Delmora The
Ocean’s Princess
Created By:
Safitri
Tsa’niyah
Bab 12
Dewi Athena
“Etiam.” Jawab Oliver yang artinya ya
“Oliver kah itu?” Tanya suara wanita itu lagi.
“Ya, Bu.” Jawab Oliver lagi. “Kau ada di seberang sana?”
“Ya. Masih beberapa meter dari jaring.” Jawab Dewi
Athena.
“Bagaimana cara kami bisa menembus jaring ini?” Tanya
Oliver.
“Letakan batu atau apapun untuk menghalangi petirnya.”
Jawab Athena.
“Baiklah, ibu tunggu sebentar. Aku akan cari caranya.”
Ucap Oliver.
Oliver berbalik menghadapiku. Di wajahnya terpeta sangat
jelas ia kebingungan.
“Sekarang gimana?” Tanyaku.
Oliver memberi pandangan aneh padaku. “Aku punya satu
rencana. Tapi aku masih ragu.” Ucapnya.
“Apa? Bilang aja.” Ucapku mendesak.
“Sekarang jam lima. Sebentar lagi kamu kembali jadi
patung batu. Kalau perhitunganku ngga meleset, seengganya kamu akan bisa
menghalangi petirnya dan memberi celah untukku lewat.” Oliver berkata panjang
lebar dengan keraguan masih jelas di wajahnya.
“Baiklah, ayo kita cari tahu apakah rencanamu itu akan
berhasil atau ngga.” Jawabku tenang. Walaupun jujur, aku juga ragu dan takut.
“Tapi kalau gagal?” Tanya Oliver.
“Kita ngga akan tahu kalau kita ngga coba, sayang.”
Ucapku.
Oliver menengok beberapa kali arloji di pergelangan
tangan kirinya dengan cemas.
Kakiku mulai kaku. Aku tahu, matahari sudah tidak sabar
untuk terbit menandakan hari akan mulai lagi.
“Oliver, kakiku mulai kaku.” Ucapku seraya berjalan lebih
dekat ke jaring.
Oliver merentangkan tangannya menghalangiku. “Tunggu.
Kita tunggu sampai seluruh tubuhmu berubah dulu. Aku ngga mau kamu kesetrum.”
Baiklah, aku mulai merasakan lagi sensasi tidak nyaman
itu.
“Kalau leher kamu sudah membatu, baru aku akan
mengangkatmu maju.” Ucap Oliver.
Beku baru mencapai betisku.
“Aku selalu sayang sama kamu, Delmora.” Ucap Oliver
dengan nada rendah dan sedih.
Beku mulai merajahi pinggangku. Aku ngga boleh nangis di
depan Oliver. Athena berada tinggal beberapa meter lagi.
“Kita pasti ketemu ngga lama lagi, sayang.” Ucap Oliver
lagi.
Beku mulai membatukan leherku. Oliver memegang pinggangku
dan melekatkan bibirnya padaku. Sedetik, ia mengangkat tubuhku dan
meletakkannya di tengah jaring petir dan langsung membuat celah bebas petir di
sisi lainnya.
“Aku akan segera kembali, sayang.” Aku masih mendengar
Oliver berkata sebelum pergi. “Theoí na
mas voíthísei.” Oliver berlari.
Aku masih bisa melihat Oliver menjauh. Dan aku baru
sadar, ternyata kami telah mencapai ujung gua ini. Karena Oliver berjalan tidak
terlalu jauh dariku. Kira-kira hanya berjarak enam meter dari kakiku.
“Ibu?” Panggil Oliver ke dinding ujung gua.
“Oliver.” Balas Athena.
“Kau dimana, Bu?” Tanya Oliver.
“Aku tepat berada di depanmu.” Ucap Athena.
Oliver meneliti tiap senti dinding ujung gua itu. Aku
juga merasa aneh. Athena seperti bersuara dari dalam dinding. Karena jelas-jelas disana tidak ada ruang lagi untuk
menampung apa pun, dan siapa pun.
“Theoí na mas voíthísei.”
Gumam Oliver.
Oliver kembali kepadaku. Ia mengambil pedangku yang kini
sudah berubah menjadi batu juga seperti aku.
Oliver mencoba memukul-mukul dinding gua dengan pedang.
Dan tidak ada yang terjadi kecuali lengannya kelelahan.
Aku melihat Oliver mendekatkan mata pedang batu itu ke
telapak tangannya. Apa yang akan ia lakukan? Tak usah menunggu lama,
pertanyaanku langsung terjawab. Oliver menggores telapak tangannya sendiri. Ih,
aku ngga kuat ngeliatnya. Tapi aku ngga bisa berkedip.
Darah mengucur cukup deras dan langsung mengenai dinding
dan lantai gua yang sudah sangat kotor tanpa ditambah darah dari Oliver.
“Theoí na mas voíthísei.”
Gumam Oliver sambil menyebarkan darahnya ke segala sudut dinding gua.
Oliver merintih kesakitan. Tangannya tergolek lemah ke
arahku. Ugh, sebuah sayatan yang cukup lebar membuat hatiku merinding—kalau aku
ngga jadi batu, mungkin seluruh rambut di tubuhku berdiri. Tapi ada hal aneh
yang terjadi selanjutnya.
Dinding gua perlahan mulai luntur. Seperti lilin yang
dibakar api. Walaupun lelehannya tidak memadat lagi melainkan berubah menjadi
uap yang sepertinya baunya lebih busuk dari kotoran kelelawar. Aku bisa melihat
uapnya berwarna kuning kehijauan.
Oliver masih terduduk lemah di lantai gua. Ternyata dia
lupa kalau lantai gua itu sangat amat kotor sekali. Pada situasi lain, mungkin
aku akan menganggapnya jorok. Tapi untuk saat ini, aku akan memaklumi.
Tiba-tiba jaring petir yang sejak tadi menerangi seluruh
lubang gua padam seketika. Yang bisa kulihat hanyalah satu warna yang membuatku
sakit kepala. Hitam. Tapi tak lama kok. Karena detik berikutnya aku melihat
cahaya yang lebih terang dari jaring petir tadi. Datangnya tepat dari dinding
yang baru saja meleleh. Itukah Athena?
Cantik. Mungkin itu adalah satu kata simpel yang bisa
menggambarkan bagaimana rupa Athena. Walaupun sebenarnya, kata luar biasa,
menakjubkan, atau spektakuler lebih cocok untuknya. Dari ujung rambut hingga
jempol kaki tampak sangat sempurna dan bercahaya.
“Gratias tibi, Oliver.” Ucap Athena sambil membantu
Oliver berdiri, dan mengayunkan tangannya dengan lembut ke telapak tangan Oliver
yang kemudian terbalut perban dengan rapi.
“Duis te, mater.” Ucap Oliver.
Aku baru sadar Oliver sangat mahir berbicara bahasa
Latin. Tapi aku tidak iri padanya, sebab, sulit sekali belajar bahasa latin.
Belum lagi tulisannya. Aku lebih memilih bahasa Arab daripada Latin.
Athena berjalan ke arahku dengan langkahnya yang ringan
dan anggun. Athena pasti akan membuat semua wanita ingin menjadi seperti
dirinya. Cantik, ramah, berani, pintar dan kuat. Uuhhhh...
Sang Dewi berhenti tepat di depan wajahku. Ia meneliti
wajahku dengan seksama dan mengacungkan tangannya ke hidungku. Lalu aku tidak
ingat lagi apa yang ia lakukan kepadaku. Karena aku tiba-tiba saja tak sadarkan
diri.
Previous: