Senin, 11 Agustus 2014

Delmora The Ocean's Princess -- Bab 2 (Pelatihan)


Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






 Bab 2
Pelatihan
“...Wah, lebih cantik dari yang kubayangkan.” Kudengar salah satu dari mereka bergumam.
“Hai.” Ucapku pada mereka.
“Dia menyapaku!” Ucap salah satu dari mereka yang paling kecil. Sambil terjatuh ke belakang seperti baru saja tersandung.
“Halo Putri Delmora. Kami sudah menunggu lama untuk bertemu denganmu. Ini suatu kehormatan besar.” Ucap si kecil itu. “Izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Selene.” Gadis itu mengulurkan tangannya yang berselaput, sambil membuat gerakan seperti membungkuk.
“Hai Selene.” Sapaku ramah.
Lalu satu persatu dari mereka memperkenalkan diri padaku dengan sangat sopan. Setelah itu kami berenang ke beberapa tempat di istana. Aku melihat banyak makhluk yang hidup saling membantu dan rukun. Jadi teringat film Spongebob Squarepants. Hey, dimana kau Spongebob, aku ingin berkunjung ke rumah nanasmu!
“Sebenarnya kau ini apa?” Tanyaku pada Selene.
“Aku peri Laut, yang mulia.” Jawab Selene sambil menundukan kepalanya.
“Oh, panggil aku Delmora saja.” Ucapku merasa tidak enak terus dipanggil ‘yang mulia’ seakan aku ini bos mereka.
“Aku kira kau ini putri duyung.” Ucapku.
“Jangan menyebutnya, Putri. Biasanya mereka sangat mudah tersinggung.” Jelas Selene.
“Tersinggung?” Aku kebingungan. “Maksudmu?”
“Ya, yang mereka kerjakan seharian hanyalah berdandan. Mereka tidak ingin keluar dari salon mereka. Jadi tidak banyak yang tahu mereka. Karena mereka tidak mau menampakan diri.”
“Jadi mereka ‘eh sedikit pemalu?”
“Sangat. Tapi kehadiran mereka bukanlah pertanda baik. Biasanya akan terjadi bencana atau musibah. Mereka peramal yang baik.”
“Oke. Baiklah Peri Laut.” Ucapku ingin menghentikan obrolan yang tidak kumengerti soal putri duyung itu. Setahuku, putri duyung itu baik hati, cantik, dan mengeluarkan mutiara jika mereka menangis. “Apa lagi yang bisa kau tunjukan padaku?”
“Ayo kita ke kolam.”
“Kolam?” Kebingunganku memuncak. Selene pasti bercanda. Berada di air sepanjang waktu tidakkah membuat masyarakat Atlantis bosan bermain air di kolam?
Lalu kami berbelok di tanda yang menunjuk ke arah kolam. Benar saja. Banyak orang (atau mungkin lebih tepat makhluk laut) yang sedang bermain-main di kolam itu. Kolam terindah yang pernah kulihat. Sedikit seram sebenarnya, karena warna air di tempat yang disebut kolam itu lebih pekat daripada air di sekitarnya. Membuatku mengira itu adalah sebuah lubang besar. Tapi setelah diperhatikan lagi, tidak ada gelombang disana. Dan di tepiannya tumbuh bermacam ganggang laut dan terumbu karang yang indah dan berwarna-warni. Aku sedang berancang-ancang untuk ikut bersenang-senang. Lalu Ayahku memanggil.
“Delmora.” Panggilnya. “Waktunya makan siang.”
Siang? Ya, aku tidak bisa membedakan waktu ketika berada di dasar laut. Semua tampak sama saja bagiku.
Aku dan Selene menghampiri panggilannya.
“Setelah itu kau akan memulai pelajaran pertamamu.”
==
Pelajaran pertama? Mungkin lebih tepatnya upaya penghancuran diri. Sebagai remaja cewek kota yang normal, aku tidak pernah mengambil ekskul menantang maut di sekolah. Tapi saat ini yang Ayahku sebut pelajaran pertamaku adalah, berduel pedang dengan salah satu petarung terbaiknya. Bagaimana bisa, aku, Delmora, cewek tujuh belas tahun satu bulan, tidak punya kemampuan berpedang sama sekali, bisa menang melawan prajurit pedang yang mendapatkan pelatihan tiap hari selama bertahun-tahun? Ayahku hampir membuatku tertawa di depan wajahnya yang hijau itu.
“Kurasa kau bisa memilih pedangmu sekarang Delmora. Setelah kau pilih, pedang itu akan selalu jadi milikmu.” Ucap Poseidon.
“Emm kau yakin Ayah?” Tanyaku setengah berharap ia akan membatalkan duel pedangku dan menyuruhku kembali ke istananya yang nyaman.
“Ya, pilih lah yang paling sesuai di tanganmu.” Ucapnya, meruntuhkan semua harapanku untuk bermain-main lagi di kolam.
Lalu aku mulai memilah pedang mana yang paling sesuai dengan tanganku yang lembut ini. Semua pedang-pedang itu terlihat sama. Panjang, tajam, dan berat. Yang paling penting, semuanya bisa menggores kulitku kapan saja.
Ini benar-benar gila. Pasti Ayahku sangatlah kaya. Karena untuk pedang saja semuanya bertatahkan batu yang harganya tidaklah murah. Dan ada jutaan pedang disini. Lalu aku mengambil sebilah pedang dengan bertatahkan batu safir warna biru yang indah.
Pedang ini memanglah panjang, tapi tidak sepanjang yang lain. Dan setelah kupegang, grip pegangannya terasa nyaman di tanganku. Tidak terlalu berat juga. Baiklah, siap atau tidak aku akan berduel.
“Oh, safir. Kau bijaksana Nak. Kalau aku tidak tahu kau putriku, mungkin kau cocok menjadi keturunan Athena.” Ucap Ayahku.
“Aku suka warnanya.” Jawabku polos tanpa mengerti apa artinya. Aku memilih batu safir karena warnanya biru, kesukaanku.
“Itu lebih dari warna, Nak.” Ucap Ayahku. “Baiklah, bukan saatnya menguliahimu tentang batu. Sekarang bertarunglah.”
“Tapi Yah, aku belum pernah berduel pedang sebelumnya. Bagaimana bisa aku bertahan?”
“Kau akan menemukan caranya, Nak.”
Aku masih bingung. Tapi aku harus percaya ucapan Ayahku sekali lagi. Dia tak pernah salah kan? Walaupun aku yakin, aku ada disini karena kesalahannya.
Aku harus fokus ke permainan pedangku. Aku pasti bisa. Ada dorongan semangat dalam diriku yang tak ingin mempermalukan optimisme Ayah. Itu pasti karena aku ada di wilayahnya.
Aku masuk ke arena pertandingan, begitu pun dengan petarung yang akan aku hadapi. Tingginya dua kali lebih besar daripada badanku. Dan otot-ototnya lebih besar daripada lima kali lenganku. Harusnya orang (makhluk) ini akan membuatku takut. Tapi aku sekali lagi tidak ingin mempermalukan Ayahku. Aku tidak akan takut.
Dan disanalah aku. Saat pertarungan dimulai, entah mengapa refleksku bekerja tiga kali, bukan, lima kali lebih baik daripada biasanya. Aku berhasil menghindari semua serangan yang prajurit itu berikan. Oke, aku tidak boleh terlalu ge-er. Mungkin si prajurit tidak benar-benar ingin mengalahkanku. Mungkin ia sengaja mengalah untuk membuatku terlihat baik dihadapan orang-orang. Atau mungkin ia takut terhadap Ayahku, rajanya.
Namun bersamaan saat aku sedang memikirkan hal itu—membuat konsentrasiku buyar—tiba-tiba saja lenganku berdarah. Darahnya menyebar ke perairan dekat wajahku. Membuat air di sekitarnya ikut bebercak merah yang pasti pada situasi lain akan mengundang serombongan hiu pemangsa yang ganas. Tapi tak lama kemudian, luka kira-kira sepuluh senti itu pun langsung hilang dan seperti sudah dirawat beberapa minggu dengan rutin mengganti perban. Si prajurit menggeram marah. Membuatku tahu kalau ia tidaklah main-main dan tidak berusaha mengalah dariku sekalipun aku anak Poseidon.
Selagi ia marah luar biasa, aku memakai kesempatan ini untuk memutar ke belakang tubuhnya. Entah mengapa aku tahu kalau ada sesuatu di bagian belakang tubuhnya yang ternyata tidak lebih seram dari bagian depan. Ia berbalik, tapi aku sudah terlalu cepat untuknya. Sebelum mata pedangnya menghancurkan bagian dalam perutku, aku sudah menebas kepalanya.
“Ih, jijik.” Ucapku ketika melihat kepala si prajurit terpisah dari badannya yang super besar dan berotot itu.
Semua orang yang menonton tampak ternganga melihatku telah membunuh salah satu prajuritnya. Lalu Ayah masuk ke arena pertarungan. Dan dengan satu gerakan trisulanya, prajurit itu menghilang.
“Ma-maaf Ayah, aku tidak bermaksud untuk membunuhnya.” Ucapku merasa bersalah.
Ayahku tersenyum. “Tidak apa, Delmora. Dia akan dilahirkan kembali beberapa tahun kedepan. Ya, kalau Hades berkenan, prosesnya mungkin akan lebih cepat.”
Aku masih sangat kaget. Ini adalah pembunuhan pertamaku. Tapi aku tahu, apa yang akan kuhadapi bisa lebih besar.
“Baiklah Delmora, waktunya pulang.” Ucap Ayahku.
Aku kira yang ia maksud pulang adalah kembali ke istana, dan dengan begitu aku bisa bermain-main di kolam. Tapi ia memanggil keretanya dan menyuruhku naik. Kami pulang ke daratan.
==
Ternyata aku berada di bawah laut selama dua hari dan tanpa tidur. Aku jadi sangat merindukan tempat tidur dan ingin berlama-lama berbaring. Tubuhku terasa bukan apa-apa ketika menjauh dari air. Rasanya semangat dan kekuatanku tinggal bersama gelombang lautan. Dan kini aku mulai bertanya-tanya. Apa yang akan kuhadapi? Bisakah aku menghadapinya?
Tiba-tiba handphone-ku berdering.
“Hai Oliver.” Ucapku riang. Emm, Oliver ini adalah seorang cowok yang bisa kusebut pacar. Ya, pacar.
“Halo sayang.” Balas Oliver diseberang. “Lagi ngapain?”
“Istirahat.” Jawabku dengan nada lelah.
“Istirahat? Abis ngapain memangnya?”
“Kamu gak akan percaya kalo aku ceritain sekarang.” Nada suaraku langsung bersemangat. Sedetik aku berpikir akan menceritakan pada Oliver tentang apa yang kualami. Poseidon, dan pertempuran yang harus kulakukan. Tapi detik berikutnya aku takut dicap gila oleh pacarku sendiri. Akhirnya aku tidak jadi memberitahunya.
“Memangnya kamu habis ngapain?” Tanya Oliver ingin tahu.
Otakku berpikir dengan cepat. Aku tidak boleh berkata jujur. “Oh, emm itu. Aku habis berenang di pantai.” Tidak terlalu bohong kan?
“Lalu?”
“Aku diving juga.”
“Kayaknya asyik deh. Boleh engga aku nyusul kamu kesana?”
Aku terdiam. Berpikir. Apa boleh Oliver kesini? Apa yang akan ia katakan jika mengetahui kebenaran ini?
“Delmora?” Oliver menegurku karena aku terlalu lama mendiamkan teleponnya.
“Ya?” Aku tersentak kaget.
“Bagaimana? Apa boleh? Tenang saja. Aku tidak akan menginap. Hanya bertemu denganmu saja. Menghabiskan waktu seharian dengan orang yang paling kusayang.” Jelas Oliver.
Aku berpikir sekali lagi. Oliver hanya teman biasa kan? Oke baiklah, mungkin dia spesial. Tapi selebihnya dia cuma cowok biasa. Mana mungkin bisa memperparah keadaan?
“Baiklah. Besok kamu boleh kesini. Kebetulan latihanku baru akan dimulai lagi besok lusa.” Ucapku akhirnya.
“Latihan? Kamu latihan apa?” Tanya Oliver.
Aku baru menyadari kata-kataku. “Oh, emm itu. Aku berlatih dengan ibu. Memasak.” Aku bohong lagi.
“Oke, baiklah. Aku tidak akan mengganggu waktu ibu dan anak.”
“Sampai ketemu besok.” Ucapku mengakhiri obrolan.



Previous:
Bab 1 (Salam Trisula)
Next:
Bab 3 (Lawan Tersayang)

0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!