Senin, 20 Oktober 2014

Delmora The Ocean's Princess: Bab 4 (Masalah Dengan Air?)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 4
Masalah dengan Air?
Setelah obrolan serius antara Ayah dan anak itu, aku pun menerima pelajaran keduaku. Dan kali ini Ayahku sendiri yang melatihku. Karena hanya dia yang mampu mengendalikan air dan gelombang. Awalnya aku merasa kesulitan dan selalu menelan banyak air. Tapi setelahnya, aku bahkan bisa berselancar tanpa papan selancar dengan mengendalikan ombak.
Aku tidak tahu apa manfaatnya mengendalikan gelombang untuk melawan seseorang di daratan. Tapi yang pasti, ayah menyuruhku untuk bisa dalam hal ini.
==
“Hai Delmora. Harimu menyenangkan?” Tanya Oliver lewat telepon.
“Yah, lumayan. Hari ini aku belajar surfing di pantai.” Jawabku.
“Waw, pasti sangat menyenangkan sekali ya.” Suara Oliver tampak aneh. Walaupun kalimat yang diucapkannya bersemangat, nada suaranya sama sekali tidak bersemangat.
“Harimu menyenangkan, sayang?” Tanyaku berusaha tidak merasa aneh.
“Tidak juga. Tadi siang aku bertemu serombongan laba-laba entah dari mana.”
“Laba-laba? Serombongan? Kau bercanda. Laba-laba tidak pernah berombongan.”
“Itulah yang membuatku bertanya-tanya.”
“Aneh.” Gumamku.
Aku membatin. Apakah ayahku ada kaitannya dengan peristiwa yang terjadi pada Oliver. Atau itu ulah Dewa lain yang juga membenci Athena dan keturunannya. Tapi apakah Oliver tahu kalau dia anak Dewa? Bagaimana kalau kasusnya sama sepertiku yang tidak tahu kalau Poseidon adalah ayahku? Atau mungkinkah Oliver juga sudah diberitahu lebih awal?
“Del?” Tegur Oliver padaku karena lagi-lagi mendiamkan telepon terlalu lama tanpa berkata apa-apa.
“Ya?” Aku tersentak kaget.
“Kau baik-baik saja?”
“Aku hanya khawatir memikirkanmu.”
“Tenang saja. Aku tidak apa-apa.”
“Baiklah. Miss you.”
“Miss you.”
Kami mengakhiri obrolan kami.
Oliver benar-benar membuatku khawatir. Kalau benar aku harus melawan anak Dewi Athena, aku harus melawan Oliver kalau begitu?—kalau dia benar anak Dewi Athena. Dan kalau benar Athena adalah dewa paling kuat, bagaimana mungkin aku menang melawannya? Aku bahkan tidak tahu untuk apa aku melawan anak Dewi Athena. Aku tidak tahu persoalan apa lagi yang bisa menyulut permasalahan antara ayahku dengan—kemungkinan—ibu Oliver. Tapi aku dan Oliver kan saling menyayangi.
==
Hari ini aku akan berlatih pelajaran ketigaku. Kami berlatih di tepi pantai. Karena untuk yang satu ini aku membutuhkan tunggangan. Hari ini aku akan berlatih menunggang kuda.
Awalnya kukira menunggangi kuda adalah sesuatu yang menyeramkan dan sulit. Tapi pengecualian, berhubung aku anak Poseidon—seingat yang kubaca di google dia pencipta kuda—tidak sulit untuk mengendalikannya. Kuda-kuda itu bisa mengerti bahasa yang kuucapkan. Begitu pula dengan aku yang mengerti apa yang dikatakan kuda-kuda itu. Yang sulit adalah, meyakinkan mereka tentang waktu yang pas. Bisa saja ketika mereka kusuruh berlari, mereka malah makan atau buang air.
“Hei, ini bukan waktunya untuk cemilan.” Tegurku saat kuda berwarna cokelat yang kunaiki tiba-tiba saja berhenti dan mulai mengunyah rumput laut yang  nyangkut di bawah kakinya.
“Mengertilah putri, aku jarang makan rumput disini. Semua hanya pasir dan pasir sejauh mata memandang.” Ucap kuda cokelat itu.
“Baiklah.” Aku berkata lelah lalu turun dari punggungnya.
Aku menyusuri tepi pantai dengan berjalan kaki kembali menuju ke tempat ayahku yang sekarang sedang menemani ibu minum air buah kelapa.
“Kau meninggalkan kudamu, Delmora.” Ucap Ayahku.
“Dia lapar. Dia sedang makan rumput laut disana. Sepertinya lupa seharusnya dia makan rumput darat.” Jawabku.
“Sulit sekali menumbuhkan rumput hijau di pasir, sayang.”
Ibu memberikan sebuah kelapa padaku.
==
Berada di pulau selama satu minggu mulai membuatku rindu suasana kota yang padat dan ramai. Akhirnya aku pun minta izin pada ibu dan ayah untuk menghabiskan waktu berjalan-jalan di mall bersama Oliver. Awalnya ayah tidak mengizinkan dan khawatir. Tapi aku meyakinkannya dengan membawa seekor laba-laba dalam toples untuk berjaga-jaga.
Tapi ayahku masih tetap khawatir juga. Akhirnya ia mengajakku minum teh—walaupun dia sendiri tidak minum—dan mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Athena.
“Kau sudah siap untuk mengetahui kebenarannya, Delmora.” Ucapnya memulai obrolan.
“Baiklah. Ceritakan.” Ucapku.
“Jadi begini, kau tahu kota Athena?”
“Ya, kota itu cukup terkenal. Ada apa?”
“Dia mau melebarkan wilayahnya.”
“Apa urusannya dengan ayah?”
“Dia ingin melebarkannya ke lautan. Kerajaan ayah.”
“Ayolah yah. Lautan kan memang lebih besar daripada daratan. Apa yang kurang kalau dia hanya mengambil sedikit?” Ucapku gampang. “Lagipula, Kota Athena kan ngga punya wilayah yang langsung menghadap ke laut. Bagaimana ayah tahu kalau Athena mau berbuat begitu?”
“Bisa-bisa seratus tahun lagi, hanya segitiga bermuda yang tersisa untuk ayah.” Poseidon mendengus. “Athena itu sangat cerdik. Dia pasti selalu menemukan caranya. Kalau dia tidak mau melebarkan wilayahnya, untuk apa dia berada di laut? Wilayahku?”
“Tapi apa masalahnya?”
“Itu masalahnya, Delmora. Kami para Dewa telah dibagikan wilayah untuk masing-masing. Dan bagaimana tidak menjadi masalah kalau ada yang mau merebut wilayah yang sudah dibagikan?”
“Baiklah, lalu apa yang harus aku lakukan untuk ayah? Kau tidak mungkin menyuruhku membunuh Oliver, kan?”
“Kau sangat pintar Delmora. Kau bawa dia padaku. Hidup atau mati. Aku akan mengancam Athena dengan putranya.”
“Tapi bagaimana kalau ternyata Oliver bukanlah anak Athena?”
“Kau akan tau sebentar lagi. Sekarang pergilah. Oliver-mu pasti sudah menunggu dengan cemas di dermaga.” Ayahku mengelus rambutku. “Dan, jangan kecewakan aku.” Tambahnya.
Aku menaiki ship dan berlayar menuju ke kota. Aku memerintahkan air untuk bergerak lebih cepat. Aku tak ingin membuat Oliver merasa curiga. Bagaimanapun, aku tetap tidak ingin membunuh pacarku.
Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan pada ayah kalau Oliver bukanlah anak Athena? Dengan menghadiahinya seekor laba-laba? Bagaimana kalau benar Oliver anak Athena? Dia bisa mati di tangan laba-laba itu? Dan aku masih harus memastikannya mati dan membawanya pada ayahku.
“Hai Delmora.” Sapa Oliver yang hari ini tampak ceria seperti biasa dan terlihat lebih tampan dari biasanya.
“Hai.” Balasku berusaha sesantai mungkin.
“Siap pergi dari pulau?” Tanyanya dengan cengiran lebar.
Mataku menerawang jauh di atas kepalanya. Aku masih tidak percaya yang terjadi padaku. Pertahankan Oliver atau biarkan para Dewa berperang?
“Delmora?” Panggil Oliver lagi ketika melihatku bengong.
“Ya, tentu sayang.” Ucapku terkejut.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Delmora? Apa ada masalah? Apa kau sakit?” Wajah Oliver langsung berubah khawatir.
Demi para Dewa, Oliver sangat khawatir padaku. Pacarnya yang akan segera menghabisi hidupnya. Bagaimana mungkin aku sanggup?
Akhirnya Oliver membawaku duduk di tepi dermaga. Aku masih tidak berkata apa-apa.
“Kau tidak apa-apa Delmora?” Tanya Oliver sambil meneliti tiap senti wajahku.
Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi.
“Ada yang bilang, kau anak Dewa.” Ucapku tanpa sepenuhnya aku sadari.
“Dewa? Kau bercanda, Delmora.” Ucap Oliver. Susah mengetahui apa yang tersiratkan di wajahnya. Ia tampak riang tapi ada sesuatu yang memperlihatkan sisi ‘buruk’-nya.
“Ya, aku bodoh benar.” Ucapku merasa bersalah. Kali ini ayahku salah. Oliver hanyalah pemuda biasa. Hatiku mulai merasa sedikit lega.
“Dari mana kau tau?” Tanya Oliver yang langsung membuat dadaku terasa sakit. Aku hampir lupa bagaimana caranya bernafas dengan udara.
“Apa maksudmu, kau benar-benar anak Dewa?” Tanyaku tergagap.
“Dewi...”
“Athena.” Aku melengkapi.
“Dan aku harus membunuhmu.” Oliver berkata tanpa melihatku.
“Kau?” aku ternganga.
“Ya. Ibuku Athena memintaku untuk membunuh anak Poseidon sebelum dia siap membunuhku. Sayangnya waktu kita main di pantai, ayahmu datang dan aku tidak mungkin bisa membunuhmu disana. Dia akan punya alasan dan bukti untuk membalas dendam membunuhku saat itu juga.” Jelas Oliver tampak tenang.
Aku mencoba mencerna tiap kata yang diucapkan Oliver barusan. Dan pada akhirnya kita memang akan harus saling membunuh kah?
“Apa yang terjadi?” Tanyaku masih tidak percaya.
“Kau tau persis apa yang terjadi, Delmora. Kau juga disuruh melakukannya oleh Poseidon.”
“Oliver.” Gumamku. Bingung harus berkata apa. “Kita tidak perlu saling membunuh. Kamu tau, aku sayang sama kamu. Aku ngga bisa ngebiarin hal itu terjadi. Biarkan saja para Dewa nanti yang akan berperang. Aku ngga peduli, Oliver. Aku sayang kamu.” Aku berkata sambil bercucuran air mata. Aku benar-benar tidak mau membunuh orang yang kusayang.
“Ini takdir kita, Delmora.” Ucap Oliver kukuh.
“Ini kesalahan orang tua Dewa kita. Aku tidak mau ikut andil dalam masalah ini.” Aku masih menangis.
“Kalau begitu sebentar lagi Athena yang akan menang.”
“Apa kamu serius akan membunuhku?”
“Aku melakukan yang diperintahkan ibu padaku.”
“Itu berarti kau bodoh!” Aku berteriak dan berdiri. Gelombang mendadak saja bergulung aneh ke arahku.
“Kau yang bodoh, Delmora. Kau akan membiarkan aku dan ibuku menang tanpa perlawanan.” Ucap Oliver sambil melirik gelombang buatanku.
“Kau dan ibumu yang bodoh itu pantas mendapatkan kemenangan yang tidak mulia!”
“Jangan menghina ibuku!”
“Aku tidak menghina ibumu. Tapi kamu akan tampak bodoh kalau menuruti perintah ibumu yang bahkan tidak pernah merawatmu. Dia menelantarkanmu begitu saja, Oliver!” Aku membentak-bentak tanpa kendali. Aku sangat menyesal mengatakan hal-hal itu. Karena ternyata bukannya sadar, Oliver malah tambah marah padaku.
“Kamu tidak mengerti bagaimana rasanya hidup sendirian, Delmora!” Ucap Oliver marah. “Kamu selalu merasakan kehangatan dan kasih sayang dari kedua orangtuamu! Masa kecilmu sempurna. Tanpa cacat sedikitpun. Kamu ngga tau rasanya sendirian!”
“Tapi kamu ngga pernah sendirian, Oliver.” Ucapku lemah.
“Kamu bisa bayangin kan rasanya dari bukan apa-apa menjadi sesuatu yang berharga?”
Sesuatu yang berharga? Apa yang dijanjikan Athena pada Oliver? Athena tidak mungkin bertindak licik. Dia Dewi paling bijaksana yang pernah dilahirkan di Olimpus. Pasti ada sesuatu yang salah.
Aku dan Oliver sama-sama terdiam. Aku tidak tau apa yang dipikirkannya, tapi dalam pikiranku, aku merasa agak takut. Apakah Oliver serius dengan ucapannya? Kalau ya, aku bisa mati kapan saja. Rencana jalan-jalan di mall pun sudah terlupakan begitu saja.



Previous:
Bab 3 (Lawan Tersayang)
Next:
Bab 5 (Kabur)

0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!