If the dream start bothering you, so you'd better not sleeping, right?
--Lisa's POV--
Lututku lemas melihat dua tubuh kaku milik kedua orang tuaku
yang tergantung pada seutas tali besar. Apa yang terjadi?
"Oh kayaknya udah hilang." Ucap Sheerin tiba-tiba
dari balik tubuhku. Aku terlonjak kaget lalu cepat bangun. Aku menoleh dan
melihat raut wajah adikku. Dia tidak tampak terkejut sama sekali.
"Apa maksudmu udah hilang?" Tanyaku hati-hati.
"Nyawa mereka, tentu aja." Jawab Sheerin dengan
entengnya dan cengiran yang biasa ia tunjukkan ketika papa memberikan sesuatu
yang dia minta.
*plaakk*
Aku mendaratkan sebuah tamparan ke pipi Sher yang mulus dan
warna pink. Sekarang pipinya berubah sewarna tomat. Tapi itu belum cukup untuk
membalas apa yang telah dilakukannya pada orang tua kami.
"Kakak!" Sheerin merubah raut wajahnya. Kali ini
dia sangat marah.
Sheerin memberikan tatapan sangat tajam. Tapi seharusnya aku
yang marah. DIA MENGGANTUNG ORANG TUA KAMI SAMPAI MATI! Apa dia benar Sheerin
adikku?
"KAU IBLIS!" Ucapku.
"Orang yang menculik Diva juga berpendapat demikian.
Sepertinya kalian cocok. Mau coba saling mencinta? Ah ya aku lupa dia sudah
mati karena racun yang kuberikan." Sheerin mengatakan hal yang tidak
pernah kupikirkan selama ini.
"Sheerin." Aku berkata lemah seraya meraih leher
adikku dan mencekiknya.
Pipinya yang tadi merah sekarang menjadi pucat sekali. Namun
raut wajahnya tidak berubah. Ia tidak panik atau menunjukkan tanda-tanda
kesakitan.
Tiba-tiba saja aku merasa kulit di bagian perutku terbuka.
Rasanya perih sekali. Aku melepaskan tanganku dari leher Sher seraya memegangi
perutku yang kini bercucuran darah.
"Ups maaf, Kak. Tanganku tergelincir." Ucap
Sheerin seraya mendekati kedua orang tuaku. "Bisa bantu sedikit? Papa agak
berat." Ucap Sheerin.
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Apa yang
telah dilakukan Sheerin tampak seperti tidak nyata bagiku. Aku tidak percaya
mama dan papaku mati di tangannya. Aku membantu Sher menarik tubuh kedua orang
tuaku. Bukan karena aku setuju untuk membantunya. Lebih karena aku tidak tega
melihat tubuh mereka tergantung seperti itu. Aku tidak berhenti menangis.
"Mama.. Papa.." Ucapku lirih. Aku berlutut di atas
tubuh orang tuaku.
Saat sedang berusaha untuk melepaskan tali yang mengikat
leher mereka, tiba-tiba saja Sher menyemprotku dengan sebuah cairan yang
membuatku tidak bisa menggerakkan satu ototpun. Aku tergeletak dengan kesadaran
penuh, namun tidak bisa bergerak, tidak bisa bicara.
"Terima kasih bantuannya, Kakak." Ucap Sheerin
yang kini mulai menyeretku masuk ke dalam rumah.
Sheerin mendudukkanku di depan lemari pakaian. Lalu ia
keluar kamar dan kembali bersama tubuh mama. Dia meletakan tubuh mama jauh
berseberangan denganku. Lalu ia menyeret tubuh papa dan meletakannya
bersebelahan dengan mama. Aku menangis hingga perih tanpa suara. Setiap gerakan
yang dibuat Sher, sepertinya ini bukanlah hal mengerikan pertama yang pernah
dilakukannya. Dia seperti sudah terbiasa melakukan hal semacam ini.
"Hoi, Kak!" Sher berteriak dari seberang kamar. Ia
membungkuk di atas tubuh mama dengan sebuah pisau dapur di tangannya.
"Kalau Kakak bilang aku bersalah, kurang lebih beginilah Candice
selanjutnya." Setelah berkata begitu, Sher menghujani tubuh mamaku dengan
pisau dapurnya. Cairan merah itu keluar begitu amis dari tubuh mati mamaku.
Berarti waktu kematian mereka belum lama karena darahnya belum kering. Apakah
Sher menggantung mereka saat aku sedang mandi? Bagaimana caranya?
Sher tertawa seperti orang gila. Akan kupastikan dia mati
sebelum bisa menjangkau Candice. Aku sangat berharap Kak Aiden cepat pulang dan
menghentikan semua kegilaan ini. Mimpi buruk yang dibawa ke kenyataan oleh
adikku sendiri.
Sher sepertinya sudah puas dengan tubuh mamaku, dia berdiri
dan mendapati pakaiannya berlumuran darah. Lalu ia membuka seluruh pakaian yang
melekat pada tubuhnya dan menggantinya dengan yang bersih.
"Janji ya Kak jangan bilang ini ke siapa-siapa. Nanti
aku marah lho." Ucap Sheerin.
Apa-apaan dia? Mana mungkin aku diam saja. Setelah dia mati
atau di penjara Candice akan selamat kan? Dia tidak akan bisa menyentuh Can.
"Oh ya Kak. Kenalin, itu Keenan." Sher berkata
sambil menunjuk seorang cowok yang berdiri di muka pintu. Wajah cowok itu
ditutup dengan sebuah poster wajah penyanyi Justin Bieber yang sepertinya
diambil dari sebuah majalah. Dia melambai ke arahku. "Kalau Kakak ingkar
janji, dia akan menjadi Sheerin." Sher memberikan pakaian penuh darahnya
kepada cowok itu. Kemudian cowok itu meninggalkan kamar.
"Keenan bilang Kak Aiden udah mau sampe rumah lho,
Kak." Ucap Sheerin seraya keluar kamar.
Aku merasakan ketakutan yang aneh. Sher tidak melakukan ini
sendirian. Dia punya seorang partner yang bisa dibilang sama gila dengan
dirinya. Jantungku berdegup sangat kencang. Tubuhku masih mati rasa. Tiba-tiba
saja lampu mati dan kegelapan segera membuat satu lagi inderaku tidak berguna.
"Mama, aku pulang." Aku mendengar suara Kak Aiden
samar-samar.
"Kakaaak! Jangan masuk!" Teriak suara Sheerin dari
salah satu ruangan yang aku tidak tahu ruangan mana.
"Sher, kamu dimana?" Kak Aiden balas berteriak
pada Sheerin dengan nada panik.
Kak, kumohon jangan masuk. Pergilah sejauh mungkin dari
rumah ini. Air mataku sudah tidak keluar lagi. Mataku perih sekali. Aku tidak
tahu sekarang jam berapa. Suara Kak Aiden hilang. Aku menunggu lama sekali dan
berharap Kak Aiden menjauh dari rumah ini. Semoga ia tidak tertangkap oleh adik
kami.
Aku nyaris kehilangan kesadaran ketika Sher kembali ke kamar
orang tuaku dan berbisik di telingaku sebelum dia masuk ke dalam lemari di
belakangku. "Show time."
"Sheerin kamu ada dimana?" Aku mendengar Kak Aiden
berteriak. Jantungku kembali berdegup kencang.
Pintu kamar orang tuaku terbuka. Lampu di luar kamar sudah
menyala, aku melihat siluet Kak Aiden yang berdiri di muka pintu. Lalu dia
masuk ke dalam kamar ini. Aku melihat cowok bernama Keenan itu menutup pintu.
Kegelapan kembali menyelimuti. Aku tidak bisa melihat apapun.
Aku dengar Kak Aiden melangkahkan kaki, lalu sepertinya ia
menginjak sesuatu.
Kak Aiden melangkah lagi. Ia mencoba menyalakan lampu
"Sial. Kenapa lampu nya ngga bisa nyala." Ucap
suara Kak Aiden sambil terus menekan saklar lampu yang tetap tidak nyala juga.
"Hey keluar kau. Siapa kamu?" Dia berteriak.
Entah sejak kapan, aku baru merasakan kalau tanganku
memegang tali. Dan tali itu seperti ditarik ke arahku. Pasti Sheerin yang
menariknya dari dalam lemari.
Sreet-sreet*
Papa mamaku pasti terseret mendekat.
Aku merasakan tarikan lagi.
Sreet-sreet*
Tanganku hanya bisa merasakan rasanya tali itu tertarik
tanpa bisa memegangnya.
Sreet-sreet*
Sepertinya tubuh mereka tersangkut dengan benda lain. Ada
sentakkan dan tali menegang sedikit.
Detik berikutnya aku mendengar suara tusukkan berkali-kali.
Pintu lemari di belakangku terbuka sedikit lalu Sher membuang bagian tali yang
tadi dipegangnya ke tubuhku.
Bau amis kembali memenuhi ruangan kamar yang gelap. Aku
berusaha nangis lagi. Air mataku sudah benar-benar kering.
Tiba-tiba pintu kamar menjeblak terbuka. Kulihat beberapa
siluet bayangan orang-orang bertubuh besar di muka pintu. Mereka tampak memegang
senjata. Kak Aiden berlutut di sebelah tubuh papaku yang kini berlumur darah.
Lampu menyala. Menampilkan pemandangan menjijikkan di
ruangan ini.
"Jangan bergerak." Ucap siluet di muka pintu yang
kukenali sebagai polisi.
Dua orang lain mendekati Kak Aiden dan melumpuhkan
pergerakannya.
Kak Aiden menangis tertunduk. "Perampoknya masih ada,
Pak." Ucapnya pada polisi yang membawanya keluar.
"Apa yang kau bicarakan? Perampoknya itu kau,
nak." Jawab polisi itu.
Dua orang polisi mendekatiku dan membawaku keluar dari kamar
itu, otot di tubuhku masih belum bisa kukuasai sepenuhnya. Yang kuingat aku
masih memegang tali itu. Tali yang berujung pada leher kedua orang tuaku.
Aku sudah berada di dalam salah satu mobil polisi. Para
tetangga mengerumun di depan rumahku. Kebanyakan dari mereka tampak khawatir
dan takut. Sisanya terkejut luar biasa.
Lalu mereka membawaku ke kantor polisi.
Polisi langsung membawa aku dan Kak Aiden ke ruang
interogasi. Mereka terus menanyai kami dengan pertanyaan yang tidak bisa kami
jawab. Mereka memutuskan bahwa kami adalah tersangka utama dari kasus
pembunuhan orang tua kami sendiri. Tapi Kak Aiden tetap tidak mau mengaku
karena memang bukan dia pelakunya. Aku masih belum bisa bicara. Tapi jemari
tangan dan kakiku sudah bisa kugerakkan sedikit. Tubuhku bergetar hebat.
Aku menangis lagi. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan
selain menangis saat ini. Aku tidak bisa berkata apapun. Tubuhku semakin
menggigil. Di depanku polisi itu terus menyudutkan Kak Aiden dan dia berteriak
sampai polisi mulai memukul wajahnya.
"Mama.. papa.." Ucapku susah payah dengan suara
bergetar.
Kak Aiden menarik nafas berat. Lalu ia menoleh ke arahku.
Dia terdiam tampak sedang berpikir dan menimbang. Aku tidak tahu apa yang
dipikirkannya tentangku.
"Lisa, kau bisa ceritakan padaku apa yang terjadi
padamu di rumah?" Tanyanya dengan nada biasa.
Aku masih menggigil. Namun lalu mengangguk pelan.
Aku sudah menceritakan semua hal yang sebenarnya pada polisi
itu. Aku tidak memikirkan ancaman yang dikatakan Sheerin tadi. Tapi polisi
tetap tidak percaya meskipun aku membuat kesaksian sambil dipasangi lie
detector. Ternyata setelah dimintai kesaksian kedua, Sheerin bilang pada pihak
kepolisian kalau kami bisa mengelabuhi alat pendeteksi kebohongan itu. Aku
menemukan jalan buntu. Sheerin sudah mendapat satu poin dengan posisi
terakhirnya di dalam lemari. Polisi akan lebih percaya padanya daripada pada
kami yang tertangkap saat memegang pisau dan tali yang tersentuh langsung pada
tubuh korban.
Kasus pembunuhan orang tua kami ditutup dengan aku dan Kak
Aiden sebagai tersangka. Kami dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Tapi sampai saat ini Sher masih menepati janjinya. Dia tidak
menyentuh Candice sama sekali. Itu membuat kami sedikit lega. Walaupun polisi
tidak menindaklanjuti kasus kami dengan mencurigai Sheerin sebagai tersangka.
Catatan kejahatannya tetap tersembunyi.
***
0 comment:
Posting Komentar
Come share to us !!