Puluhan cowok
berseragam SMA saling beradu
pukul. Wajah mereka mulai
berwarna biru lebam. Darah mengalir dari hidung dan mulut. Sampai akhirnya
mereka lari menyebar karena sirine mobil polisi terdengar mendekat.
Ardi,
salah satu siswa yang berhasil kabur dari kejaran polisi hari itu. Memang dia
sudah sering tawuran dan juga sering merasakan berada di balik jeruji sel
penjara untuk beberapa hari. Tapi hal itu tak kerap membuatnya jera, justru ia
semakin bersemangat untuk melakukan tawuran lagi dan lagi. Namun kali ini ia
bebas dengan keadaan yang tidak baik.
Dengan
langkah biasa, Dania menyusuri jalan pulangnya. Tapi tiba-tiba ada yang membuat
langkahnya terhenti. Tanpa banyak berpikir, ia langsung menghampiri Si korban
yang kini tergeletak tak sadarkan diri. Teman sekelasnya, Ardi.
==
Ardi
merasakan nyeri di kepalanya. Ia mulai membuka mata dan menemui dirinya
terbaring di atas tempat tidur yang tak ia kenali. Tiba-tiba sebuah tangan menyodorkan
segelas air kepadanya. Tangan itu milik seorang gadis kecil dengan rambut
sepanjang bahu yang dibiarkannya terurai.
“Gue
dimana?” Tanya Ardi sinis.
Si
gadis kecil hanya tersenyum.
Ardi
yang kesal pertanyaannya tak dijawab, menggeram.
“Lo
gak denger, Dek? Gue tanya, gue dimana? Lo siapa?!”
Gadis
kecil itu langsung gemetar dan lari keluar kamar karena ketakutan. Selang
beberapa detik, gadis lain seumuran Ardi, masuk.
“Elo..?
Gue dimana?”
“Rumah
gue.”
Ardi
mencoba mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Terakhir kali ia ingat,
kepalanya membentur tanah dan ia tak sadarkan diri.
==
Esoknya ..
“Abaaaang!!!
Bangun!!” Teriak Dania di samping telinga Ardi.
Ardi
menengok jam di dinding. “Empat-empat puluh. Lo gila ya bangunin gue jam segini?
Ini kan hari Minggu.”
“Sholat
gak ada liburnya. Ayo cepet bangun. Dalam hitungan ketiga, kalo lo masih gak
mau bangun juga,
gue sabet lo.”
“Kalo
berani..” Ucapnya meledek dari balik selimut.
“Satu..
dua.. tiga..” PTAAAKK... Sebuah sabetan lidi mengenai permukaan kulit Ardi.
“Auwww!!!”
Ardi langsung terduduk di atas tempat tidur sambil mengelus-elus lengannya. “Dasar
cewek gila! Sakit tau.”
“Udah
ayo cepetan sholat.”
Ardi
melihat ke sekeliling rumah. Ukurannya terlalu besar untuk rumah tinggal. Orang-orang
disini pun lebih banyak dan tidak semuanya sempurna. Ia berpapasan dengan
seorang bocah laki-laki
berkepala plontos yang berjalan dengan dibantu kursi roda. Tubuh bocah itu
tampak kuning dan ada benjolan besar di atas perutnya.
“Eh,
ini bener rumah lo? Mereka semua siapa?”
“Iye,
Bang. Mereka sodara gue.”
“Cewek
yang tadi malem itu siapa? Dia gak sopan banget sih. Gue nanya gak dijawab.”
“Namanya
Keysa. Lo tuh Bang yang gak sopan. Dia ampe nangis ketakutan gara-gara lo
bentak. Padahal dia yang nemenin lo terus.”
Setelah
sholat shubuh, Ardi kembali bertanya pada Dania.
“Orang tua lo mana? Gue
tau Umi sama Abi
bukan orang tua kandung lo.”
“Gak
semua orang bisa tinggal sama orang tuanya terus, Bang”
Ardi
keluar dari rumah Dania. Dan persis di depan rumah tersebut, terdapat plang
besar bertuliskan: “RUMAH ANAK SEHAT”
==
“Dania!”
Dengan
perasaan bingung bercampur kaget, Dania menoleh ke arah datangnya suara.
Ternyata ingatannya benar, suara itu milik Ardi. Tapi janggal rasanya ia
memanggil namanya.
“Lo
manggil gue, Bang?” Tanya Dania ketika Ardi telah berhasil merendengi jalannya.
“Iya,
lah. Lo mau gak pulang bareng sama gue?”
“Tumben
banget, kesambet setan apaan lo?”
“Gue
Cuma mau balas budi doang kok. Kemaren kan lo udah nolongin gue.”
Untuk
pertama kalinya, Dania pulang bareng Ardi. Tanpa ia sadari ada seorang cewek
yang geram melihatnya. Cewek itu bernama Nina, mantan pacar Ardi.
Tak
lebih dari tiga puluh menit perjalanan, mereka tiba di pelataran RAS.
“Mau
mampir gak lo, Bang?”
“Emangnya
boleh?”
“Asal
jangan lo ajak berantem aja adek-adek gue.”
Mereka
tiba pada halaman belakang RAS yang asri dan luas. Disana banyak anak-anak yang
sedang berlarian dan bermain riang dengan berbagai kekurangannya.
Dania
mulai mengenalkan Ardi berkenalan pada adik-adiknya. "Cewek yang rambut
ikal itu namanya Fanisa, dia tuna netra. Kalo cowok yang di kursi roda itu
namanya Tyas, dia kena kanker hati beberapa tahun lalu." Dania menunjuk bocah
laki-laki botak kuning yang berjalan dengan bantuan kursi roda.
Lalu
seorang gadis melintas di tengah obrolan mereka.
“Hai
Keysa.” Sapa Ardi ramah.
Keysa
tersenyum dengan agak takut sambil bersembunyi di balik tubuh Dania.
“Maafin
Kakak kemarin ya, Kakak pasti buat kamu ketakutan banget deh. Ini buat kamu.”
Ardi memberikan sebatang
cokelat kepada
Keysa.
Keysa
menerimanya dengan senyum yang lebar. Ia menengok ke arah Dania. Lalu mulai
menggerakkan tangan dan mimik wajahnya.
“Kak
Ardi.” Jawab Dania.
Keysa
menjabat tangan Ardi lalu pergi. “Sekarang gue ngerti. Dia tunawicara, ya?”
Dania
mengangguk pelan.
“RAS
itu semacam.. ee.. mm..?”
“Panti
Asuhan? Bukan. Mereka semua yang disini pasien, Bang. Mereka sendirian. Orang
tua mereka gak punya biaya untuk berobat. Jadi mereka ditahan sama rumah sakit
sampe orang tua mereka nebus. Sayangnya mereka nunggu terlalu lama.”
Ardi
terdiam, menatap ke arah anak-anak itu.
“Emm..
Dan. Gue mau nanya satu hal sama lo. Tapi lo jangan marah, ya?”
Dania
mengangguk.
“Kalo
lo sakit apa?”
“Gue
leukemia, Bang. Itu alesan gue pindah ke Jakarta. Karna di daerah belum ada
pengobatan yang aksesnya segampang disini.” Ucap Dania tanpa malu.
Ardi
speechless mendengar pernyataan cewek di sampingnya. Cewek yang begitu ceria, cerewet dan
petakilan itu ternyata mengidap salah satu penyakit kanker yang bisa
membunuhnya kapan saja.
“Orang
tua kandung lo
kemana?”
“Mereka
udah cerai dan gak ada yang mau ngerawat gue. Akhirnya untuk beberapa bulan gue
tinggal sama tante gue. Tapi lama-lama gue gak enak. Karna tante sama om gue
sering gue denger berantem debatin biaya pengobatan gue. Akhirnya gue nekat
buat ke Jakarta.”
“Sorry,
Dan. Selama ini gue udah salah nilai lo. Gue kira lo itu cuma cewek
pengganggu yang gak tau gimana rasanya sendirian. Tapi ternyata gue jauh lebih
beruntung karna orang tua gue masih ada buat gue.”
“Gue
selalu mikir apa rasanya jadi mereka, Bang. Kalo gue jadi mereka, mungkin gue
gak bisa se-ceria mereka. Hidup seakan gak punya beban dan masalah. Yaa,,
walaupun hidup gue gak akan lama lagi.”
Ardi
terdiam. Semua yang diucapkan Dania benar. Bodohnya selama bertahun-tahun ia
melakukan kesalahan dengan menyia-nyiakan semua yang telah diberikan orang
tuanya. Ia memang jarang bertemu mereka, tapi setidaknya ia tahu bahwa mereka
masih ada dan masih menyayanginya.
==
Esoknya setelah
pulang sekolah, tiba-tiba sepasang tangan menarik erat lengannya dan
menyeretnya ke dalam toilet cewek.
“Eh, apa-apaan
nih?” Ucap Dania setengah berteriak.
Lalu
seorang cewek yang tampaknya menjadi pemimpin di kelompok itu berjalan
mendekati wajah Dania, sementara empat orang lainnya memegangi tubuh Dania
hingga tak ada yang bisa ia lakukan selain bernafas.
“Kenapa
sih lo semua?” Tanya Dania, berteriak.
“Gak
ngerasa bersalah lo udah jalan ama cowok gue?!”
“Cowok
lo?” Dania bingung. Seingatnya, ia tak pernah mengganggu hubungan siapa pun.
“Udah
deh, mending kita buka aja jilbabnya, sekalian cemplungin kepalanya ke bak.”
Ucap salah satu dari mereka.
Mereka
melepas jilbab Dania. Dan betapa kagetnya mereka ketika melihat tak ada sehelai
pun rambut yang tumbuh di atas
kepala Dania. Dania langsung meneteskan air mata. Sementara mereka malah
tertawa kegirangan melihat pemandangan yang mengejutkan ini.
“Haha,
lo botak!!” Ucap Si pemimpin.
Mereka
semua tertawa keras.
Dania kedinginan
dan pusing. Wajah dan
tubuhnya pucat sekali. Kelima cewek itu masih terus menyirami Dania sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba seseorang masuk ke toilet.
Ardi
melihat sekeliling. Ada seorang cewek yang ditutup-tutupi dari pandangannya. Ia
mengenali tas yang saat itu dipegang oleh salah satu teman Nina.
“Dania?”
Ucapnya kaget sambil menerobos tubuh Nina dengan perasaan panik bukan main. Ia memegang
Dania. Tubuh Dania sedingin es, darah mulai keluar dari hidungnya. Seketika itu
juga amarah Ardi
meledak.
“Eh!
Maksud lo semua apa?! Kenapa lo giniin Dania?!” Teriaknya.
Tak
satu pun dari mereka berani menjawab.
==
Dania
kritis, dari RAS dia langsung dirujukkan ke rumah sakit. Keadaannya parah.
Sudah tiga hari ia dirawat di ruang ICU. Namun sampai saat ini ia
belum juga sadarkan diri.
“Dania,
cepet sembuh ya.” Ucap Ardi yang setia menunggui Dania.
Sudah
hari kelima dan Dania masih belum membuka matanya. Hanya, ia sudah dipindahkan
ke ruang rawat inap.
Tiba-tiba
seorang dokter masuk ke kamar Dania.
==
Siang
ini, Dania
pulang ke RAS. Ketika ia memasuki aula RAS, semua saudaranya menyambut dengan
meriah. Fanisa dan Tyas berlari dan memeluk tubuh mungil Dania.
“Tyas? Fani? Kalian udah
sembuh?” Ucap Dania, senang. Melihat Tyas tak lagi buncit dan kuning.
“Iya
kak. Sekarang aku udah bisa jalan dengan kaki aku.” Ucap Tyas.
“Ternyata
Kak Dania secantik suaranya, ya.” Ucap Fanisa.
Dania
tersenyum bahagia. Tapi terasa ada yang kurang.
“Abang
mana, Mi?” Tanya Dania pada Umi.
“Kamu
beresin barang-barang ke
kamar dulu gih.” Jawab Umi.
Setelah
tiba di kamarnya, Umi memberikan secarik surat pada Dania. Perlahan, ia mulai
membaca surat itu:
Dear
Dania,
Gue tau tubuh ini udah gak orisinil. Udah banyak zat-zat
aneh yang masuk. Rokok, obat, alkohol. Tapi, semoga bagian tubuh yang masih
jalan dan berfungsi ini masih kerja sesuai yang seharusnya.
Sampein ke Fanisa ya, semoga dia bisa
memakai mata ini lebih baik dari gue, bukan untuk ngeliat hal buruk, tapi untuk
nikmatin keindahan dunia yang belum pernah dia liat beberapa
tahun ini. Buat Tyas, semoga dia bisa menjaga hati ini sebersih hati lo.
Dan buat lo, semoga beberapa ml sumsum tulang belakang gue bisa memperlambat leukosit yang ganas di tubuh lo.
Makasih dari awal lo hadir lo selalu menghadirkan kasih sayang buat gue.
Lo bikin gue sadar betapa pentingnya arti kehidupan
Lo bikin gue sadar kalo kita gak pernah hidup sendirian, sesering apa pun
kita ditinggal sendirian.
Kalo kita punya waktu lebih lama untuk sama-sama, gue gak pengen kepisah
dari lo, Dan. Karna cuma sama lo, gue bisa berbagi kehidupan. Walaupun akhirnya
lo harus jalanin kehidupan tanpa gue. Gue disini akan selalu berdoa untuk lo.
Jangan pernah berhenti tersenyum ya, Dania..
Gue sayang sama lo..
With Love,
Ardi. <3
Tetesan air
matanya membasahi surat dari Ardi itu. Dengan perasaan miris, Dania mencoba
menerima bahwa Ardi telah tiada. Ia juga menyayangi Ardi. Tapi ia tahu, Ardi
mengorbankan diri bukan untuk melihatnya bersedih.
“Makasih
banyak ya, Abang. Lo yang tenang disana. Gue juga sayang sama lo..”
With Smile
--D Ark R Ain Bow--
0 comment:
Posting Komentar
Come share to us !!