Delmora The Ocean’s Princess
Created By:
Safitri
Tsa’niyah
Bab 11
Boa Kelelawar
Hantu
Aku dan Oliver melanjutkan perjalanan
menyusuri gua. Suhu disini sungguh dingin. Langkah-langkah kami pun ramai
karena di pantulkan gema. Sebenarnya gua ini cukup besar, tapi banyaknya
stalaktit dan stalagmit yang bertebaran di langit-langitnya membuat gua ini
akan sulit dilalui orang yang jangkung. Baunya pun basah dan lembab. Lantainya
penuh dengan kotoran kelelawar.
“Berapa jauh lagi kita berjalan?”
Tanya Oliver.
“Entahlah. Ferus ngga ngasih tahu
apa-apa.” Jawabku.
Setelah sepuluh langkah lagi berjalan,
tiba-tiba aku mendengar suara desisan yang tidak asing di telingaku. Ular.
Aku dan Oliver saling menatap seakan
takut salah satu dari kami tiba-tiba dilahap ular. Aku mengarahkan pedangku ke
kanan dan ke kiri mencari sumber suara. Tapi tetap tak tampak apa pun yang
menyebabkan desisan itu.
“Oliver, jangan injak kakiku.” Ucapku.
Karena aku merasa kakiku menjadi berat.
“Aku tidak menginjak kakimu.” Ucap
Oliver.
Refleks, aku langsung mengarahkan
pedangku ke kaki dan membiarkan cahayanya menyinari lantai gua.
SSSSHHHHHHH.
Sekitar sepuluh ular Boa sedang tidur
nyenyak melingkarkan tubuhnya bagai bantal bulu yang empuk. Aku mendekap mulut
dengan buku tangan menahan suara dan nafasku. Aku hampir menangis.
“Mereka sedang tidur.” Ucap Oliver
dalam bisikan.
Aku mengangguk ketakutan.
“Ayo pelan-pelan kita lewati saja
mereka. Jangan sampai menginjaknya.” Ucap Oliver lagi lebih pelan.
Baru satu kaki kuangkat, ular-ular itu
mulai membuka lingkaran tubuhnya dan menunjukkan ukuran aslinya.
Oliver merebut pedang dari genggamanku
dan langsung menebas seluruh bagian ular yang bisa dijangkaunya. Langsung saja
lantai gua menjadi penuh darah yang berwarna merah pekat dan lengket. Beberapa
ular mencoba melilitku. Dan yang bisa kulakukan hanyalah meloncat-loncat
seperti sedang bermain lompat tali.
DUG. Aku terjatuh terjerembab di
lantai. Dua ekor ular menindih tubuhku dan melilitku dengan kuat.
“O-Liv er.” Aku berkata dengan suara
sesak. Sebentar lagi aku akan mati.
Oliver terlalu sibuk dengan ular-ular
yang lain dan juga kesulitan untuk menjangkauku. Aku berusaha memberontak. Tapi
semakin aku bergerak, ular-ular ini semakin membelit dengan kuat.
Desisan lain terdengar dari jauh. Aku
punya pikiran, saudara-saudara ular yang lain mulai berdatangan. Dan tak lewat
dari semenit, puluhan ular merayap menuju santapan malamnya. Kami.
Oliver sudah kelelahan menebas
ular-ular itu yang kini bertambah banyak. Dan yang mencengangkan adalah,
tiba-tiba dia berlari maju dan meninggalkanku berkutat dengan ular di atas
tubuhku yang kini sudah berjumlah tujuh. Apa yang akan dia lakukan?
Membiarkanku menjadi makan malam keluarga ular ini? Kini air mata telah
benar-benar menetes dari pupil mataku yang kini buta lagi karena cahaya pedang
telah menjauh.
Baiklah, lebih baik dihancurkan dengan
parang oleh petugas jaga pantai teluk Pangandaran daripada jadi santapan. Aku sudah
tidak bisa bergerak. Oliver, dimana kamu?!
Cahaya berwarna biru terang datang
kepadaku. Awalnya kukira aku sudah berada di surga. Namun ternyata Oliver
kembali dengan pasukan burungnya.
Bukan benar-benar burung sih.
Kebanyakan justru kelelawar yang terbang dan langsung membabi buta serangan
ular Boa kepadaku. Sisanya ada beberapa burung hantu yang mulai mencakar-cakar
ular itu. Kenapa aku tahu mereka itu kelelawar? Karena baunya sama dengan bau
tubuhku yang sudah tercampur lantai gua ini.
Sebuah tangan membantuku berdiri.
“Delmora, kamu baik-baik saja?” Tanya
Oliver.
Aku tidak mampu berkata apa-apa. Yang
kurasakan kemudian, aku sudah melayang beberapa senti dari tanah dan
bergelantungan lemah di lengan Oliver. Kami kabur dari sarang ular.
Setelah membuat jarak kira-kira
setengah panjang lapangan bola, Oliver menurunkanku dari gendongannya.
Theoà na mas
voÃthÃsei
Epanèlthete
se kanonikÃ
Aku menemukan tubuhku bergurat merah dan biru. Rasanya
lelah sekali. Aku ingin tidur seharian ini.
“Oliver?” Panggilku untuk menandakan aku sudah sadar.
“Kamu baik aja, Delmora?” Tanya Oliver.
“Aku sudah lebih baik kok.” Jawabku.
Aku mencoba menggerakkan otot tubuhku, dan gagal.
“Sini aku bantu.” Ucap Oliver. Lalu ia memegang leher dan
pinggangku sambil mengucapkan kata-kata dalam bahasa Yunani yang dulu pernah ia
gumamkan sebelumnya saat aku masih jadi patung batu.
“Apa itu?” Tanyaku.
“Hanya doa, seperti biasa.” Jawab Oliver.
“Tapi aku bisa sembuh.” Ucapku.
“Akan kuajarkan padamu lain kali. Kita harus jalan lagi.
Sekarang sudah jam empat. Sebentar lagi matahari terbit.” Oliver membantuku
bangun.
Malam yang lama. Aku sampai lupa kalau pagi adalah
musuhku saat ini. Kami melanjutkan perjalanan.
Sekitar dua ratus meter tertempuh kakiku dan Oliver, kami
menemui jalan bercabang.
“Kita harus ke arah mana?” Tanyaku.
Oliver menimbang sambil menyorongkan pedang ke jalan
sebelah kanan dan kiri secara bergantian selama beberapa kali berturut-turut.
“Sudah bisa menentukan?” Tanyaku lagi yang mulai bosan
melihat Oliver bergantian memilih jalan dengan pedang.
“Ini aneh.” Ucap Oliver. “Di jalan sebelah kiri, kita
bisa melihat dengan penerangan cahaya pedang. Tapi di jalan sebelah kanan,
cahaya pedang tidak dapat membantu pengelihatan kita.”
“Baiklah, ayo kita ambil yang terang. Aku mulai muak
dengan kegelapan.” Ucapku.
“Ngga segampang itu, Delmora.” Ucap Oliver. “Kita ambil
yang sebelah kanan.”
Oliver melangkahkan kakinya melewati jalan di sebelah
kanan. Mau tak mau, aku menggandeng erat lengan Oliver. Mataku buta lagi. Sama
sekali tak ada cahaya disini.
Entah karena aku sangat kedinginan dan membayangkan api
unggun yang bisa menghangatkan tubuhku, atau memang suhu di gua berubah panas?
Perlahan, mataku mulai berfungsi lagi. Ada sebuah cahaya
besar diujung gua. Bentuknya seperti sebuah sarang dari jaring laba-laba
raksasa. Tapi bersinar dan panas. Dan aku baru sadar, jaring itu terbuat dari
petir. Maksudku, benar-benar petir.
Karena listrik tidak mungkin ada di gua seperti ini. Dan jaring itu menutupi
seluruh lubang gua, memblokir jalan kami.
Suara langkah kami masih bergaung di gua. Dan ketika kami
sudah berada tepat di depan jaring petir itu, terdengar suara seseorang.
“Quis est?” Ucap suara seorang wanita di seberang jaring.
Apakah ada orang?
Previous: