Jumat, 03 Januari 2014

The Reason


            Puluhan cowok berseragam SMA saling beradu pukul. Wajah mereka mulai berwarna biru lebam. Darah mengalir dari hidung dan mulut. Sampai akhirnya mereka lari menyebar karena sirine mobil polisi terdengar mendekat.
            Ardi, salah satu siswa yang berhasil kabur dari kejaran polisi hari itu. Memang dia sudah sering tawuran dan juga sering merasakan berada di balik jeruji sel penjara untuk beberapa hari. Tapi hal itu tak kerap membuatnya jera, justru ia semakin bersemangat untuk melakukan tawuran lagi dan lagi. Namun kali ini ia bebas dengan keadaan yang tidak baik.
            Dengan langkah biasa, Dania menyusuri jalan pulangnya. Tapi tiba-tiba ada yang membuat langkahnya terhenti. Tanpa banyak berpikir, ia langsung menghampiri Si korban yang kini tergeletak tak sadarkan diri. Teman sekelasnya, Ardi.
==
            Ardi merasakan nyeri di kepalanya. Ia mulai membuka mata dan menemui dirinya terbaring di atas tempat tidur yang tak ia kenali. Tiba-tiba sebuah tangan menyodorkan segelas air kepadanya. Tangan itu milik seorang gadis kecil dengan rambut sepanjang bahu yang dibiarkannya terurai.
            “Gue dimana?” Tanya Ardi sinis.
            Si gadis kecil hanya tersenyum.
            Ardi yang kesal pertanyaannya tak dijawab, menggeram.
            “Lo gak denger, Dek? Gue tanya, gue dimana? Lo siapa?!”
            Gadis kecil itu langsung gemetar dan lari keluar kamar karena ketakutan. Selang beberapa detik, gadis lain seumuran Ardi, masuk.
            “Elo..? Gue dimana?”
            “Rumah gue.”
            Ardi mencoba mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Terakhir kali ia ingat, kepalanya membentur tanah dan ia tak sadarkan diri.
==
Esoknya ..
            “Abaaaang!!! Bangun!!” Teriak Dania di samping telinga Ardi.
            Ardi menengok jam di dinding. “Empat-empat puluh. Lo gila ya bangunin gue jam segini? Ini kan hari Minggu.”
            “Sholat gak ada liburnya. Ayo cepet bangun. Dalam hitungan ketiga, kalo lo masih gak mau bangun juga, gue sabet lo.”
            “Kalo berani..” Ucapnya meledek dari balik selimut.
            “Satu.. dua.. tiga..” PTAAAKK... Sebuah sabetan lidi mengenai permukaan kulit Ardi.
            “Auwww!!!” Ardi langsung terduduk di atas tempat tidur sambil mengelus-elus lengannya. “Dasar cewek gila! Sakit tau.”
            “Udah ayo cepetan sholat.”
            Ardi melihat ke sekeliling rumah. Ukurannya terlalu besar untuk rumah tinggal. Orang-orang disini pun lebih banyak dan tidak semuanya sempurna. Ia berpapasan dengan seorang bocah laki-laki berkepala plontos yang berjalan dengan dibantu kursi roda. Tubuh bocah itu tampak kuning dan ada benjolan besar di atas perutnya.
            “Eh, ini bener rumah lo? Mereka semua siapa?”
            “Iye, Bang. Mereka sodara gue.”
            “Cewek yang tadi malem itu siapa? Dia gak sopan banget sih. Gue nanya gak dijawab.”
            “Namanya Keysa. Lo tuh Bang yang gak sopan. Dia ampe nangis ketakutan gara-gara lo bentak. Padahal dia yang nemenin lo terus.”
            Setelah sholat shubuh, Ardi kembali bertanya pada Dania.
            “Orang tua lo mana? Gue tau Umi sama Abi bukan orang tua kandung lo.”
            “Gak semua orang bisa tinggal sama orang tuanya terus, Bang”
            Ardi keluar dari rumah Dania. Dan persis di depan rumah tersebut, terdapat plang besar bertuliskan: “RUMAH ANAK SEHAT”
==
            “Dania!”
            Dengan perasaan bingung bercampur kaget, Dania menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata ingatannya benar, suara itu milik Ardi. Tapi janggal rasanya ia memanggil namanya.
            “Lo manggil gue, Bang?” Tanya Dania ketika Ardi telah berhasil merendengi jalannya.
            “Iya, lah. Lo mau gak pulang bareng sama gue?”
            “Tumben banget, kesambet setan apaan lo?”
            “Gue Cuma mau balas budi doang kok. Kemaren kan lo udah nolongin gue.”
            Untuk pertama kalinya, Dania pulang bareng Ardi. Tanpa ia sadari ada seorang cewek yang geram melihatnya. Cewek itu bernama Nina, mantan pacar Ardi.
            Tak lebih dari tiga puluh menit perjalanan, mereka tiba di pelataran RAS.
            “Mau mampir gak lo, Bang?”
            “Emangnya boleh?”
            “Asal jangan lo ajak berantem aja adek-adek gue.”
            Mereka tiba pada halaman belakang RAS yang asri dan luas. Disana banyak anak-anak yang sedang berlarian dan bermain riang dengan berbagai kekurangannya.
            Dania mulai mengenalkan Ardi berkenalan pada adik-adiknya. "Cewek yang rambut ikal itu namanya Fanisa, dia tuna netra. Kalo cowok yang di kursi roda itu namanya Tyas, dia kena kanker hati beberapa tahun lalu." Dania menunjuk bocah laki-laki botak kuning yang berjalan dengan bantuan kursi roda.
            Lalu seorang gadis melintas di tengah obrolan mereka.
            “Hai Keysa.” Sapa Ardi ramah.
            Keysa tersenyum dengan agak takut sambil bersembunyi di balik tubuh Dania.
            “Maafin Kakak kemarin ya, Kakak pasti buat kamu ketakutan banget deh. Ini buat kamu.” Ardi memberikan sebatang cokelat kepada Keysa.
            Keysa menerimanya dengan senyum yang lebar. Ia menengok ke arah Dania. Lalu mulai menggerakkan tangan dan mimik wajahnya.
            “Kak Ardi.” Jawab Dania.
            Keysa menjabat tangan Ardi lalu pergi. “Sekarang gue ngerti. Dia tunawicara, ya?”
            Dania mengangguk pelan.
            “RAS itu semacam.. ee.. mm..?”
            “Panti Asuhan? Bukan. Mereka semua yang disini pasien, Bang. Mereka sendirian. Orang tua mereka gak punya biaya untuk berobat. Jadi mereka ditahan sama rumah sakit sampe orang tua mereka nebus. Sayangnya mereka nunggu terlalu lama.”
            Ardi terdiam, menatap ke arah anak-anak itu.
            “Emm.. Dan. Gue mau nanya satu hal sama lo. Tapi lo jangan marah, ya?”
            Dania mengangguk.
            “Kalo lo sakit apa?”
            “Gue leukemia, Bang. Itu alesan gue pindah ke Jakarta. Karna di daerah belum ada pengobatan yang aksesnya segampang disini.” Ucap Dania tanpa malu.
            Ardi speechless mendengar pernyataan cewek di sampingnya. Cewek yang begitu ceria, cerewet dan petakilan itu ternyata mengidap salah satu penyakit kanker yang bisa membunuhnya kapan saja.
            “Orang tua kandung lo kemana?”
            “Mereka udah cerai dan gak ada yang mau ngerawat gue. Akhirnya untuk beberapa bulan gue tinggal sama tante gue. Tapi lama-lama gue gak enak. Karna tante sama om gue sering gue denger berantem debatin biaya pengobatan gue. Akhirnya gue nekat buat ke Jakarta.”
            “Sorry, Dan. Selama ini gue udah salah nilai lo. Gue kira lo itu cuma cewek pengganggu yang gak tau gimana rasanya sendirian. Tapi ternyata gue jauh lebih beruntung karna orang tua gue masih ada buat gue.”
            “Gue selalu mikir apa rasanya jadi mereka, Bang. Kalo gue jadi mereka, mungkin gue gak bisa se-ceria mereka. Hidup seakan gak punya beban dan masalah. Yaa,, walaupun hidup gue gak akan lama lagi.”
            Ardi terdiam. Semua yang diucapkan Dania benar. Bodohnya selama bertahun-tahun ia melakukan kesalahan dengan menyia-nyiakan semua yang telah diberikan orang tuanya. Ia memang jarang bertemu mereka, tapi setidaknya ia tahu bahwa mereka masih ada dan masih menyayanginya.
==
Esoknya setelah pulang sekolah, tiba-tiba sepasang tangan menarik erat lengannya dan menyeretnya ke dalam toilet cewek.
“Eh, apa-apaan nih?” Ucap Dania setengah berteriak.
            Lalu seorang cewek yang tampaknya menjadi pemimpin di kelompok itu berjalan mendekati wajah Dania, sementara empat orang lainnya memegangi tubuh Dania hingga tak ada yang bisa ia lakukan selain bernafas.
            “Kenapa sih lo semua?” Tanya Dania, berteriak.
            “Gak ngerasa bersalah lo udah jalan ama cowok gue?!”
            “Cowok lo?” Dania bingung. Seingatnya, ia tak pernah mengganggu hubungan siapa pun.
            “Udah deh, mending kita buka aja jilbabnya, sekalian cemplungin kepalanya ke bak.” Ucap salah satu dari mereka.
            Mereka melepas jilbab Dania. Dan betapa kagetnya mereka ketika melihat tak ada sehelai pun rambut yang tumbuh di atas kepala Dania. Dania langsung meneteskan air mata. Sementara mereka malah tertawa kegirangan melihat pemandangan yang mengejutkan ini.
            “Haha, lo botak!!” Ucap Si pemimpin.
            Mereka semua tertawa keras.
Dania kedinginan dan pusing. Wajah dan tubuhnya pucat sekali. Kelima cewek itu masih terus menyirami Dania sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba seseorang masuk ke toilet.
            Ardi melihat sekeliling. Ada seorang cewek yang ditutup-tutupi dari pandangannya. Ia mengenali tas yang saat itu dipegang oleh salah satu teman Nina.
            “Dania?” Ucapnya kaget sambil menerobos tubuh Nina dengan perasaan panik bukan main. Ia memegang Dania. Tubuh Dania sedingin es, darah mulai keluar dari hidungnya. Seketika itu juga amarah Ardi meledak.
            “Eh! Maksud lo semua apa?! Kenapa lo giniin Dania?!” Teriaknya.
            Tak satu pun dari mereka berani menjawab.
==
            Dania kritis, dari RAS dia langsung dirujukkan ke rumah sakit. Keadaannya parah. Sudah tiga hari ia dirawat di ruang ICU. Namun sampai saat ini ia belum juga sadarkan diri.
            “Dania, cepet sembuh ya.” Ucap Ardi yang setia menunggui Dania.
            Sudah hari kelima dan Dania masih belum membuka matanya. Hanya, ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap.
            Tiba-tiba seorang dokter masuk ke kamar Dania.
==
            Siang ini, Dania pulang ke RAS. Ketika ia memasuki aula RAS, semua saudaranya menyambut dengan meriah. Fanisa dan Tyas berlari dan memeluk tubuh mungil Dania.
            “Tyas? Fani? Kalian udah sembuh?” Ucap Dania, senang. Melihat Tyas tak lagi buncit dan kuning.
            “Iya kak. Sekarang aku udah bisa jalan dengan kaki aku.” Ucap Tyas.
            “Ternyata Kak Dania secantik suaranya, ya.” Ucap Fanisa.
            Dania tersenyum bahagia. Tapi terasa ada yang kurang.
            “Abang mana, Mi?” Tanya Dania pada Umi.
            “Kamu beresin barang-barang ke kamar dulu gih.” Jawab Umi.
            Setelah tiba di kamarnya, Umi memberikan secarik surat pada Dania. Perlahan, ia mulai membaca surat itu:
Dear Dania,
Gue tau tubuh ini udah gak orisinil. Udah banyak zat-zat aneh yang masuk. Rokok, obat, alkohol. Tapi, semoga bagian tubuh yang masih jalan dan berfungsi ini masih kerja sesuai yang seharusnya.
Sampein ke Fanisa ya, semoga dia bisa memakai mata ini lebih baik dari gue, bukan untuk ngeliat hal buruk, tapi untuk nikmatin keindahan dunia yang belum pernah dia liat beberapa tahun ini. Buat Tyas, semoga dia bisa menjaga hati ini sebersih hati lo.
Dan buat lo, semoga beberapa ml sumsum tulang belakang gue bisa memperlambat leukosit yang ganas di tubuh lo. Makasih dari awal lo hadir lo selalu menghadirkan kasih sayang buat gue.
Lo bikin gue sadar betapa pentingnya arti kehidupan
Lo bikin gue sadar kalo kita gak pernah hidup sendirian, sesering apa pun kita ditinggal sendirian.
Kalo kita punya waktu lebih lama untuk sama-sama, gue gak pengen kepisah dari lo, Dan. Karna cuma sama lo, gue bisa berbagi kehidupan. Walaupun akhirnya lo harus jalanin kehidupan tanpa gue. Gue disini akan selalu berdoa untuk lo.
Jangan pernah berhenti tersenyum ya, Dania..
Gue sayang sama lo..
With Love,
Ardi.  <3
            Tetesan air matanya membasahi surat dari Ardi itu. Dengan perasaan miris, Dania mencoba menerima bahwa Ardi telah tiada. Ia juga menyayangi Ardi. Tapi ia tahu, Ardi mengorbankan diri bukan untuk melihatnya bersedih.

            “Makasih banyak ya, Abang. Lo yang tenang disana. Gue juga sayang sama lo..”

With Smile
--D Ark R Ain Bow--

0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!