Rabu, 08 Februari 2017

12. Doni ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Hope is the only thing stronger than fear. But memory is the only thing you need to hoping.

Sudah tidak ada bus umum  yang lewat, jadi aku terpaksa jalan kaki dari rumah Doni ke rumahku. Aku masuk ke kamarku lewat jendela yang memang tak pernah kukunci. Sudah jam dua dini hari saat aku akhirnya sampai di kamar. 

Tiba di dalam kamar, kulihat sepiring penuh makanan. Sebelum aku pergi, aku meninggalkan pesan sms:

"Ma, Sher pusing. Aku tidur ya. Aku udah mandi kok. Makan malamnya diantar ke kamar aja. Nanti aku makan kalo aku bangun. Mama jangan nyalain lampu kamarku atau buka selimutnya ya. Aku pusing kalo lihat cahaya. Aku sayang mama."

Kulihat tempat tidurku masih rapi, aku menata guling dan bonekaku agar menyerupai aku yang tertutup selimut.

Tanpa basa basi lagi, aku langsung menyantap makan malamku dengan lahap. Ternyata balas dendam itu menyebabkan kelaparan yang luar biasa. Setelah mandi dan membersihkan pakaianku dari tanah, aku segera tidur.

Jam setengah tujuh pagi mamaku membangunkanku. Dia juga membawakan sarapan untukku karena dia pikir aku masih sakit. "Kalau kamu masih sakit, kamu ngga usah sekolah dulu sayang." Ucapnya.

Oh tidak. Aku tidak akan melewatkan saat seisi sekolah membicarakan keadaan Doni. Ucapku dalam hati.

"Aku udah sembuh mama. Aku akan masuk sekolah hari ini." Ucapku sambil beranjak dari tempat tidur.

Aku memasuki ruang kelas. Tak lama kemudian wali kelasku masuk kelas dengan raut wajah sedih. "Selamat pagi anak-anak." Ucapnya. "Hari ini kita menerima berita duka cita. Semalam Doni terjatuh dari lantai dua rumahnya dan beberapa tulangnya patah. Pulang sekolah nanti kita akan menjenguknya ke rumah sakit." Ucapnya lagi.

Banyak gumam kaget dari anak-anak sekelas. Aku tersenyum kecil.

"Bu, kenapa dia bisa jatuh?" Tanya salah satu cewek.

"Sepertinya dia sleepwalking semalam. Jadi dia berjalan saat tidur." Jawab guruku.

"Apa dia akan lama berada di rumah?" Tanyaku. Seketika saja suasana kelas menjadi senyap. Puluhan pasang mata menyorot ke arahku.

"Apa maksudmu, Sheraphyna?" Tanya guruku.

"Apa dia tidak akan masuk sekolah untuk waktu yang lama?" Tanyaku lagi dengan nada datar yang biasa.

"Kemungkinan, tapi orang tuanya tidak ingin dia tinggal kelas. Jadi nanti akan ada siaran secara langsung pelajaran di kelas dan dia akan belajar dari rumah." Jawab guruku. "Kamu sangat memperhatikan dia ya, Shera."

Oh sial. Kenapa dia tidak tinggal kelas saja sih, jadi aku tidak perlu cuti. Pikirku, sambil menyunggingkan senyuman pada guruku.

Suasana kelas kembali sepi karena guruku belum membuka pembicaraan lagi. Tiba-tiba dokter klinik sekolah memasuki ruang kelas. Wajahnya tegang.

"...Sheerin. Anjingmu mati..." Ucapnya yang langsung saja membuat suasana kelas kembali ramai gumaman anak-anak yang terkejut. Sebenarnya banyak kalimat yang diucapkan dokter klinik itu pada kami termasuk kata '..saya mendapat telpon dari rumah sakit..' dan '..saya sungguh menyesal..'. Tapi aku hanya menunggu tiga kata itu saja. Jadi aku tidak terlalu memperhatika kata-katanya yang lain.

Joker-ku mati. Sudah seharusnya kan? Untuk apa dia hidup kalau hanya akan membebaniku dalam merawatnya? Aku tidak mau memelihara anjing yang cacat.  Dan payah sekali dia tidak bisa menahan racun itu setidaknya dua puluh empat jam. Dia mati karena racun yang kuberikan padanya semalam.

Aku menunduk dan memasang wajah sedih. Seharusnya begitu kan tampangku di depan anak-anak saat tahu peliharaanku mati?

Lepas pulang sekolah kami sekelas menjenguk Doni di rumah sakit. Tentu saja aku ikut. Aku mau lihat sejauh mana aku melukainya.

Kami masuk ke kamar rawat Doni bertiga-tiga dengan seorang guru pendamping. Aku dapat kesempatan di grup terakhir.

Aku melihat seorang cowok terbaring di tempat tidur dengan kaki kanannya digantung. Perban luar biasa tebal melilit hampir seluruh bagian tubuhnya. Kurasa dibawah perban itu ada gips juga.

Aku mendekat ke bagian atas tubuh Doni. Aku menatap matanya. Dengan tajam dia membalas tatapanku. Lalu dia menangis. Kenapa dia menangis?

"Kamu kenapa sayang?" Tanya mamanya Doni.

"Sher-Sheerin. Aku minta maaf." Ucap Doni. Kata-kata yang keluar dari mulutnya membuatku terkejut. Apa kepalanya terbentur sebegitu kerasnya hingga otaknya agak aneh? 'Maaf' katanya?

"Apa?" Ucapku terkejut.

"Kudengar anjingmu mati." Ucapnya. "Sepertinya semalam aku mimpi bertemu dengannya dan tiba-tiba saja aku tidur sambil berjalan dan jatuh. Aku mendengar dia mengaum." Jelas Doni.

"Tapi dia anjing. Bukan serigala." Ucapku membenarkan.

"Maafkan aku, Sheerin." Ucap Doni lagi.

Suasana di ruang kamar itu menjadi sendu. Apa ini? Kenapa dia malah minta maaf padaku? Aku jadi merasa agak aneh. Aku senang dia merasa bersalah padaku, tapi aku tidak suka dia minta maaf di depan orang banyak seperti ini.

"Ya." Jawabku.

Aku tidak tahu berapa lama Doni tidak masuk sekolah. Terpotong libur akhir semester dan aku tidak akan bertemu dengannya di semester berikutnya karena aku mulai cuti sekolah.

Aku bertemu dengan Diva saat mulai masuk sekolah lagi. Karena aku dan Doni beda kelas, kami jarang bertemu jadi sepertinya dia telah melupakanku. Semua berjalan sesuai rencana. Di kelasku yang baru, tidak ada lagi yang menjauhi atau membully. Aku berteman dengan beberapa orang anak di kelas dan Diva adalah teman yang paling dekat denganku.

Aku menarik nafas dalam. Kembali ke tubuh dua puluh satu tahun yang sedang terbaring di kasur dingin dalam kegelapan. Ya, itu adalah salah satu memori bersama Doni yang kuingat hari ini. Bukan memori yang tiba-tiba kuingat saat bertatapan dengannya tadi sore memang. Tapi setelah bertemu dia, aku jadi merasa seperti ditarik kembali ke masa lalu. Dia adalah cowok yang membuatku menjadi seorang yang bisa dibilang tidak bersosialisasi dengan baik di masyarakat. Aku benci padanya.

"Ya ampun aku kan janji mau telpon Diva." Ucapku tersentak kaget seraya mencari-cari handphone. "Dia pasti udah tidur." Aku menyadari jam berapa sekarang.




আPrevious: Wolf

আNext: Saturday Morning






0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!