Delmora The Ocean’s Princess
Created By:
Safitri
Tsa’niyah
Bab 6
Berburu Ular
“Baiklah, Ma. Aku mau keluar cari makan. Mama
istirahatlah duluan.” Ucap Oliver.
“Mama hampir lupa kamu ini manusia yang membutuhkan
makanan. Pergilah, isi perut dan tenagamu. Aku akan menunggu kamu kembali
bersama gadis itu.” Medusa berkata ceria.
Tak bisakah Medusa membaca pikiran? Tidak. Sebab kalau
ya, dia pasti sudah murka karena tahu Oliver tahu dia bukan Athena. Tapi sampai
sekarang dia masih berpura-pura menjadi Athena.
Tak sampai sepuluh detik berikutnya, Oliver sudah sampai
di depan pintu dan langsung menyapaku dengan suara hampir seperti bisikan.
Anehnya, aku mendengar sebuah desisan aneh di sekitarku.
“Ayo kita makan malam, Delmora. Aku tahu kamu lapar.”
Ajak Oliver sambil menggandengku meninggalkan rumahnya.
Desisan itu semakin keras kudengar. Tapi dari mana?
Kami berhenti di sebuah warung makan pecel ayam. Aku
memang lapar sekali. Mengingat tadi sebelum kabur aku tidak sempat makan apapun
dari rumah. Dan ini sudah larut. Perutku pantas mendapatkan haknya sekarang.
“Kamu ngga makan, Oliver?” Tanyaku.
Oliver hanya memesan satu porsi untukku. Padahal pasti
dia juga belum makan malam.
“Aku ngga lapar.” Jawab Oliver. “Kamu makan aja. Setelah
itu kita ke rumahku lagi. Mama mau ketemu sama kamu.”
Kenapa deh Oliver ini? Kenapa dia aneh? Bukannya tadi
kita udah susun rencana buat bunuh Medusa? Kenapa dia malah mau bawa aku masuk
gitu aja ke Medusa? Kita berdua bisa jadi patung batu.
“Ada masalah, Oliver?” Tanyaku ragu-ragu.
“Apa maksud kamu? Aku gapapa. Hanya aja, mamaku pengen
ketemu kamu.”
“Tapi apa kamu lupa sama rencana kita?”
“Ada perubahan rencana, sayang.” Oliver berkata dengan
cengiran menghiasi wajahnya yang kini tampak ganjil? “Athena selalu punya
rencana.”
“Baiklah.” Ucapku nurut.
Setelah aku menghabiskan makananku, kami pun berjalan
kembali ke rumah Oliver. Aku merasa takut. Biasanya jika sudah berada di dekat
Oliver, rasa takutku hilang. Tapi aku justru lebih ketakutan berada di
dekatnya. Aku mendengar desisan itu lagi.
Oliver membuka pintu rumahnya perlahan dan memaksaku
melihat isi di dalam rumah itu. Daann..
Ada dua Oliver.
Kepalaku mulai bingung. Manakah Oliver yang asli pacarku?
Yang sedang terikat di bangku atau yang ada di sebelahku? Lalu Oliver yang
diikat di bangku berteriak. “Delmora! Jangan lihat dia!!”
Tanpa sadar, aku bukannya menuruti perintah Oliver yang
terikat di bangku itu, aku justru secara refleks mengeluarkan pedangku dan
menebas udara di sebelah kananku. Tepat mengenai leher Oliver—yang tadinya
leher Oliver. Karena tiba-tiba saja aku sudah menebas mati Medusa. Tapi
sialnya, aku sempat melihat mata yang abu-abu kelam penuh kebencian milik
mantan pacar ayahku itu. Tubuhku pun mulai kaku dan detik berikutnya aku tidak
bisa merasakan lagi seluruh bagian tubuh yang kupunya.
“Delmora!” Aku mendengar Oliver memanggil namaku. Aku
mendengarnya. Tapi aku ngga bisa balas bicara atau menggerakkan bola mataku
untuk menatapnya.
“Delmora maafkan aku.” Ucap Oliver lagi.
Lalu kedengarannya Oliver menarik sesuatu dari lemarinya
untuk menutupi mata Medusa.
“Delmora, ini semua salahku.” Oliver mulai
menangis—sepertinya di kakiku.
==
Ini adalah hari ke lima aku menjadi patung batu kutukan
Medusa. Aku tahu Medusa tidak akan mati selamanya. Tapi aku tahu, aku akan
menjadi batu selamanya. Medusa itu iblis. Sedangkan aku kan hanya manusia
biasa. Nyawaku hanya satu dalam hidup ini. Kecuali aku benar-benar sudah mati,
mungkin Hades akan memperhitungkan aku untuk dilahirkan kembali dan aku akan
menuju Elysium untuk direinkarnasi. Tapi jiwaku masih tetap berada pada tubuhku
yang sudah membatu ini.
Aku tinggal di rumah Oliver sejak diubah oleh Medusa.
Tapi kini ia telah memindahkanku ke kamarnya. Setiap hari Oliver selalu
bersenandung dalam bahasa yang sedikit sulit kumengerti pada awalnya. Sampai
aku baru menyadari yang ia senandungkan adalah bahasa Yunani. Kira-kira begini
kedengarannya:
Pãei dynãmeis
tou kakó
Epanèlthete
se kanonikí
Theoí na mas
voíthísei
Dióxoun
aftí i katãra
Aku ngga ngerti apa arti kata-kata itu walaupun ayahku
ngotot untuk mengajariku bahasa Yunani. Tapi aku berharap kata-kata itu adalah
semacam mantra untuk bisa mengembalikan tubuhku. Kulihat Oliver sangat sedih
semenjak aku berubah menjadi batu. Ingin rasanya aku menghapus air matanya saat
dia menangis. Tapi untuk berkedip saja, saat ini aku tidak bisa. Aku sangat
merindukan kamar mandi dan bayanganku di cermin.
Matahari mulai turun di cakrawala. Ya, berarti ini akan
menjadi keenam kalinya aku melihat matahari terbenam dari jendela kamar Oliver.
Kini matahari benar-benar telah terbenam. Lampu kamar Oliver yang belum
dinyalakan membuatku kesulitan melihat.
Aku mengucek kedua mataku dengan punggung tangan seraya
menguap. Rasanya pegaaal sekali.
Eits, tunggu.
Mengucek mata? Dan menguap?
Aku bisa bergerak?
Benarkah ini? Aku bisa bergerak?
Aku langsung meloncat dan berlari mengelilingi kamar
Oliver seperti balita yang baru saja mendapatkan permen gratis. Aku bisa
bergerak! Aku bukan batu lagi!!!
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, lampu menyala dan Oliver
masuk. Aku melihat jelas senyuman terlukis lebar di wajahnya yang super tampan
itu.
“Oliver.” Panggilku.
“Hai Delmora.”
Aku langsung berlari ke pelukannya. Aku sangat merindukan
Oliver dan semua otot yang bisa kugerakkan. Tapi begitu dalam pelukannya, aku
tidak ingin cepat-cepat beranjak.
“Aku kangen kamu.” Ucapku.
“Aku lebih kangen kamu.” Oliver membalasku sambil
mengelus lembut rambut di punggungku yang kaku.
Oliver mencium keningku.
Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Bagaimana bisa
kutukan gorgon dipunahkan? Aku melepaskan pelukan Oliver dan duduk di tepi
tempat tidur. Oliver mengikutiku.
“Oliver, bagaimana bisa kamu menghilangkan kutukan
Medusa?” Tanyaku.
“Aku hanya berdoa pada para dewa untuk mengampunimu.”
Jawab Oliver.
Aku meneliti tiap senti guratan pada wajah Oliver.
Wajahnya masih sama tampannya ketika aku melihatnya terakhir kali. Tapi kini ia
tampak lebih tua dan kelelahan. Aku lihat ia memang jadi jarang tidur dan lebih
memilih memandangi patungku sepanjang malam. Aku merasa sangat kasihan padanya.
“Apa yang kamu ucapkan pada dewa-dewa?” Tanyaku lagi.
“Hanya satu dewa yang pernah lolos dari kutukan Medusa.”
Jawab Oliver.
Aku memutar otakku. “Ibumu.” Ucapku.
“Ya. Tentu saja. Zeus selalu memaafkan kesalahan ibuku.
Bahkan dia juga membebaskan Athena dari kutukan Medusa.”
“Tapi setahuku dia tidak pernah berbelas kasihan pada
Poseidon.” Ucapku. “Ataupun anaknya.”
“Bukan Zeus yang membebaskanmu. Tapi Athena.”
“Tapi bagaimana bisa?”
“Athena memberimu kebebasan pada malam hari ketika
kekuatan bulan telah muncul dan menyinarimu. Dan ketika fajar tiba, kutukan itu
akan ada lagi.”
“Kenapa begitu?” sesuatu mengganjal lagi lubang di hatiku
yang tadinya telah luruh.
“Karena aku masih belum bisa menemukan Athena. Dia bisa
menghilangkan kutukan itu sepenuhnya, tapi aku hanya setengah Athena. Aku hanya
bisa menghilangkannya setengah.”
Jadi begitu. Ternyata yang setiap hari disenandungkan
Oliver adalah benar-benar mantra untuk membebaskanku.
“Baiklah, kalau begitu kita harus menuntaskan misi kita,
Oliver. Kita harus mencari Athena.” Ucapku.
“Aku telah berusaha mencarinya kemana-mana. Tapi aku
tetap belum mendapat petunjuk apa-apa.”
“Aku akan ikut mencari.”
“Apa?” Oliver tersentak kaget. “Apa kamu gila?”
“Ngga kok. Aku serius. Aku akan bantu cari Athena.”
“Tapi keadaan kamu—“
“Kita bisa cari di malam hari. Atau seengganya setelah
matahari tenggelam. Aku yakin kita akan temukanibu kamu, dan aku bisa balik
seperti dulu lagi.”
Oliver menatapku sejenak kemudian kembali memelukku. Aku
tahu dia mengkhawatirkan keadaanku lebih dari yang aku sendiri bisa
khawatirkan.
Kami saling berpelukan untuk beberapa
saat, lalu aku melepaskan pelukannya.
“Apa ibuku sudah tahu keadaanku
sekarang?” Tanyaku.
Oliver menggeleng.
“Baguslah kalau begitu. Aku baru akan
kasih kabar kalau kita sudah benar-benar berhasil dengan misi kita.”
“Tapi mungkin ayahmu sudah tahu.” Ucap
Oliver.
“Dia ngga akan balikan dengan Medusa.”
“Tentu. Siapa juga yang suka cewek
kasar kayak dia.”
Kami diam sejenak.
“Ayah. Dia dewa. Kita bisa minta
bantuan padanya.” Ucapku.
“Ide bagus. Kita minta bantuan
Poseidon untuk mencari Athena, musuhnya.” Oliver berkata dengan nada yang aneh.
“Oliver, siapa bilang ayahku dan ibumu
itu musuhan? Mereka hanya tidak akur. Itu saja.”
“Mungkin kamu benar, Delmora. Tapi
cara pemikiran dewa berbeda dengan kita.”
Aku mengangguk. Lalu perutku terdengar
keroncongan.
“Sepertinya kamu lapar.” Ucap Oliver.
“Sangat.” Ucapku.
“Ayo kita ke dapur dan temukan sesuatu
untuk dimakan. Sepertinya masih ada beberapa bahan makanan di kulkas.” Ajak
Oliver. “Kamu bisa masak kan? Waktu itu kamu berlatih dengan ibumu.”
Aku tertawa kecil. “Sebenarnya waktu
itu aku ngga berlatih masak. Tapi—“
“Berenang atau kegiatan air lainnya
bersama Poseidon.” Potong Oliver.
“Ya.” Ucapku. “Maaf karena bohong sama
kamu.”
“Gapapa kok.” Oliver kembali
melayangkan senyuman termanisnya padaku.
“Ayo kita makan. Lima hari tanpa makan
dan minum.” Aku merangkul Oliver dan mengajaknya ke dapur. Aku memang sangat
merindukan makanan.
==
Semalam aku menghabiskan waktu bersama
Oliver sampai pagi menjelang. Kami sepakat untuk mulai pencarian Athena pada
malam berikutnya. Oliver butuh istirahat yang cukup sebelum berangkat, dan aku
pun akan istirahat selagi kembali ke bentuk patungku. Saat jam di dinding
menunjukkan pukul lima, kami bersiap pergi tidur. Kembali ke kamar Oliver dan
kami berbaring bersampingan—tidak ada salahnya tidur bersama sebuah patung,
kan? Dan ketika matahari terbit, tubuhku mulai kaku lagi.
“Dah Oliver.” Ucapku sebelum batu
merayap ke mulutku.
“Sampai ketemu, sayang.” Balas Oliver
lalu yang terakhir kulihat, dia tertidur bersandar padaku.