Rabu, 10 September 2014

Delmora The Ocean's Princess : Bab 3 (Lawan Tersayang)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 3
Lawan Tersayang
Pagi-pagi sekali ship berpenumpang Oliver berlabuh di dermaga dekat pondok vila-ku dan ibu besoknya. Baiklah, Oliver hanya akan disini seharian. Dan aku tidak boleh berbuat mencurigakan. Satu-satunya harapanku adalah, semoga ayahku tidak muncul begitu saja dari lautan.
“Halo sayang.” Sapa Oliver seraya mengecup keningku.
“Hai.” Balasku.
“Ayo kita masuk dulu. Ibu sudah buatkan sarapan untuk kita.” Lalu kami berdua masuk ke pondok.
“Hai Oliver. Liburanmu menyenangkan? Bagaimana nilai raport-mu kemarin? Memuaskan?” Tanya ibuku begitu melihat batang hidung Oliver.
“Ibu, tenanglah. Dia baru saja tiba. Biarkan dia bernafas.” Ucapku.
“Baik Tante. Masih seperti biasa. Tidak terkalahkan.” Jawab Oliver sambil nyengir-nyengir memperlihatkan deretan gigi depannya yang bersih dan rapi.
“Yaudah, sekarang kalian sarapan dulu. Baru nanti main-main lagi di pantai. Kalau boleh, di dasar laut.” Ucap Ibuku.
Seperti ada yang menekan tombol mute pada kami bertiga, diam aneh langsung menyusul. Untuk Oliver, mungkin kalimat terakhir ibuku hanya candaan, tapi entah mengapa itu tidak membuatnya tertawa. Dan bagiku, itu bisa saja membuatku harus menjelaskan banyak hal pada Oliver.
“Baiklah, ibu mau mandi dulu. Kalian makanlah yang banyak.” Ucap Ibu seraya menghilang di balik pintu kamar mandi.
“Well, Ibumu tidak banyak berubah. Apa nilai raport-mu memuaskannya?” Tanya Oliver.
“Ya, kurasa begitu.” Jawabku.
“Dan, dimana ayahmu?” Tanya Oliver.
DEG. Ayahku? Aku tak mungkin bilang kalau dia mungkin sedang makan rumput laut atau apa di dasar sana. Atau aku bilang kalau ikan badut dalam toples di sudut itu adalah ayah Dylan.
Oliver masih menunggu jawabanku.
“Emm.. dia kerja.” Jawabku ragu.
“Sekarang dia sudah dapat pekerjaan?”
“Ya, memang sih masih belum tetap. Tapi lumayan juga.”
“Ibumu tidak masuk kerja?”
“Dia ambil cuti untuk menemaniku berlibur.”
“Perfect. Aku harap salah satu orang tuaku bisa seperti itu.” Ucap Oliver yang membuatku merasa kasihan.
Ibu kandung Oliver sudah meninggal saat melahirkanya. Dan tak lama setelah itu, ayahnya juga meninggal dunia, ia tinggal bersama neneknya yang juga sudah tua dan ditinggal kakeknya dua tahun lalu. Satu-satunya penghasilan bulanan mereka berdua adalah uang pensiun Kakeknya. Untungnya Oliver bukan cowok yang malas dan gengsi. Setiap pagi ia bekerja mengantar koran dengan sepedanya.
Aku hampir saja menyuruhnya berlibur denganku sampai tahun ajaran baru dimulai. Dan dengan begitu, aku tidak akan bisa berlatih lagi bersama Ayahku. Aku hanya tersenyum.
“Aku sayang kamu, Oliver.” Ucapku.
Oliver membalasnya dengan senyuman paling manis yang dimilikinya. Dia memang punya wajah yang amat tampan. Sampai-sampai di sekolah ia dijuluki memiliki ketampanan seorang Dewa. Dewa? Tapi bukan hanya itu yang membuatku menyukainya. Ia pribadi yang baik, mudah bergaul, percaya diri dan bijaksana. Ia juga seorang ketua OSIS di sekolahku. Otaknya juga tidak hanya penuh dengan kebaikan, ia tak pernah melepas predikat peringkat satu di sekolah. Semakin kuceritakan kelebihannya, aku semakin merasa iri. Tapi ada satu hal yang paling ia takutkan. Laba-laba.
==
Hari ini aku menghabiskan sebagian besar waktu di pantai bersama Oliver. Kembali ke pondok hanya untuk makan atau mengambil camilan saja. Kami memang sering menghabiskan waktu bersama. Tapi semakin sering kami bersama-sama, itu semakin bagus kan?
Semua tampak indah dan normal sampai waktu hampir menunjukan waktunya Oliver pulang. Dan sesuatu yang tak kuinginkan pun terjadi.
Ayahku datang dengan wujud orang tua. Tapi aku tetap bisa mengenalinya dengan baik. Karena aku melihat cahaya hijau disekujur tubuhnya. Aku tidak tahu apakah Oliver melihat hal yang sama. Tapi ayahku bilang, yang bisa melihat tanda-tanda Dewa hanyalah Dewa atau anak-anak Dewa.
Aku dan Oliver sedang duduk di sebuah batu karang di tepi pantai. Lalu pertanyaanku terjawab begitu Oliver bertanya padaku.
“Delmora, apa kau lihat laki-laki yang disana itu?” Tanyanya sambil menunjuk ke arah laki-laki tua—ayahku.
“Kenapa?” Gumamku.
“Dia tampak, bercahaya.” Jelas Oliver dengan sedikit bingung.
“Tentu saja dia bercahaya. Matahari sedang sangat panas sekarang ini.” Aku berusaha membelokan pandangannya.
“Bukan. Dia bercahaya hijau terang. Bukan matahari.” Ucap Oliver lagi.
“Kau pasti bercanda, sayang. Mana mungkin ada orang yang bisa bercahaya hijau?”
“Tapi itu yang kulihat.”
“Kau pasti mulai lelah dan kehausan. Ayo kita minta dibuatkan es. Ibu pasti akan senang hati membuatkannya.”
Lalu kami bangkit dari karang itu dan menuju pondok. Ayahku hanya menatapku lembut. Tapi aku merasa ia tidak terlalu suka pada Oliver. Apa semua Ayah mempunyai sifat sama yang membenci anak laki-laki?
==
“Kau lebih dari yang kukira, Delmora.” Ucap Poseidon.
Hari ini aku kembali ke dasar laut. Memulai pelajaranku yang kedua. Tapi begitu kami tiba di aula istana, ayahku berbalik memandangku dengan mimik wajah yang sangat sulit ditebak. Campuran antara senang, gelisah dan khawatir.
“Apa maksudmu?” Tanyaku.
“Kau sudah bertemu dengannya.” Jawab Poseidon tenang.
“Dengan siapa?” Tanyaku.
“Anak dewa yang akan kau lawan.”
“Siapa maksud ayah?”
“Laki-laki yang kemarin mengunjungimu dan bermain di pantai.”
“Oliver?”
“Kau kenal baik dia, kan?”
“Tapi apa maksudmu ‘anak dewa yang akan kulawan’? kau tidak berpikir kalau salah satu orang tua Oliver adalah dewa, kan?”
“Tepat sekali.” Gumam Poseidon. “Dia bisa melihatku.”
“Tapi itu tidak berarti apapun, Yah.” Aku mencoba mengelakkan berita mengejutkan ini.
“Apa kau tidak pernah bertanya-tanya mengapa cowok setampan dan seberani dia takut pada Laba-laba?”
“Dia bilang karena laba-laba hewan menjijikkan yang kakinya banyak.”
“Bukan. Tapi karena laba-laba punya dendam dengan Ibunya. Bisa kau tebak siapa dia?”
“Ayolah Yah, aku kan tidak tahu cerita dewa-dewi Yunani.”
“Baiklah. Temanmu yang bernama Oliver itu putra Dewi Athena.”
“Dewi Athena?”
“Dewi perang dan kebijaksanaan.” Jelas Poseidon. “Sayangnya saat ini suasana hatinya sedang tidak enak. Terutama pada ayah.”
“Kenapa dia membenci ayah?”
“Karena ayah pernah melakukan kesalahan.”
“Apa?”
“Emm.. sebenarnya sulit untuk menceritakan permasalahanku dengan Athena. Lebih baik kau baca sendiri kisahnya. Itu sudah terjadi cukup lama.”
“Kau tahu aku tidak suka membaca, Yah.”
“Bahkan untuk mengetahui sejarah ayahmu?”
“Yah.”
“Baiklah.” Nada suara Ayahku berubah menjadi gugup dan sedikit ragu-ragu. “Begini ceritanya, dulu sekali aku punya seorang kekasih.”
“Lalu?”
“Aku berkencan di kuil Parthenon milik Athena.”
“Apa yang buruk?”
“Kau tau, cara berkencanku dulu tidak sama seperti ketika kau menghabiskan waktu dengan cowok bernama Oliver.”
“Kau berdosa.”
“Dewa tidak begitu baik, Delmora.”
“Biar kutebak. Emm,, pasti Athena marah padamu, kan?”
“Bukan main dia marah padaku. Dia mengutuk pacarku menjadi monster. Padahal ia dulunya adalah wanita yang sangat cantik.” Poseidon memandang jauh seperti mengenang.
“Lalu apa hubungannya dengan laba-laba? Apa dia mengutuk pacarmu menjadi laba-laba?”
“Tidak tidak. Itu beda cerita lagi. Intinya aku dan Athena sampai sekarang tidaklah berteman baik. Jadi rasanya sangat janggal kalau kau akur dengan putra Athena. Apalagi sampai saling menyayangi.”
“Tapi, Yah.”
“Aku tidak menginginkan ini, Delmora. Tapi kau harus mengerti. Saat akan dilahirkan, Athena diramalkan bisa menggulingkan Zeus, Ayah dari para Dewa. Dan itu bukanlah tanggungan yang kecil untuk dewa-dewa yang lain.”
“Kau takut padanya?”
“Tidak bisa disebut takut. Aku hanya merasa bersalah.”
“Tidakkah kau pernah meminta maaf padanya?”
“Dia tidak mungkin memaafkanku.”
“Kalian para Dewa, benar-benar keras kepala.”



Previous:
Bab 2 (Pelatihan)
Next:
Bab 4 (Masalah Dengan Air?)

0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!