Dan tak menunggu waktu lama, tiba-tiba saja sosok laba-laba yang menyeramkan tadi telah berubah menjadi seekor kuda bersayap.
          Besarnya dua kali ukuran kuda normal, berwarna hitam pekat, dan sepasang sayap menyembul keluar di sisi kanan dan kiri tubuh si kuda.
          “Ferus?” Panggilku.
          Ferus meringkik. “Ya, Delmora.”
          “Ya, dan sekarang aku ngga ngerti obrolan kamu sama Ferus.” Ucap Oliver.
          “Delmora, terima kasih telah mengembalikanku kembali ke bentuk asliku.” Ucap Ferus.
          “Sama-sama, Ferus.” Ucapku. “Siapa yang mengubahmu menjadi laba-laba?”
          “Ibu.” Jawab Ferus. “Aku harus menjaga Athena agar dia atau pun anak-anaknya tidak bisa membebaskannya.”
          “Jenius.” Ucapku.
          “Ayolah, apa yang kalian obrolkan? Aku mulai kedinginan disini.” Ucap Oliver.
          “Ferus diubah menjadi laba-laba oleh Medusa. Lalu disuruh jaga Athena biar ngga kabur.” Ucapku.
          “Tragis ya, diubah sama ibunya sendiri.” Ucap Oliver jijik.
          “Ayo kita bebaskan Athena.”Ucap Ferus.
          Ferus berjalan ke salah satu bagian dinding yang cekung. Lalu ia menghentakkan kaki kudanya. Beberapa detik saja lantai gua berubah menjadi sebuah mata air yang muncrat keluar dengan deras sampai menghalangi pandangan dinding yang tadi berbentuk cekung.
          “Ayo masuk. Kamu hanya perlu melewati airnya.” Ucap Ferus.
          “Masuk? Tapi ngga ada ruang di dalam. Tadi cuma cekungan dinding gua.” Ucapku.
          “Dia minta kita nerobos air ini?” Tanya Oliver. “Bagaimana bisa kita percaya dia ngga mau nyesatin kita?”
          “Percayalah, Oliver.” Ucapku.
          “Bagaimana bisa aku percaya sama anak Medusa?” Sergah Oliver.
          “Mungkin ibunya memang Medusa, tapi dia masih satu ayah sama aku.” Ucapku agak tersinggung.
          Oliver kelihatan menjadi tidak enak. “Maaf, Delmora. Aku hanya emosi karena Medusa. Maafkan aku.” Ucapnya memohon.
          “Iya, gapapa.”
          Kami melangkahkan kaki menerobos mata air itu. Kami basah kuyup. Walaupun aku sudah menyuruh air itu supaya tidak membuatku basah, nyatanya aku tetap basah juga. Mata air yang aneh.
          “Itu mata air pemunah kutukan. Senjata kalian sama sekali tidak berfungsi disini.” Jelas Ferus menjawab pertanyaan dalam kepalaku.
          Dan ternyata, ketika kami keluar dari derasnya air, kami tidak menabrak dinding lengkung tadi. Air itu membawa kami ke gua lain yang ujungnya sangat panjang. Aku bahkan tidak dapat melihat apa-apa karena saking gelapnya.
          “Pakai pedangmu, Delmora.” Ucap Ferus.
          Pakai pedangku? Untuk apa?
          Pertanyaanku langsung terjawab begitu aku mengeluarkan pedangku dari dalam saku. Sebilah pedang di genggamanku bersinar begitu saja seperti ada yang memasukan lampu pipih ke dalamnya. Membuat mataku tidak buta lagi. Oliver berada tepat di sebelah kananku, Ferus ada di sisi lainnya.
          “Harus berjalan sedikit.” Ucap Ferus. “Tapi harus kuperingatkan, akan ada beberapa yang harus kau hadapi.”
          “Maksudmu seperti apa?” Tanyaku.
          “Entahlah. Aku tidak tahu.” Jawab Ferus. “Tapi aku hanya bisa sampai sini. Aku terlalu besar untuk gua ini. Kalian lanjutlah.”
          “Ferus hanya bisa mengantar kita sampai disini.” Ucapku pada Oliver.
          “Kenapa?” Tanya Oliver.
          “Dia terlalu besar untuk gua ini. Ayo kita lanjut.” Jawabku. “Kau tidak apa, Ferus?”
          “Ya, jangan khawatirkan kami, Ferus. Apakah kamu akan menunggu kami?” Ucap Oliver.
          “Ya. Tentu saja. Aku akan menunggu sampai kalian kembali. Semoga berhasil.” Ucap Ferus.
          “Terima kasih, Ferus.” Ucapku.



Previous: 

0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!