Delmora The
Ocean’s Princess
Created By:
Safitri
Tsa’niyah
Bab 10
Bertemu
Saudara Tiri
Kami telah mencapai mulut gua yang sebetulnya
tidaklah panjang. Aku bisa melihat sisi lain gua dari sini. Aku menoleh ke
Oliver tanda bingung.
“Bagaimana caranya dia menyembunyikan
Athena disini?” Tanyaku.
“Entahlah. Kurasa kita harus masuk
dulu.” Ucap Oliver.
Aku menunduk menghindari goresan
langsung stalaktit dan stalagmit yang tajam dan banyak menghiasi langit-langit
gua yang rendah. Dalam situasi lain, pemandangan gua ini pasti indah. Tapi
kalau melihatnya pada malam hari, kesan indah sangat sulit ditangkap. Apalagi
kalau tahu tujuan kita kesini adalah untuk menyelamatkan seseorang dari
penculikan seorang Gorgon.
Kami baru beberapa langkah masuk
ketika Oliver berhenti berjalan.
“Ada apa?” Tanyaku.
“Sepertinya ada orang lain di gua
ini.” Ucap Oliver dengan nada takut. “Dengar.”
Aku diam dan menajamkan telingaku. Aku
tidak mendengar apa-apa. Tapi tunggu. Ada yang bergerak di dinding. Aku
merapatkan tubuhku ke Oliver.
“Apa itu?” Tanyaku.
“Sepertinya itu adalah makhluk berkaki
banyak yang merayap.” Jawab Oliver.
Kami terdiam di tengah gua. Menunggu
sesuatu menyambut? Ini gua yang pendek. Apa yang kita harapkan? Hanya ada kita
berdua disini. Aku sempat berpikir, mungkin besok kita harus mencari tempat
baru untuk melanjutkan pencarian Athena. Di gua kecil ini tidak ada apa-apa
atau siapa-siapa.
“Athena!” Aku berteriak memecah
kesunyian.
“Delmora, apa yang kamu lakukan?”
Tegur Oliver.
“Apa rencana yang kamu punya sekarang?
Menunggu pagi dan membawa patungku kembali ke kereta?” Ucapku.
Lalu sunyi kembali merayapi kami. Tapi
suara sesuatu yang merayap itu kembali dan kini mendekat. Oliver yang aku tahu
dia sangat takut dengan sesuatu ‘berkaki’ banyak langsung semakin merapat
padaku.
Tiba-tiba dari dinding, aku melihat
sesuatu.
Oliver mengeluarkan pedang dari saku
di pinggangku. Ia menyabet-nyabet tanpa arah ke sumber suara.
“Oliver Oliver, tenang. Dengar. Dia
tidak melawan.” Ucapku sambil merebut kembali pedangku dan memasukannya ke
saku. “Kemarilah, aku tidak mau menyakiti apa pun kamu.” Ucapku ke arah
dinding.
Pelan-pelan, aku melihat sesosok besar
makhluk berkaki delapan yang merayap di dinding. Oliver sudah ingin mengambil
pedangku lagi sebelum kujauhkan pinggangku darinya. Oliver gemetar dari kepala
sampai kelingking kakinya.
“Kamu siapa?” Tanyaku mengarah ke bola
mata hitam kelam yang kini juga menatapku dengan tajam.
“Aku bukan siapa-siapa.” Jawab sosok
dingin.
“Sungguh, aku tahu kamu pasti
seseorang.” Ucapku membujuk. Entah mengapa, aku sepertinya tahu kalau makhluk
ini tahu tentang keberadaan Athena.
“Kamu siapa?” Makhluk itu berbalik
bertanya.
“Namaku Delmora. Aku putri Poseidon.”
Ucapku.
Meskipun bola matanya sudah hitam dan
terbuka lebar, aku melihat makhluk itu membelalak.
“Apa yang membawamu kesini Putri
Poseidon?” Tanyanya.
“Kami mencari Dewi Athena. Kau tahu dimana
dia?”
“Ya.” Jawabnya.
“Bisakah kita keluar dari kegelapan
ini? Aku merasa kita sedang dikepung.” Ucap Oliver menggigil ketakutan.
“Jangan.” Gumam makhluk itu penuh
kesakitan.
“Kenapa?” Tanyaku.
“Kalian memang sedang dikepung. Tapi
percayalah, kalian akan lebih bersyukur dalam kegelapan ini. Beberapa dari
mereka buta. Tapi mereka akan tahu kehadiran kalian kalau terang.” Jelas
makhluk itu.
“Jadi. Kau tahu keberadaan Athena, dan
bisakah kau memberitahu kami?” Tanyaku dengan sopan.
“Tidak.” Jawab makhluk itu dengan
lantang.
“Kenapa?” Tanya Oliver.
“Aku tidak bisa mengambil resiko.
Teman-temanku yang lain sangat ingin memakannya. Tapi aku tidak akan membiarkan
nasib Athena lebih buruk daripada menjadi santapan kami.” Jawab makhluk itu.
“Apakah otak di kedelapan kakimu tidak
cukup untuk memikirkan seorang Dewi untuk menjadi santapan Laba-laba
sepertimu?” Ucap Oliver marah.
“Laba-laba?” Aku kebingungan. Jadi
selama ini aku berbicara dengan laba-laba? Ih, jijik.
“Untuk menjauhkannya dari orang sepertimulah,
aku ada disini, anak muda.” Makhluk yang katanya laba-laba itu bergerak
mendekat Oliver, yang aku tahu pasti cukup membuat jantungnya berolahraga.
“Jadi, apa yang harus kami lakukan
untuk bisa membebaskan Athena?” Tanyaku.
“Habisi dulu teman-teman kanibal-ku.”
Jawab si makhluk.
“Haruskah?” Ucapku kaget.
“Ya, kecuali salah satu dari kalian
bisa membuktikan kalau kalian tidak akan berbuat jahat kepada Athena.”
“Wow, kau beruntung karena salah satu
dari kami ternyata adalah anak dari Dewi Athena sendiri.” Ucap Oliver.
“Benarkah kau pemberian Athena?” Ucap
makhluk itu mendadak lembut dan penuh kasih sayang.
“Ya.” Jawab Oliver bangga.
Sunyi sebentar sebelum si makhluk
berkaki delapan itu mulai bicara lagi.
“Kalau begitu, kalian boleh tahu
tentang Athena.” Ucapnya.
“Terima Kasih emm siapa namamu?”
Ucapku.
“Ferus.” Jawab laba-laba bernama Ferus
itu.
Tapi aku melihat ada yang tidak beres
dari Ferus. Dia menjadi kelihatan sedikit sedih. Matanya berkaca-kaca seperti
menahan tangis.
“Ada apa, Ferus?” Tanyaku.
“A-aku, tidak.” Ferus tergagap.
Tiba-tiba saja pedang dalam saku
meluncur keluar dan menari-nari dalam genggaman Oliver. Apa yang dilakukannya?
Membunuh laba-laba yang mengepung kami.
Benar kata Ferus tadi, kegelapan
memang membantu. Oliver tidak perlu melihat dengan siapa ia berkelahi. Sebab
kalau ya, mungkin dia akan pingsan saat itu juga. Walaupun sudah tiga kali
kakiku hampir ditebas putus di tangan pedangku sendiri.
Butuh waktu sepuluh sampai lima belas
menit untuk memastikan kami aman menyalakan penerangan agar mengusir kegelapan
yang mencekam. Aku menarik sebuah kayu dari dahan pohon terdekat dan mulai
menggesekannya bersamaan. Sewaktu pramuka dulu, aku tidak pernah berhasil
menyalakan api dengan cara ini, tapi hanya butuh beberapa detik saja untuk
menyalakannya saat ini. Dan untuk beberapa saat aku menjadi takjub sendiri
dengan hasil kerjaku.
Dan harus kuakui, Oliver juga mungkin
sedang takjub dengan hasil kerjanya. Laba-laba kanibal yang disebut Ferus sudah
tidak ada lagi. Tapi...
Ada sesuatu yang merayap di dinding
selain Ferus. Laba-laba lain yang dua kali lebih besar darinya. Membuka mulut
lebar-lebar dan bersiap membunuh kami semua dengan satu kali gulungan
jaringnya. Lalu aku pun menyuruh air menggulung laba-laba itu sebelum aku yang
digulung. Laba-laba itu terseret gelombang air dadakan dan kemudian menjauh
bersama air.
“Tidak!!!” Jerit Ferus.
“Kenapa?” Tanyaku.
“Kau harus membunuh yang itu juga. Aku
mohon.” Pintanya.
Lalu aku mengembalikan arus air dan
membuat gelombang yang menyeret laba-laba itu kembali. Aku seperti pengendali
suku air di Avatar. Seru sekali. Saat laba-laba cukup dekat dengan jangkauan
pedang yang di pegang Oliver, ia menutup matanya dan menghunuskan pedang ke
tubuh si laba-laba raksasa. Laba-laba itu menjerit kesakitan lalu lenyap. Aku
pun menyudahi pertunjukkan gelombang airku dan memapah tubuh Oliver yang lemas.
Aku tahu ketakutannya lebih besar daripada rasa lelah perlawanannya.
Dengan penerangan yang seadanya dari
kayu yang kubakar tadi, aku masih bisa melihat bahwa Ferus si laba-laba yang
sejak awal kedatangan kami menempel di dinding gua, kini mulai berubah bentuk.
Maksudku dia benar-benar berubah bentuk. Ada bagian-bagian tubuhnya yang tampak
membesar dan mengecil di segala tempat. Dan tak menunggu waktu lama, tiba-tiba
saja sosok laba-laba yang menyeramkan tadi telah berubah menjadi seekor kuda
bersayap.
Besarnya dua kali ukuran kuda normal,
berwarna hitam pekat, dan sepasang sayap menyembul keluar di sisi kanan dan
kiri tubuh si kuda.
“Ferus?” Panggilku.
Ferus meringkik. “Ya, Delmora.”
“Ya, dan sekarang aku ngga ngerti
obrolan kamu sama Ferus.” Ucap Oliver.
“Delmora,
terima kasih telah mengembalikanku kembali ke bentuk asliku.” Ucap Ferus.
“Sama-sama, Ferus.” Ucapku. “Siapa
yang mengubahmu menjadi laba-laba?”
“Ibu.”
Jawab Ferus. “Aku harus menjaga Athena
agar dia atau pun anak-anaknya tidak bisa membebaskannya.”
“Jenius.” Ucapku.
“Ayolah, apa yang kalian obrolkan? Aku
mulai kedinginan disini.” Ucap Oliver.
“Ferus diubah menjadi laba-laba oleh
Medusa. Lalu disuruh jaga Athena biar ngga kabur.” Ucapku.
“Tragis ya, diubah sama ibunya
sendiri.” Ucap Oliver jijik.
“Ayo
kita bebaskan Athena.”Ucap Ferus.
Ferus berjalan ke salah satu bagian
dinding yang cekung. Lalu ia menghentakkan kaki kudanya. Beberapa detik saja
lantai gua berubah menjadi sebuah mata air yang muncrat keluar dengan deras
sampai menghalangi pandangan dinding yang tadi berbentuk cekung.
“Ayo
masuk. Kamu hanya perlu melewati airnya.” Ucap Ferus.
“Masuk? Tapi ngga ada ruang di dalam.
Tadi cuma cekungan dinding gua.” Ucapku.
“Dia minta kita nerobos air ini?”
Tanya Oliver. “Bagaimana bisa kita percaya dia ngga mau nyesatin kita?”
“Percayalah, Oliver.” Ucapku.
“Bagaimana bisa aku percaya sama anak
Medusa?” Sergah Oliver.
“Mungkin ibunya memang Medusa, tapi
dia masih satu ayah sama aku.” Ucapku agak tersinggung.
Oliver kelihatan menjadi tidak enak.
“Maaf, Delmora. Aku hanya emosi karena Medusa. Maafkan aku.” Ucapnya memohon.
“Iya, gapapa.”
Kami melangkahkan kaki menerobos mata
air itu. Kami basah kuyup. Walaupun aku sudah menyuruh air itu supaya tidak
membuatku basah, nyatanya aku tetap basah juga. Mata air yang aneh.
“Itu
mata air pemunah kutukan. Senjata kalian sama sekali tidak berfungsi disini.”
Jelas Ferus menjawab pertanyaan dalam kepalaku.
Dan ternyata, ketika kami keluar dari
derasnya air, kami tidak menabrak dinding lengkung tadi. Air itu membawa kami
ke gua lain yang ujungnya sangat panjang. Aku bahkan tidak dapat melihat
apa-apa karena saking gelapnya.
“Pakai
pedangmu, Delmora.” Ucap Ferus.
Pakai pedangku? Untuk apa?
Pertanyaanku langsung terjawab begitu
aku mengeluarkan pedangku dari dalam saku. Sebilah pedang di genggamanku
bersinar begitu saja seperti ada yang memasukan lampu pipih ke dalamnya.
Membuat mataku tidak buta lagi. Oliver berada tepat di sebelah kananku, Ferus
ada di sisi lainnya.
“Harus
berjalan sedikit.” Ucap Ferus. “Tapi
harus kuperingatkan, akan ada beberapa yang harus kau hadapi.”
“Maksudmu seperti apa?” Tanyaku.
“Entahlah.
Aku tidak tahu.” Jawab Ferus. “Tapi
aku hanya bisa sampai sini. Aku terlalu besar untuk gua ini. Kalian lanjutlah.”
“Ferus hanya bisa mengantar kita
sampai disini.” Ucapku pada Oliver.
“Kenapa?” Tanya Oliver.
“Dia terlalu besar untuk gua ini. Ayo
kita lanjut.” Jawabku. “Kau tidak apa, Ferus?”
“Ya, jangan khawatirkan kami, Ferus.
Apakah kamu akan menunggu kami?” Ucap Oliver.
“Ya.
Tentu saja. Aku akan menunggu sampai kalian kembali. Semoga berhasil.” Ucap
Ferus.
“Terima kasih, Ferus.” Ucapku.
Previous:
0 comment:
Posting Komentar
Come share to us !!