Kau dan dia seperti mata uang. Memiliki dua sisi yang berbeda namun masih melekat satu sama lainnya.
Sedangkan aku adalah sebuah dadu. Aku punya enam sisi yang berbeda untuk diriku sendiri.
--Aiden's POV--
"...dia pembunuhnya, kan?" Ucap Lisa dengan tatapan mantap lurus ke arah polisi itu.
Kurasa ada beberapa hal yang diketahui Lisa yang tidak kutahu.
"Apa maksudnya itu?" Tanya polisi yang kini wajahnya berubah menjadi terkejut.
Dan jangan tanya seberapa terkejutnya aku mendengar ucapan Lisa.
"Tahan itu semua. Aku akan menanyai kalian setelah kalian melihat ini." Ucap polisi itu sambil menunjuk sesuatu di laptopnya.
Lalu dia membuka beberapa folder dan berakhir pada sebuah file berformat mp4. Dia membukanya dan video pun berputar.
Tampak seorang anak yang kelihatan pucat berhadapan dengan seorang polisi.
"A-aku takut dia mengincarku, Pak." Ucap Sheerin ragu-ragu.
"Tenanglah nak. Dia tidak akan bisa menyentuhmu lagi. Kulihat dalam berkasmu, kau pernah diinterogasi tahun lalu. Mengenai kasus penculikan temanmu, benar? " Ucap polisi itu.
Sheerin mengangguk pelan.
"Kau bisa melakukannya lagi kali ini, nak. Apa lagi kali ini mengenai kasus yang melibatkan keluargamu." Ucap polisi itu.
Sheerin menarik nafas dalam-dalam. "Me-mereka yang membunuhnya." Ucap Sheerin takut-takut. "Kurasa karena orang tuaku selalu memanjakanku dan mereka cemburu."
"Bagaimana cara mereka membunuhnya?" Tanya polisi di video.
"Kami baru pulang dari mengantar Kak Candice ke bandara. Lalu tiba-tiba saja mama dan papaku berteriak. Aku langsung berlari ke kamar orang tuaku dan melihat mereka terpojok. Lalu Kak Lisa menyuruhku masuk ke dalam lemari sambil menodongkan pisau ke arahku." Ucap Sheerin.
"Dia mengancam akan menggorok leher mama kalau aku tidak menurut. Jadi aku masuk ke kamar dan sesuai dengan perintahnya aku masuk ke dalam lemari pakaian orang tuaku." Sheerin menghela nafas panjang.
"Tiba-tiba saja lampu mati. Aku hanya bisa menahan tangisanku sambil menunggu apa yang akan terjadi pada aku dan kedua orang tuaku. Aku jadi teringat saat teman baikku diculik. Aku seperti berada pada posisi yang nyaris sama. Hanya saja kali ini aku tidak bisa panggil polisi." Sheerin mulai menangis.
Aku tidak percaya apa yang dikatakan oleh adik bungsuku itu. Apakah dia seperti ini sejak lahir atau ada faktor eksternal lain yang mengubahnya? Seketika saja aku tidak mengenal sama sekali seperti apa Sheerin sebenarnya. Aku bukannya tidak percaya apa yang dikatakan Sher, hanya saja membayangkan Lisa merencanakan pembunuhan itu juga sulit dipercaya.
"...lalu kudengar Kak Aiden pulang, aku sudah suruh dia pergi. Tapi dia malah masuk ke kamar orang tuaku juga. Dan saat itu aku sadar kalau Kak Aiden ternyata membantu Kak Lisa membunuh mereka..." Ucap Sheerin. Tangisannya makin keras.
Oke ini sudah kelewatan. Aku tidak yakin bisa percaya pada Lisa ataupun Sheerin. Tapi aku percaya pada diriku sendiri. Aku bukanlah orang yang membunuh orang tuaku. Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi di kamar orang tuaku itu. Sekarang aku benar-benar yakin kalau ada sesuatu yang tidak beres pada adik kecil kami.
Tanganku terkepal. Aku siap meluapkan amarahku kalau saja Lisa tidak menahan tanganku dengan keras dan menatapku dengan tatapan yang menyedihkan. Sekarang apa lagi? Kenapa Lisa senang sekali mempermainkan perasaanku dengan tatapannya sih? Aku tidak tahu harus percaya pada apa. Aku bisa gila!
Aku tidak terlalu memperhatikan video itu lagi. Yang kutahu, saat berikutnya video interogasi Sheerin sudah berakhir.
"Ada pembelaan?" Tanya polisi di depan kami.
Aku hendak menjawab pertanyaan polisi itu. Tapi ternyata Lisa sudah mulai berbicara mendahuluiku.
"Aku tahu kalian akan lebih percaya pada adik kami. Aku tidak akan berusaha untuk membela diriku dan Kakakku. Kau bisa memenjarakan kami. Tapi aku mau kalian menuntaskan kasus ini. Aku yakin sekali ada yang tidak beres pada Sheerin." Ucap Lisa dengan nada tenang.
"Apa maksudmu?" Tanya polisi itu.
Ya apa maksudmu, Lisa? Apa yang kamu tahu dan tidak kuketahui. Berhentilah bicara hal yang tidak kuketahui!
"Kau bisa pasangi aku lie detector, tapi jawabanku akan tetap sama." Ucap Lisa.
Polisi itu menimbang permintaan Lisa beberapa detik. Keringat di dahinya banyak sekali. Padahal ruangan ini dingin. Kurasa dia mulai bingung dengan kasus ini. Sejujurnya aku juga bingung, terlebih pada sikap Lisa saat ini.
Lalu polisi itu memanggil temannya dan akhirnya kami pun dibawa ke ruangan yang ada alat lie detector. Lisa mulai dipasangi sensor dari alat mengerikan itu. Dan dia masih berkata kalau dia tidak bersalah. Dia hanya ada di tempat yang salah dan waktu yang tidak tepat.
--Lisa's POV--
Aku melihatnya. Tatapan mata Sheerin berubah saat kami tiba di rumah.
Hari ini adikku Candice berangkat ke New York untuk melanjutkan kuliahnya. Selama beberapa minggu ini mama dan papaku disibukkan dengan persiapan macam-macam yang diperlukan Candice di asramanya nanti. Mereka sering bolak balik ke sekolah untuk mengurus administrasi dan membeli berbagai macam perlengkapan. Dan sejak itu adik paling kecilku Sheerin menjauh dari jangkauan orang tua kami. Aku memang tidak pernah diajak curhat olehnya, tapi aku yakin dia merasa sedikit kehilangan perhatian orang tua kami. Karena biasanya dia adalah yang paling manja.
Tapi semenjak pulang dari bandara mengantar Candice, Sher mulai kembali ceria lagi. Meskipun yang kulihat hari ini justru sebuah seringgai ambigu di wajahnya yang imut.
Saat hendak mandi, aku melewati kamar Sheerin yang pintunya sedikit terbuka. Dia sedang asyik dengan telponnya. Sepertinya dia sedang telpon dengan sahabatnya, Diva. Mereka memang suka tertawa sampai terbahak-bahak kalau sudah ngobrol berdua.
Setelah aku kembali dari kamar mandi menuju kamarku, aku lihat kali ini Sheerin menangis. Aku langsung spontan saja masuk ke kamarnya karena aku takut ada sesuatu yang membuatnya terluka. Tapi aku malah diusir keluar dengan kasar dan dia membanting pintu di depan wajahku. Kupikir mungkin dia sedang ada masalah dengan Diva. Jadi aku tidak terlalu mengambil pusing. Lagipula seberat apa sih masalah anak SMP?
Aku menuju balkon bagian belakang rumah untuk menjemur handuk. Kulihat dari ujung pinggiran besi balkon ada sesuatu yang menggantung. Aku mendekatinya. Handuk terlepas dari peganganku. Aku mendekap mulutku sangat keras hingga tak sehurufpun keluar dari mulutku. Air mata menetes dan lututku lemas.
আPrevious: Deathly Flower
আNext: Nightmare
"Kau bisa melakukannya lagi kali ini, nak. Apa lagi kali ini mengenai kasus yang melibatkan keluargamu." Ucap polisi itu.
Sheerin menarik nafas dalam-dalam. "Me-mereka yang membunuhnya." Ucap Sheerin takut-takut. "Kurasa karena orang tuaku selalu memanjakanku dan mereka cemburu."
"Bagaimana cara mereka membunuhnya?" Tanya polisi di video.
"Kami baru pulang dari mengantar Kak Candice ke bandara. Lalu tiba-tiba saja mama dan papaku berteriak. Aku langsung berlari ke kamar orang tuaku dan melihat mereka terpojok. Lalu Kak Lisa menyuruhku masuk ke dalam lemari sambil menodongkan pisau ke arahku." Ucap Sheerin.
"Dia mengancam akan menggorok leher mama kalau aku tidak menurut. Jadi aku masuk ke kamar dan sesuai dengan perintahnya aku masuk ke dalam lemari pakaian orang tuaku." Sheerin menghela nafas panjang.
"Tiba-tiba saja lampu mati. Aku hanya bisa menahan tangisanku sambil menunggu apa yang akan terjadi pada aku dan kedua orang tuaku. Aku jadi teringat saat teman baikku diculik. Aku seperti berada pada posisi yang nyaris sama. Hanya saja kali ini aku tidak bisa panggil polisi." Sheerin mulai menangis.
Aku tidak percaya apa yang dikatakan oleh adik bungsuku itu. Apakah dia seperti ini sejak lahir atau ada faktor eksternal lain yang mengubahnya? Seketika saja aku tidak mengenal sama sekali seperti apa Sheerin sebenarnya. Aku bukannya tidak percaya apa yang dikatakan Sher, hanya saja membayangkan Lisa merencanakan pembunuhan itu juga sulit dipercaya.
"...lalu kudengar Kak Aiden pulang, aku sudah suruh dia pergi. Tapi dia malah masuk ke kamar orang tuaku juga. Dan saat itu aku sadar kalau Kak Aiden ternyata membantu Kak Lisa membunuh mereka..." Ucap Sheerin. Tangisannya makin keras.
Oke ini sudah kelewatan. Aku tidak yakin bisa percaya pada Lisa ataupun Sheerin. Tapi aku percaya pada diriku sendiri. Aku bukanlah orang yang membunuh orang tuaku. Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi di kamar orang tuaku itu. Sekarang aku benar-benar yakin kalau ada sesuatu yang tidak beres pada adik kecil kami.
Tanganku terkepal. Aku siap meluapkan amarahku kalau saja Lisa tidak menahan tanganku dengan keras dan menatapku dengan tatapan yang menyedihkan. Sekarang apa lagi? Kenapa Lisa senang sekali mempermainkan perasaanku dengan tatapannya sih? Aku tidak tahu harus percaya pada apa. Aku bisa gila!
Aku tidak terlalu memperhatikan video itu lagi. Yang kutahu, saat berikutnya video interogasi Sheerin sudah berakhir.
"Ada pembelaan?" Tanya polisi di depan kami.
Aku hendak menjawab pertanyaan polisi itu. Tapi ternyata Lisa sudah mulai berbicara mendahuluiku.
"Aku tahu kalian akan lebih percaya pada adik kami. Aku tidak akan berusaha untuk membela diriku dan Kakakku. Kau bisa memenjarakan kami. Tapi aku mau kalian menuntaskan kasus ini. Aku yakin sekali ada yang tidak beres pada Sheerin." Ucap Lisa dengan nada tenang.
"Apa maksudmu?" Tanya polisi itu.
Ya apa maksudmu, Lisa? Apa yang kamu tahu dan tidak kuketahui. Berhentilah bicara hal yang tidak kuketahui!
"Kau bisa pasangi aku lie detector, tapi jawabanku akan tetap sama." Ucap Lisa.
Polisi itu menimbang permintaan Lisa beberapa detik. Keringat di dahinya banyak sekali. Padahal ruangan ini dingin. Kurasa dia mulai bingung dengan kasus ini. Sejujurnya aku juga bingung, terlebih pada sikap Lisa saat ini.
Lalu polisi itu memanggil temannya dan akhirnya kami pun dibawa ke ruangan yang ada alat lie detector. Lisa mulai dipasangi sensor dari alat mengerikan itu. Dan dia masih berkata kalau dia tidak bersalah. Dia hanya ada di tempat yang salah dan waktu yang tidak tepat.
--Lisa's POV--
Aku melihatnya. Tatapan mata Sheerin berubah saat kami tiba di rumah.
Hari ini adikku Candice berangkat ke New York untuk melanjutkan kuliahnya. Selama beberapa minggu ini mama dan papaku disibukkan dengan persiapan macam-macam yang diperlukan Candice di asramanya nanti. Mereka sering bolak balik ke sekolah untuk mengurus administrasi dan membeli berbagai macam perlengkapan. Dan sejak itu adik paling kecilku Sheerin menjauh dari jangkauan orang tua kami. Aku memang tidak pernah diajak curhat olehnya, tapi aku yakin dia merasa sedikit kehilangan perhatian orang tua kami. Karena biasanya dia adalah yang paling manja.
Tapi semenjak pulang dari bandara mengantar Candice, Sher mulai kembali ceria lagi. Meskipun yang kulihat hari ini justru sebuah seringgai ambigu di wajahnya yang imut.
Saat hendak mandi, aku melewati kamar Sheerin yang pintunya sedikit terbuka. Dia sedang asyik dengan telponnya. Sepertinya dia sedang telpon dengan sahabatnya, Diva. Mereka memang suka tertawa sampai terbahak-bahak kalau sudah ngobrol berdua.
Setelah aku kembali dari kamar mandi menuju kamarku, aku lihat kali ini Sheerin menangis. Aku langsung spontan saja masuk ke kamarnya karena aku takut ada sesuatu yang membuatnya terluka. Tapi aku malah diusir keluar dengan kasar dan dia membanting pintu di depan wajahku. Kupikir mungkin dia sedang ada masalah dengan Diva. Jadi aku tidak terlalu mengambil pusing. Lagipula seberat apa sih masalah anak SMP?
Aku menuju balkon bagian belakang rumah untuk menjemur handuk. Kulihat dari ujung pinggiran besi balkon ada sesuatu yang menggantung. Aku mendekatinya. Handuk terlepas dari peganganku. Aku mendekap mulutku sangat keras hingga tak sehurufpun keluar dari mulutku. Air mata menetes dan lututku lemas.
আPrevious: Deathly Flower
আNext: Nightmare
0 comment:
Posting Komentar
Come share to us !!