Kamis, 10 Juli 2014

Delmora The Ocean's Princess -- Bab 1 (Salam Trisula)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah






Bab 1
Salam Trisula
Hai. Namaku Delmora. Aku adalah seorang cewek biasa hingga usiaku menginjak tujuh belas. Entah aku harus senang atau kesal, aku sedang berusaha untuk menerima kenyataan bahwa aku ini keturunan salah satu dewa. Sebenarnya dia telah melakukan sesuatu yang gawat terhadap pria yang selama enam belas tahun terakhir masih kuanggap sebagian darinya adalah milikku. Sampai dewa itu mengunjungi rumahku dan berkata bahwa aku ini anaknya. Bersenjatakan trisula, dia kelihatannya sangat serius dengan apa yang dikatakannya, walaupun hal itu masih tidak masuk akal.
Awalnya kukira ia adalah pemeran opera yang ingin mengerjaiku. Tapi mana ada manusia yang bisa bercahaya hijau seperti itu? Pemain opera terbaik sekalipun tak akan mampu melakukannya.
Dia duduk di ruang tamu keluarga kami dan menceritakan persisnya apa yang ia lakukan hingga aku lahir.
Tujuh belas tahun yang lalu..
Sudah tujuh tahun menikah dengan Bapak Dylan, ia tetap tidak dikaruniai seorang anak. Dokter memvonis ibuku tidak akan memiliki keturunan.
Tapi beberapa bulan berlalu ketika ia menyadari berat badannya naik secara drastis. Saat diperiksakan ke dokter, ternyata ada seorang bayi mungil (aku) yang tinggal di rahim bu Sonya—ibuku. Dan bayi itu sudah lima bulan berada dalam rahimnya.
Setelah lahir, bayi perempuan itu di beri nama Delmora. Tapi ada yang aneh dariku. Saat aku mendapati diri menghirup oksigen ke paru-paru kecilku, aku tidak menangis dan masih tenang mengemut jempol sambil tertidur pulas. Bu Sonya sangat ketakutan aku mungkin mati. Akhirnya aku di ceburkan ke dalam kolam berisi air untuk dimandikan. Aku mulai menangis. Pada saat itulah akhirnya mereka tahu bahwa aku mendapat kekuatan dari air. Mataku yang hitam pekat tiba-tiba saja berubah menjadi biru laut. Padahal aku orang Indonesia asli.
 “Kau bilang namamu siapa, Pak?” Tanyaku pada seorang pria dewasa di depanku.
“Panggil aku Ayah.” Ucap pria yang mengaku Dewa Poseidon masih dengan tenang.
“Tapi bagaimana aku bisa percaya kau tidak sedang menipuku?” Gumamku. “Maksudku, bagaimana aku bisa percaya kau Ayahku? Dan Dewa?”
“Aku tidak bisa membuktikannya disini, Delmora.” Ucap Poseidon. “Tapi aku benar-benar membutuhkan bantuanmu.”
“Untuk apa aku harus membantu orang yang bahkan tidak kukenal?”
“Aku Ayahmu.”
“Jangan mempermainkanku!” Aku menjerit.
“Aku tidak mempermainkanmu!” Pria Poseidon itu menghentakkan kakinya. Tiba-tiba lantai rumah itu bergetar seperti sedang terkena gempa bumi dengan pusatnya adalah pria yang mengaku Dewa itu.
Aku dan orang tuaku terdiam. Sunyi beberapa saat.
“Maafkan aku.” Ucap Poseidon dengan nada tidak enak. “Tapi sedang ada masalah. Dan aku tidak bisa membereskannya sendiri.”
“Tapi kalau benar kau dewa, seharusnya kau bisa melakukannya sendiri.” Ucapku.
“Sayangnya aku tidak bisa ke wilayah dewa lain.”
“Apa maksudmu?” Tanya Ibu.
Sang Dewa Laut menceritakan kepada kami tentang dewa lain yang ingin mengambil wilayahnya. Secara harfiah, aku tidak mengerti sama sekali alur pembicaraan ini. Semakin didengarkan, orang ini semakin terdengar mengada-ada.
“Kau masih tidak percaya aku Dewa?” Tanya Poseidon setelah memandangiku cukup lama.
“Aku masih tidak percaya kau Ayahku.” Jawabku dengan berani. Entah mengapa orang ini begitu menakutkan, tapi aku sama sekali tidak ketakutan padanya.
“Aku meniupkan dirimu ke rahim Sonya tujuh belas tahun lalu. Aku iba melihat ibumu sangat menginginkan kehadiran seorang anak untuk menemani hidup bersama laki-laki brengsek ini.” Poseidon menunjuk Ayah Dylan. “Sebenarnya ibumu normal seperti umumnya wanita sempurna. Tapi laki-laki yang kau panggil Ayah ini meracuninya setiap hari. Ia memberikan ramuan agar ibumu tidak akan pernah memiliki keturunan. Ia tidak menginginkan kehadiranmu, Delmora.”
“Kau jangan dengarkan orang ini, Delmora. Dia berbohong. Tentang segalanya.” Ucap Ayah Dylan panik. Aku bisa merasakan seluruh darahnya membeku. Aneh memang, tapi aku benar-benar merasakan darahnya tidak mengalir normal.
“Aku tak tahu Ayah.” Ucapku pada Ayah Dylan. “Tapi itu terasa begitu ganjil. Aku mempercayaimu. Tapi mengapa aku merasa kau bohong padaku? Darahmu tidak mengalir normal. Kau gugup, Yah.” Kataku, mencoba memberitahu apa yang aku rasakan walaupun sedikit aneh.
“Kau pasti berimaginasi lagi. Hal yang selalu kau lakukan tiap waktu.” Ucap Ayah Dylan semakin panik.
Poseidon memecah pertengkaran hangatku dengan Ayah Dylan. Ia menjentikan jarinya di udara dan sesuatu terjadi. Di udara yang tadinya kosong dan hampa, kini muncul sebuah bayangan berwarna hijau seperti semacam hologram. Bayangan itu mulai membentuk tubuh dan wajah seseorang yang aku kenal. Ayahku, Pak Dylan.
Ayah Dylan dalam hologram sedang membuat sesuatu seperti kopi yang berwarna seperti susu. Maksudku, warnanya putih seperti susu, tapi jelas, teksturnya seperti kopi yang akan meninggalkan ampas seduhan di dasar gelas.
Ia memberikan gelas itu kepada ibuku yang sedang tertidur. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi ia benar-benar mengalirkan minuman itu saat ibuku sedang terlelap. Dan anehnya, ibuku tidak merasakan gangguan dalam tidurnya.
Bayangan hologram Ayah Dylan dan ibuku mulai memudar. Lalu sedetik berikutnya bayangan lain muncul. Sekarang Ayah Dylan sedang berada di sebuah kafe bersama beberapa teman lelakinya yang sedang mabuk dan merokok.
“Sudah tiga tahun menikah dan kau masih belum punya anak!” Ledek salah satu temannya dengan suara kasar dan berteriak.
“Aku sudah bilang seribu kali pada kalian. Anak hanya akan membuatku menyisihkan uang liburan yang kudapatkan dari istriku tersayang.” Jawab Ayah Dylan dengan nada orang mabuk.
“Syukurlah orang sepertimu mendapatkan gadis mandul seperti Sonya.” Sahut temannya yang lain.
“Ini semua berkat ramuan yang aku berikan padanya. Seumur hidup ia tak akan pernah mengandung anak.” Ucap Ayah Dylan.
Lalu sekali lagi bayangan di hologram itu memudar. Tapi kini benar-benar pudar tanpa membentuk bayangan baru.
“Dia bohong. Aku tidak pernah begitu. Aku tidak punya ramuan apapun untukmu Sonya. Aku mencintaimu. Kau tau kita sama-sama menginginkan seorang anak.” Ucap Ayah Dylan dengan sangat panik.
Lalu Poseidon kembali menjentikan jarinya. Dan sebuah plastik meluncur keluar dari saku celana Ayah Dylan. “Apa itu terlihat seperti ramuan di hologram tadi?” Tanyaku polos.
“Persis.” Jawab Ibuku dengan tatapan marah yang belum pernah kulihat sebelumnya.
“Kau tidak mungkin mempercayai orang asing ini kan sayang?” Ayah Dylan merajuk di kaki Ibuku.
Ibuku mengalihkan wajahnya dari Ayah Dylan. “Poseidon, jika kau berkehendak, maukah kau ubah dia menjadi ikan badut? Kami butuh hiburan setelah semua kejadian menjijikkan ini.” Ucap Ibuku dengan lantang langsung ke wajah Poseidon.
“Tentu saja sayang.” Jawab Poseidon penuh cinta.
Ia mengangkat trisulanya. Lalu dengan satu gerakan kecil, di tempat tadi Ayah Dylan duduk, kini ditempati oleh seekor ikan badut berwarna orange yang melompat-lompat karna tidak bisa bernapas. Ikan badut itu mengingatkanku pada ikan nemo di film. Tapi lalu aku menyadari bahwa itu tadinya Ayahku.
Aku mengambil sebuah toples dari rak piring dan mengisinya dengan air. Kembali ke sofa dan memungut ikan badut itu. Ayah Dylan berenang cemas mengelilingi rumah barunya itu. Bahkan setelah ia menjadi ikan, aku masih bisa merasakan ia panik dan pucat.
“Jadi Delmora, apa kau menerima permohonanku?” Tanya Poseidon.
==
Begitulah cara pertemuanku dengan Ayahku, Poseidon. Secara harfiah aku harusnya marah karena ia telah merubah Ayah selama enam belas tahunku menjadi seekor ikan badut. Tapi nyatanya aku justru berterima kasih padanya karena telah menunjukan kebenaran padaku dan Ibu. Ya, aku menerima permohonannya. Walaupun aku tidak yakin tentang apa yang ia ingin aku lakukan untuknya.
Hari ini aku tidak masuk sekolah. Setelah mengambil raport, kita semua liburan selama tiga minggu. Sulitnya mencari liburan di kota Jakarta yang padat membuat aku dan Ibuku memilih tempat lain untuk berlibur. Awalnya kami ingin menikmati dinginnya pegunungan di Bogor atau daerah Jawa Barat lainnya. Tapi Poseidon ingin aku berada di dekat laut agar ia dapat dengan mudah mengunjungiku. Jadi selama dua minggu kami menyewa vila di salah satu pulau di kepulauan seribu.
Aku masih belum terlalu mengerti mengenai Dewa Yunani. Karena aku tinggal di Jakarta, dan tidak ada pendidikan yang mengajariku tentang sejarah bangsa Yunani, Latin, Romawi maupun Dewa-Dewa mereka. Aku merasa sangat bodoh karna tidak mengenal Ayahku sendiri.
Hari ini aku akan diajak oleh Ayah Poseidon melihat ke dasar laut. Ia akan mengenalkanku pada istananya. Aku sangat bersemangat mengingat laut adalah tempat yang indah, setidaknya dalam benakku. Tapi aku punya sedikit masalah yang cukup serius. Aku bernafas dengan paru-paru. Bagaimana aku bisa menikmati perjalanan bawah lautku kalau setiap beberapa menit aku harus ke daratan untuk bernafas?
“Kau ini anak Dewa Laut, Delmora. Tak usah hiraukan hal seperti itu.” Ucap Poseidon ketika melihat semangat di wajahku berkurang. Padahal aku tidak berbicara sedikitpun mengenai masalahku tadi.
Air kini sudah melewati dagu. Aku masih ragu dengan perkataan Ayah Poseidon tadi.
Sekarang air telah menelan tubuhku sepenuhnya. Aku masih menahan nafas selama yang kubisa.
“Delmora, bernafaslah.” Ucap Poseidon dengan tenang.
“Ta-pi bagaimana?” Tanyaku.
Aku masih ragu dengan yang diperintahkannya. Lalu sesuatu menyadarkanku. Aku ini ada di dalam air. Seharusnya suara manusia tidaklah bisa terdengar di dalam air.
Lalu kemudian hal itu terjadi begitu saja. Aku menarik nafas dan tidak menemukan masalah sedikitpun di bagian paru-paru. Hanya seperti minum air, tapi aku tidak minum. “Bagaimana bisa?” Tanyaku pada Poseidon. Dan aku mendengar dengan jelas apa yang barusan kukatakan.
Poseidon hanya tersenyum.
Tiba-tiba sebuah kereta perang (sepertinya aku pernah melihat yang seperti ini di film-film barat) yang ditarik sepertinya tujuh ekor kuda setengah ikan bersurai panjang menghampiri tempat aku dan Ayah Poseidon tenggelam. Aneh, padahal seperti baru beberapa meter di bawah air, tapi aku tidak bisa melihat daratan lagi dari tempatku berdiri? Beberapa meter di atas kepalaku sudah gelap. Dan apakah laut di kepulauan seribu ini sebegitu dalam?
Aku mengusir semua pertanyaan aneh di kepalaku. Karena mengakui Ayahku seorang Dewa, sudah akan membuat aku dikucilkan dari lingkungan dan dibawa ke rumah sakit Grogol.
“Ayo naik, Delmora. Kita tidak akan berenang sampai ke Istana.” Ucap Poseidon sambil menggandengku naik ke keretanya.
Aku pun naik ke kereta itu dan kontan saja ikan-ikan langsung membelah kerumunan untuk memberi kami lewat. Ada beberapa ubur-ubur juga yang berhenti berdengung untuk melihat dengan siapa Dewa mereka. Aku merasa seperti sedang berada di karpet merah, semua makhluk laut memandangiku dengan tatapan takjub. Campuran antara takut dan sopan. Dan ada ikan hiu? Di kepulauan seribu?
“Kita terus berjalan, Nak. Kita sudah sangat jauh dari kepulauan seribu. Mungkin kita sudah melewati garis benua.” Ucap Poseidon menjawab pertanyaan dalam kepalaku.
Jika dalam keadaan lain aku bertemu dengan para hiu itu, mungkin aku sudah menjadi agar-agar ditamatkan oleh taring besar mereka.
“Kita hanya akan sebentar berada di Istana. Kau harus mulai belajar sedini mungkin.” Ucap Poseidon.
Lalu lamunanku hilang saat itu juga ketika sadar apa yang sedang menantiku. Mungkin dijadikan agar-agar oleh segerombolan hiu tadi adalah cara yang lebih lumayan untuk mati.
Lalu ketakutanku lenyap ketika melihat sebuah gerbang yang tinggi dan megah di hadapanku. Istana Poseidon. Ayahku.
Apakah ini yang dinamakan Atlantis? Semua yang ada disini telah menyilaukan pandanganku. Kalau ini benar Atlantis, kota itu memang baiknya menghilang dari peradaban manusia. Karena jika tidak, pasti banyak hal bodoh dilakukan manusia untuk memperebutkannya.
“Kau bermainlah dengan mereka. Ayah akan memanggilkan guru yang akan melatihmu selama dua hari disini.” Ucap Poseidon sambil menunjuk beberapa gadis setengah ikan yang tersenyum malu-malu ketika melihatku.




Next:
Bab 2 (Pelatihan)

0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!