Sabtu, 04 Februari 2017

09. Witness ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Sekali kau berbohong, kau akan berbohong selama sisa hidupmu.

Mobil terus melaju sampai takdir membawaku kembali ke rumah sakit yang portal mobilnya kupatahkan beberapa jam lalu. Mereka membawaku ke ruangan terpisah dengan Diva. Tapi aku senang kami masih berada di gedung yang sama.

Papa dan Mamaku menyambut dengan wajah sangat khawatir. Mereka langsung memelukku walaupun suster menyuruh mereka menyingkir agar aku cepat diberi pertolongan. Perban di kakiku kini sudah berubah warna merah sepenuhnya. Aku mulai lemas karena kehabisan darah. Mataku berkunang-kunang dan tiba-tiba saja aku tidak bisa melihat apa-apa.

Aku mendengar namaku dipanggil berkali-kali. Rasanya ingin sekali aku berteriak pada orang kurang ajar itu untuk tidak mengganggu tidurku. Tapi sepertinya ada hal penting yang perlu diberitahukan padaku. Aku membuka mata. Kulihat wajah Keenan tiga puluh senti di atas wajahku.

"Kukira kamu ngga akan bangun. Ini udah jam 12 malam loh. Tiba-tiba kamu nangis di pelukanku dan tidur gitu aja. Udah gitu kamu ngigo-ngigo ngga jelas sampai nangis segala." Ucap Keenan membombardirku dengan kata-kata yang bikin kepalaku mumet sambil membantuku duduk. "Kamu mimpi apa sih tadi? Aku khawatir tau ngga."

"Kee, aku bersyukur itu berakhir." Ucapku sambil mengusap pipiku yang basah air mata.

"Kamu mimpi apa?" Tanya Keenan lagi.

"Penculikan Diva."

"Lagi?"

Aku mengangguk.

"Sampai kapan kamu mau terus merasa bersalah kayak gitu? Kamu kan ngga membunuh ayahnya secara langsung. Lagipula kamu kan tahu orang itu emang ngga baik buat Diva."

"Kee, aku cuma 12 tahun waktu itu."

"Kamu udah ngga apa-apa kan sekarang?" Tanya Keenan.

Aku mengganguk.

Keenan mendekatkan badannya dan memelukku. Aku begitu sering memimpikan kenangan-kenangan masa lalu yang membuatku merasa tidak nyaman. Aku tahu cuma cowok ini yang bisa membuatku merasa aman. Sejak kejadian penculikan Diva sifatku banyak berubah, Aku memang bukan orang yang ceria seperti kebanyakan gadis seumurku. Tapi sejak kejadian itu, aku makin muram.

Setelah dibawa ke rumah sakit, tiga hari kemudian aku dibawa ke kantor polisi. Aku ingat kakiku masih pincang waktu aku memberikan kesaksian di depan beberapa orang polisi. Tapi aku tahu semakin cepat aku memberikan kesaksian, semakin cepat aku bebas dari kasus ini.

"Hai, Sheerin. Bagaimana keadaan kakimu? Baikan?" Tanya polisi wanita yang waktu itu menggendongku keluar dari rumah penculikan.

"Oh hai, bu. Aku sudah merasa baikan sekarang." Jawabku manis.

"Omong-omong, namaku Rani." Ucap polisi wanita itu. "Dan ini Pak Marlow, kamu bisa panggil dia Pak Mar." Bu Rani mengenalkan polisi yang akan menginterogasiku.

"Hai Pak Mar. Aku Sheerin." Ucapku.

Aku duduk berhadapan dengan Pak Marlow dan Bu Rani dalam sebuah ruangan berbentuk kotak berukuran sekitar 3x3 meter. Dengan berpenerangan lampu panjang dan suhu ruangan dingin, aku berharap lidahku tidak kaku saat memberi kesaksian nanti. Karena seluruh percakapan kami akan direkam dan disaksikan beberapa pihak yang terlibat dalam kasus ini. Termasuk si penjahat.

Pak Marlow mengeluarkan beberapa foto dari dalam map yang dibawanya. Aku mengenali foto itu sebagai foto kedua penjahat yang menculik Diva.

"Nah Sheerin, bisa kita mulai kesaksiannya?" Tanya Pak Marlow.

Aku mengangguk beberapa kali.

"Apa kamu merasa ngga nyaman, Sheerin?" Tanya Bu Rani.

"Boleh aku minta sundae cokelat?" Ucapku polos.

"Tentu." Ucap Bu Rani sambil bangun dari duduknya dan meninggalkan aku  berdua saja bersama Pak Marlow.

"Kamu baru akan mulai setelah Bu Rani kembali?" Tanya Pak Marlow.

"Kalau boleh." Jawabku.

"Baiklah. Mari kita ngobrol santai saja." Ucap Pak Marlow.

"Aku setuju." Ucapku.

"Umurmu 12 tahun? Berarti sekarang harusnya kamu kelas 6 SD ya?" Pak Marlow memulai percakapan.

"Iya pak." Jawabku.

"Aku juga punya anak seumuran denganmu. Tapi dia sudah SMP, karena dia masuk SD umur 6 tahun." Ucap Pak Marlow.

Aku hanya diam.

"Kamu bersahabat dengan Diva sejak kecil ya?" Tanya Pak Marlow.

Aku tahu Pak Marlow sudah memulai wawancaranya. Aku tidak boleh salah menjawab.

"Ngga. Aku baru kenal dia waktu kelas 4 kemarin. Dia anak baru di sekolahku." Jawabku.

"Bapak kira kamu sama dia bersahabat sejak kecil. Hubungan antara kalian berdua sangat erat. Jarang ada anak seusia kamu yang berani menghadapi penjahat seperti itu sendirian."

"Aku ngga menghadapinya kok, Pak. Aku cuma tertangkap dan terikat di bangku tepat setelah aku menelpon kalian untungnya." Jawabku.

Tok... tok... tok... Bu Rani masuk dengan membawa dua gelas sundae cokelat.

"Terima kasih, Bu Rani." Ucapku sambil menerima sundae dari tangannya. "Kenapa buat Pak Mar ngga ada Bu?"

"Oh, dia tidak terlalu suka makanan manis." Jawab Bu Rani. "Benar kan Pak?"

"Ya, aku kurang suka hal yang manis." Jawab Pak Marlow.

Aku menyendokkan es krim penuh-penuh ke dalam mulutkku.

"Jadi, bisa kamu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu?" Tanya Pak Marlow.

Aku buru-buru menelan sisa es krim di mulutku.

"Ya. saat itu aku kabur dari rumah sakit untuk menyelamatkan Diva." Ucapku memulai cerita.

"Aku mengendarai mobil papaku, maaf Pak aku tidak punya SIM dan masih berkendara. Lalu aku mengikuti arahan dari gps ponsel Diva. Dan tiba disana aku duduk sebentar di semak-semak karena kakiku tiba-tiba sakit sekali. Aku ngga tahu berapa menit aku duduk untuk menenangkan kakiku. Saat itu tiba-tiba mobil ayah Diva datang dan aku mulai merasa lega. Dia masuk ke dalam rumah itu. Aku yakin Diva akan selamat begitu ayahnya datang. Jadi aku keluar dari semak-semak dan berencana untuk pergi dari tempat itu. Sambil berjalan pincang menuju mobil, aku menelpon polisi dan berharap mereka datang untuk membantu ayah Diva. Tapi saat aku lewat depan jendela rumah yang terbuka, salah satu penjahat itu melihatku dan dia langsung lompat keluar jendela. Aku tertangkap oleh yang ini (..sambil menunjuk foto salah satu penjahat..) dan dibawa masuk ke rumah itu. Aku diikat dan melihat ayah Diva yang sudah terpojokkan karena si penjahat yang satunya juga memegang pistol." Aku menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ceritaku. 

"Tiba-tiba aku melihat dia jatuh dan berdarah, suara tembakan membuat telingaku berdenging beberapa detik. Aku baru menyadari ayah Diva udah meninggal saat dia ngga bangun lagi dari lantai." Aku menarik nafas dalam lagi.

"Tapi sepertinya saat itu si penjahat saling adu mulut. Mereka saling menodong pistol satu sama lain. Tiba-tiba aja salah satu dari mereka menembak yang lainnya di kedua kakinya. Tapi aku lihat ternyata yang tertembak kakinya malah menargetkan dada temannya." Aku mulai menangis. 

"Aku lihat darah ada dimana-mana, beberapa bahkan  mengenaiku. Aku mulai mual dan nangis karena itu menyeramkan. Aku cuma bisa menunggu kalian datang. Dan akhirnya kalian datang." Aku menghapus air mata yang terjatuh di pipiku.

"Maaf aku ngga bisa bantu apa-apa dalam kasus ini. Aku ngga berguna waktu mereka menangkapku. Bahkan aku ngga sempat ngomong satu kata pun sama ayah Diva. Aku menyesal." Aku menangis lagi.

Pak Marlow dan Bu Rani mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Tapi kenapa penjahat itu tidak membunuh kamu juga? Tidak mungkin dia meninggalkan saksi hidup kan? Apalagi mereka bersenjatakan pistol." Tanya Pak Marlow.

"Tim TKP menemukan semua pistol yang ada di ruangan itu sudah tidak ada pelurunya, Pak. Dan penjahat yang masih hidup tidak bisa menggunakan kakinya lagi karena tembakan dari temannya." Ucap Bu Rani.

"Aku ngga tahu berapa kali mereka saling menembak. Tapi sepertinya ngga semua yang mereka tembakkan tepat sasaran." Ucapku. 

Bu Rani mencatat pada buku catatannya. Pak Marlow masih terdiam dan mencerna setiap kesaksian yang aku utarakan.

"Satu pertanyaan lagi, nak Sheerin." Ucap Pak Marlow. "Bagaimana kamu mendapat luka tembakan di kakimu? Kau mendapatkannya sebelum ke rumah itu?"

"Ya. Ini kudapatkan saat mencoba menahan para penjahat dari membawa paksa Diva ke dalam mobilnya kemarin."

"Jadi kau sudah pernah bertemu dengan penjahat itu sebelum ke rumah itu?" Tanya Pak Marlow.

"Ya. Mungkin itu sebabnya mereka membawaku masuk. Karena mereka mengingat wajahku dan tembakan di kakiku itu."

Aku menunggu cukup lama Pak Marlow dan Bu Rani menyelesaikan catatannya. Sambil makan sisa es krim yang masih ada, aku memperhatikan ruangan itu. Ada kaca besar yang kuduga adalah kaca yang bisa membuat orang di ruangan sebelah melihat ke dalam ruangan ini. Jadi, walapun aku tidak bisa melihat menembus kaca itu, bisa kupastikan akan ada sekitar setengah lusin orang yang memperhatikan wawancara kami.

Pak Marlow membereskan berkasnya dan memasukkannya kembali ke dalam map. Lalu dia berdiri.

"Terima kasih atas waktunya nak Sheerin. Kesaksianmu akan sangat berguna bagi kami. Kamu yang tabah ya. Bapak yakin kamu bisa menghibur temanmu Diva." Pak Marlow berkata sambil menjabat tanganku.

"Iya Pak." Jawabku.

"Bu Rani akan mengantarmu kembali ke papa dan mamamu di lobi. Sekali lagi terima kasih." Ucap Pak Marlow lagi.

Aku keluar dari ruangan itu bersama Bu Rani.

Aku tahu kesaksian yang aku utarakan ketika usiaku 12 tahun itu adalah kesaksian palsu. Dan itu membuat kasus ini menjadi lebih sulit dipecahkan. Karena si penjahat yang selamat tidak membenarkan ceritaku dan terus berkata bahwa aku adalah iblis dan anak tidak waras. Tentu saja polisi tidak mempercayainya. Karena anak kecil tidak pernah bohong kan?

Tapi saat si penjahat dipasangi lie detector, polisi dibingungkan karena ternyata penjahat itu tidak berbohong. Hal itu membuatku kesal. Jadi aku mengunjunginya dan memberinya hadiah.

Beberapa hari sebelum aku mengunjunginya di penjara, aku mencari tahu identitas dan keluarga si penjahat dan menemui mereka. Aku merekam saat-saat aku mengikat dan menganiaya istri dan anak-anaknya, lalu aku menunjukkannya pada si penjahat. Itu hal yang menyenangkan. Aku melihat wajah itu lagi. Wajah ketakutan yang dipancarkan oleh si penjahat. Dia sekali lagi memakiku iblis. Tapi akhirnya kesepakatan pun dibuat.

Beruntungnya penjahat itu masih mempunyai rasa sayang pada keluarganya. Jadi aku tidak repot untuk menyingkirkannya. Tapi sepertinya aku perlu memberikan satu saran lagi untuknya. Kalau dia mau jadi penjahat yang hebat, dia harus membuang semua rasa cinta yang dimilikinya. Hanya orang lemah yang masih memendam rasa cinta.

Si penjahat memberikan nyawanya padaku sebagai ganti nyawa seorang istri dan tiga orang anaknya. Dia menerima racun yang kuberikan dan bunuh diri sebelum sidang penentuan hukumannya dilaksanakan. Polisi terpaksa menginterogasiku lagi sambil memasang lie detector. Mereka perlu tahu apakah aku ada hubungannya dengan bunuh diri yang dilakukan si penjahat. Sayangnya saat aku bilang aku tidak tahu apa-apa, mesin itu tidak menunjukkan tanda-tanda kalau aku berbohong. Setelah dua bulan berlalu, akhirnya kasus penculikan Diva pun ditutup.



আPrevious: The New Me

আNext: Sheraphyna Shine



0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!