Delmora The
Ocean’s Princess
Created By:
Safitri
Tsa’niyah
Bab 4
Masalah dengan
Air?
Setelah obrolan serius antara Ayah dan anak itu, aku pun
menerima pelajaran keduaku. Dan kali ini Ayahku sendiri yang melatihku. Karena
hanya dia yang mampu mengendalikan air dan gelombang. Awalnya aku merasa
kesulitan dan selalu menelan banyak air. Tapi setelahnya, aku bahkan bisa
berselancar tanpa papan selancar dengan mengendalikan ombak.
Aku tidak tahu apa manfaatnya mengendalikan gelombang
untuk melawan seseorang di daratan. Tapi yang pasti, ayah menyuruhku untuk bisa
dalam hal ini.
==
“Hai Delmora. Harimu menyenangkan?” Tanya Oliver lewat
telepon.
“Yah, lumayan. Hari ini aku belajar surfing di pantai.”
Jawabku.
“Waw, pasti sangat menyenangkan sekali ya.” Suara Oliver
tampak aneh. Walaupun kalimat yang diucapkannya bersemangat, nada suaranya sama
sekali tidak bersemangat.
“Harimu menyenangkan, sayang?” Tanyaku berusaha tidak
merasa aneh.
“Tidak juga. Tadi siang aku bertemu serombongan laba-laba
entah dari mana.”
“Laba-laba? Serombongan? Kau bercanda. Laba-laba tidak
pernah berombongan.”
“Itulah yang membuatku bertanya-tanya.”
“Aneh.” Gumamku.
Aku membatin. Apakah ayahku ada kaitannya dengan
peristiwa yang terjadi pada Oliver. Atau itu ulah Dewa lain yang juga membenci
Athena dan keturunannya. Tapi apakah Oliver tahu kalau dia anak Dewa? Bagaimana
kalau kasusnya sama sepertiku yang tidak tahu kalau Poseidon adalah ayahku?
Atau mungkinkah Oliver juga sudah diberitahu lebih awal?
“Del?” Tegur Oliver padaku karena lagi-lagi mendiamkan
telepon terlalu lama tanpa berkata apa-apa.
“Ya?” Aku tersentak kaget.
“Kau baik-baik saja?”
“Aku hanya khawatir memikirkanmu.”
“Tenang saja. Aku tidak apa-apa.”
“Baiklah. Miss you.”
“Miss you.”
Kami mengakhiri obrolan kami.
Oliver benar-benar membuatku khawatir. Kalau benar aku
harus melawan anak Dewi Athena, aku harus melawan Oliver kalau begitu?—kalau
dia benar anak Dewi Athena. Dan kalau benar Athena adalah dewa paling kuat,
bagaimana mungkin aku menang melawannya? Aku bahkan tidak tahu untuk apa aku
melawan anak Dewi Athena. Aku tidak tahu persoalan apa lagi yang bisa menyulut
permasalahan antara ayahku dengan—kemungkinan—ibu Oliver. Tapi aku dan Oliver
kan saling menyayangi.
==
Hari ini aku akan berlatih pelajaran ketigaku. Kami
berlatih di tepi pantai. Karena untuk yang satu ini aku membutuhkan tunggangan.
Hari ini aku akan berlatih menunggang kuda.
Awalnya kukira menunggangi kuda adalah sesuatu yang
menyeramkan dan sulit. Tapi pengecualian, berhubung aku anak Poseidon—seingat
yang kubaca di google dia pencipta kuda—tidak sulit untuk mengendalikannya.
Kuda-kuda itu bisa mengerti bahasa yang kuucapkan. Begitu pula dengan aku yang
mengerti apa yang dikatakan kuda-kuda itu. Yang sulit adalah, meyakinkan mereka
tentang waktu yang pas. Bisa saja ketika mereka kusuruh berlari, mereka malah
makan atau buang air.
“Hei, ini bukan waktunya untuk cemilan.” Tegurku saat
kuda berwarna cokelat yang kunaiki tiba-tiba saja berhenti dan mulai mengunyah
rumput laut yang nyangkut di bawah
kakinya.
“Mengertilah
putri, aku jarang makan rumput disini. Semua hanya pasir dan pasir sejauh mata
memandang.” Ucap kuda cokelat
itu.
“Baiklah.” Aku berkata lelah lalu turun dari punggungnya.
Aku menyusuri tepi pantai dengan berjalan kaki kembali
menuju ke tempat ayahku yang sekarang sedang menemani ibu minum air buah kelapa.
“Kau meninggalkan kudamu, Delmora.” Ucap Ayahku.
“Dia lapar. Dia sedang makan rumput laut disana.
Sepertinya lupa seharusnya dia makan rumput darat.” Jawabku.
“Sulit sekali menumbuhkan rumput hijau di pasir, sayang.”
Ibu memberikan sebuah kelapa padaku.
==
Berada di pulau selama satu minggu mulai membuatku rindu
suasana kota yang padat dan ramai. Akhirnya aku pun minta izin pada ibu dan
ayah untuk menghabiskan waktu berjalan-jalan di mall bersama Oliver. Awalnya
ayah tidak mengizinkan dan khawatir. Tapi aku meyakinkannya dengan membawa
seekor laba-laba dalam toples untuk berjaga-jaga.
Tapi ayahku masih tetap khawatir juga. Akhirnya ia
mengajakku minum teh—walaupun dia sendiri tidak minum—dan mulai menceritakan
apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Athena.
“Kau sudah siap untuk mengetahui kebenarannya, Delmora.”
Ucapnya memulai obrolan.
“Baiklah. Ceritakan.” Ucapku.
“Jadi begini, kau tahu kota Athena?”
“Ya, kota itu cukup terkenal. Ada apa?”
“Dia mau melebarkan wilayahnya.”
“Apa urusannya dengan ayah?”
“Dia ingin melebarkannya ke lautan. Kerajaan ayah.”
“Ayolah yah. Lautan kan memang lebih besar daripada
daratan. Apa yang kurang kalau dia hanya mengambil sedikit?” Ucapku gampang.
“Lagipula, Kota Athena kan ngga punya wilayah yang langsung menghadap ke laut.
Bagaimana ayah tahu kalau Athena mau berbuat begitu?”
“Bisa-bisa seratus tahun lagi, hanya segitiga bermuda
yang tersisa untuk ayah.” Poseidon mendengus. “Athena itu sangat cerdik. Dia
pasti selalu menemukan caranya. Kalau dia tidak mau melebarkan wilayahnya,
untuk apa dia berada di laut? Wilayahku?”
“Tapi apa masalahnya?”
“Itu masalahnya, Delmora. Kami para Dewa telah dibagikan
wilayah untuk masing-masing. Dan bagaimana tidak menjadi masalah kalau ada yang
mau merebut wilayah yang sudah dibagikan?”
“Baiklah, lalu apa yang harus aku lakukan untuk ayah? Kau
tidak mungkin menyuruhku membunuh Oliver, kan?”
“Kau sangat pintar Delmora. Kau bawa dia padaku. Hidup
atau mati. Aku akan mengancam Athena dengan putranya.”
“Tapi bagaimana kalau ternyata Oliver bukanlah anak
Athena?”
“Kau akan tau sebentar lagi. Sekarang pergilah. Oliver-mu
pasti sudah menunggu dengan cemas di dermaga.” Ayahku mengelus rambutku. “Dan,
jangan kecewakan aku.” Tambahnya.
Aku menaiki ship dan berlayar menuju ke kota. Aku
memerintahkan air untuk bergerak lebih cepat. Aku tak ingin membuat Oliver
merasa curiga. Bagaimanapun, aku tetap tidak ingin membunuh pacarku.
Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan pada ayah
kalau Oliver bukanlah anak Athena? Dengan menghadiahinya seekor laba-laba?
Bagaimana kalau benar Oliver anak Athena? Dia bisa mati di tangan laba-laba
itu? Dan aku masih harus memastikannya mati dan membawanya pada ayahku.
“Hai Delmora.” Sapa Oliver yang hari ini tampak ceria
seperti biasa dan terlihat lebih tampan dari biasanya.
“Hai.” Balasku berusaha sesantai mungkin.
“Siap pergi dari pulau?” Tanyanya dengan cengiran lebar.
Mataku menerawang jauh di atas kepalanya. Aku masih tidak
percaya yang terjadi padaku. Pertahankan Oliver atau biarkan para Dewa
berperang?
“Delmora?” Panggil Oliver lagi ketika melihatku bengong.
“Ya, tentu sayang.” Ucapku terkejut.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Delmora? Apa ada masalah?
Apa kau sakit?” Wajah Oliver langsung berubah khawatir.
Demi para Dewa, Oliver sangat khawatir padaku. Pacarnya
yang akan segera menghabisi hidupnya. Bagaimana mungkin aku sanggup?
Akhirnya Oliver membawaku duduk di tepi dermaga. Aku
masih tidak berkata apa-apa.
“Kau tidak apa-apa Delmora?” Tanya Oliver sambil meneliti
tiap senti wajahku.
Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi.
“Ada yang bilang, kau anak Dewa.” Ucapku tanpa sepenuhnya
aku sadari.
“Dewa? Kau bercanda, Delmora.” Ucap Oliver. Susah
mengetahui apa yang tersiratkan di wajahnya. Ia tampak riang tapi ada sesuatu
yang memperlihatkan sisi ‘buruk’-nya.
“Ya, aku bodoh benar.” Ucapku merasa bersalah. Kali ini
ayahku salah. Oliver hanyalah pemuda biasa. Hatiku mulai merasa sedikit lega.
“Dari mana kau tau?” Tanya Oliver yang langsung membuat
dadaku terasa sakit. Aku hampir lupa bagaimana caranya bernafas dengan udara.
“Apa maksudmu, kau benar-benar anak Dewa?” Tanyaku
tergagap.
“Dewi...”
“Athena.” Aku melengkapi.
“Dan aku harus membunuhmu.” Oliver berkata tanpa
melihatku.
“Kau?” aku ternganga.
“Ya. Ibuku Athena memintaku untuk membunuh anak Poseidon
sebelum dia siap membunuhku. Sayangnya waktu kita main di pantai, ayahmu datang
dan aku tidak mungkin bisa membunuhmu disana. Dia akan punya alasan dan bukti
untuk membalas dendam membunuhku saat itu juga.” Jelas Oliver tampak tenang.
Aku mencoba mencerna tiap kata yang diucapkan Oliver
barusan. Dan pada akhirnya kita memang akan harus saling membunuh kah?
“Apa yang terjadi?” Tanyaku masih tidak percaya.
“Kau tau persis apa yang terjadi, Delmora. Kau juga
disuruh melakukannya oleh Poseidon.”
“Oliver.” Gumamku. Bingung harus berkata apa. “Kita tidak
perlu saling membunuh. Kamu tau, aku sayang sama kamu. Aku ngga bisa ngebiarin
hal itu terjadi. Biarkan saja para Dewa nanti yang akan berperang. Aku ngga
peduli, Oliver. Aku sayang kamu.” Aku berkata sambil bercucuran air mata. Aku
benar-benar tidak mau membunuh orang yang kusayang.
“Ini takdir kita, Delmora.” Ucap Oliver kukuh.
“Ini kesalahan orang tua Dewa kita. Aku tidak mau ikut
andil dalam masalah ini.” Aku masih menangis.
“Kalau begitu sebentar lagi Athena yang akan menang.”
“Apa kamu serius akan membunuhku?”
“Aku melakukan yang diperintahkan ibu padaku.”
“Itu berarti kau bodoh!” Aku berteriak dan berdiri.
Gelombang mendadak saja bergulung aneh ke arahku.
“Kau yang bodoh, Delmora. Kau akan membiarkan aku dan
ibuku menang tanpa perlawanan.” Ucap Oliver sambil melirik gelombang buatanku.
“Kau dan ibumu yang bodoh itu pantas mendapatkan
kemenangan yang tidak mulia!”
“Jangan menghina ibuku!”
“Aku tidak menghina ibumu. Tapi kamu akan tampak bodoh
kalau menuruti perintah ibumu yang bahkan tidak pernah merawatmu. Dia
menelantarkanmu begitu saja, Oliver!” Aku membentak-bentak tanpa kendali. Aku
sangat menyesal mengatakan hal-hal itu. Karena ternyata bukannya sadar, Oliver
malah tambah marah padaku.
“Kamu tidak mengerti bagaimana rasanya hidup sendirian,
Delmora!” Ucap Oliver marah. “Kamu selalu merasakan kehangatan dan kasih sayang
dari kedua orangtuamu! Masa kecilmu sempurna. Tanpa cacat sedikitpun. Kamu ngga
tau rasanya sendirian!”
“Tapi kamu ngga pernah sendirian, Oliver.” Ucapku lemah.
“Kamu bisa bayangin kan rasanya dari bukan apa-apa
menjadi sesuatu yang berharga?”
Sesuatu yang berharga? Apa yang dijanjikan Athena pada
Oliver? Athena tidak mungkin bertindak licik. Dia Dewi paling bijaksana yang
pernah dilahirkan di Olimpus. Pasti ada sesuatu yang salah.
Aku dan Oliver sama-sama terdiam. Aku tidak tau apa yang
dipikirkannya, tapi dalam pikiranku, aku merasa agak takut. Apakah Oliver
serius dengan ucapannya? Kalau ya, aku bisa mati kapan saja. Rencana
jalan-jalan di mall pun sudah terlupakan begitu saja.
Previous:
Bab 3 (Lawan Tersayang)
Next:
Bab 5 (Kabur)
Previous:
Bab 3 (Lawan Tersayang)
Next:
Bab 5 (Kabur)