Aku bahagia bisa kembali bersama orang yang kusayangi dan paling berharga bagiku. Aku bahagia bisa kembali melanjutkan hidupku bersamanya. Tapi dia sedih, aku tidak tahu kenapa dia selalu tampak bersedih, padahal aku disini.
'Plak-plak-plak'
Aku menampar pipiku berkali-kali. Setelah memastikan wajahku memar, aku duduk manis di kursi yang susah payah kuseret dengan kaki pincangku. Aku mulai mengikat tubuhku dengan tali. Kali ini aku merasa sangat lelah dan badanku sakit di setiap senti, terutama kaki kananku yang sepertinya retak lagi. Karena kulihat perbannya sedikit terbuka dan darah segar mengalir keluar.
"Tenanglah sedikit, sebentar lagi pertolongan akan datang." Ucapku lebih pada diri sendiri daripada ke si penjahat yang meronta makin hebat di lantai.
Aku menghitung sekitar sepuluh menit sejak kuikatkan diriku di bangku. Terdengar suara sirine yang memecah kesunyian malam itu. Beberapa mobil terdengar mendekati halaman rumah. Pintu depan kedengarannya berhasil didobrak. Beberapa orang pria dewasa berseragam polisi memasuki ruangan tempat seorang gadis kecil terikat di kursi, dua tubuh mati bergelimang darah dan seorang pria yang lumpuh tak berdaya karena kedua kakinya tertembak.
"To-long.." Ucapku dengan suara bergetar.
Seorang polisi wanita menghampiri tempatku. Sisanya memandang ngeri melihat lantai ruangan itu sudah penuh darah.
"Kau sudah tidak apa-apa, nak." Ucap si polisi wanita berusaha menenangkan tubuhku yang gemetar hebat. Lalu ia melepaskan ikatanku dan menutup mataku supaya tidak melihat lagi pemandangan penuh darah di ruangan itu.
"Te-terima kasih, ibu polisi. Tapi temanku masih di dalam." Aku menunjuk ke pintu tempat Diva berada.
Aku digendong si polisi wanita dan dibawa keluar dari ruangan itu. Seorang polisi lain mendobrak pintu ruangan Diva.
"Anak itu iblis!!" Si penjahat teriak sekuatnya. Dia meronta-ronta sambil terus menunjuk-nunjuk ke arahku.
Iblis katanya. Memangnya aku melakukan apa? Aku hanya membantu orang-orang. Aku membantu Diva bebas, aku membantu ayahnya ke neraka lebih cepat dan aku membantu dia tetap hidup tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun di penjara nanti.
Tidak ada yang mempedulikan perkataan si penjahat itu. Mereka menangkapnya dan membawanya ke dalam mobil.
Aku sudah berada di mobil dan kulihat seorang polisi menggendong Diva yang tak sadarkan diri dan memasukkannya ke mobil yang sama denganku. Akhirnya aku bisa membawa Diva pulang.
"Dia pingsan?" Tanyaku pada si polisi wanita.
"Ya, setelah melihat ayahnya sudah meninggal. Kau gadis kecil yang sangat kuat, nak. Melihat pemandangan barusan untuk anak seusiamu bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Dan kau masih bisa menghubungi kami dengan suara tenang." Jawab si polisi wanita.
"Aku hanya terpaksa menyaksikan itu semua, Bu. Lagipula aku beruntung bisa menelpon kalian sebelum aku tertangkap." Aku mulai menangis lagi.
"Kau bisa menceritakannya pada polisi apa yang terjadi?" Tanya si polisi wanita dengan lembut sambil menyodorkanku beberapa helai kertas tisu.
"Ya. Kurasa aku bisa. Demi melancarkan kasus penculikan sahabatku. Aku sungguh berduka Diva kehilangan ayahnya." Ucapku.
"Kau yang tabah ya. Aku yakin kamu bisa menguatkan teman baikmu." Ucap ibu polisi.
"Ya." Ucapku sambil menghapus air mata. Aku akan bersaksi di kantor polisi setelah ini. Ya aku memang harus bersaksi. Mereka tidak akan percaya pada pria penjahat itu.
Mobil mulai melaju menjauhi rumah itu. Satu mobil masih tinggal untuk mengurus TKP dan beberapa mobil nampaknya berdatangan ke rumah itu untuk membantu tim TKP.
"Ibu polisi, apa aku boleh minta satu hal?" Ucapku.
"Ya?"
"Aku mohon. Jangan sampai ada media yang tahu kasus ini. Aku ngga mau Diva melanjutkan hidupnya yang tanpa ayah dan dengan berbagai pertanyaan dari orang lain yang ingin tahu detail kejadian ini. Itu akan mengubah sisa hidupnya." Ucapku.
"Wow. Baru kali ini aku menemukan anak seusiamu berkata sungguh biijaksana. Kau pasti sangat peduli pada sahabatmu ya?"
"Aku menyayanginya, bu. Hanya dia yang kupunya dan aku ingin dia terus bahagia."
"Aku hanya terpaksa menyaksikan itu semua, Bu. Lagipula aku beruntung bisa menelpon kalian sebelum aku tertangkap." Aku mulai menangis lagi.
"Kau bisa menceritakannya pada polisi apa yang terjadi?" Tanya si polisi wanita dengan lembut sambil menyodorkanku beberapa helai kertas tisu.
"Ya. Kurasa aku bisa. Demi melancarkan kasus penculikan sahabatku. Aku sungguh berduka Diva kehilangan ayahnya." Ucapku.
"Kau yang tabah ya. Aku yakin kamu bisa menguatkan teman baikmu." Ucap ibu polisi.
"Ya." Ucapku sambil menghapus air mata. Aku akan bersaksi di kantor polisi setelah ini. Ya aku memang harus bersaksi. Mereka tidak akan percaya pada pria penjahat itu.
Mobil mulai melaju menjauhi rumah itu. Satu mobil masih tinggal untuk mengurus TKP dan beberapa mobil nampaknya berdatangan ke rumah itu untuk membantu tim TKP.
"Ibu polisi, apa aku boleh minta satu hal?" Ucapku.
"Ya?"
"Aku mohon. Jangan sampai ada media yang tahu kasus ini. Aku ngga mau Diva melanjutkan hidupnya yang tanpa ayah dan dengan berbagai pertanyaan dari orang lain yang ingin tahu detail kejadian ini. Itu akan mengubah sisa hidupnya." Ucapku.
"Wow. Baru kali ini aku menemukan anak seusiamu berkata sungguh biijaksana. Kau pasti sangat peduli pada sahabatmu ya?"
"Aku menyayanginya, bu. Hanya dia yang kupunya dan aku ingin dia terus bahagia."
Aku mengusap rambut Diva. Kulihat matanya basah. Aku tahu selama dua hari di ruangan itu dia pasti tidak berhenti menangis sambil memanggil orang tua tidak beradab itu. Aku benci padanya. Untunglah dia tidak panjang umur, biarlah Diva hidup tanpa ayah yang mungkin bisa menjualnya kapan saja pada klien di kantornya. Pria gila jabatan dan harta itu tidak mungkin berhenti kecuali mati.
"Maaf." Bisikku ke telinga Diva. Lalu aku memeluknya.
"Maaf." Bisikku ke telinga Diva. Lalu aku memeluknya.
0 comment:
Posting Komentar
Come share to us !!