Kebenaran adalah apa yang kau percayai. Bukan hal yang pertama kali kau ketahui.
--Diva's POV--
"...jadi kalau weekend biasanya dia jalan sama pacarnya?" Tanya Doni.
"Iya. Karena dia ngga punya siapa-siapa lagi, bisa dibilang dia bergantung sama aku dan Keenan." Jawabku.
Aku menghentikan obrolan dengan Doni. Apa sih sebenarnya yang dia mau? Kenapa dari tadi selalu bertanya soal Sheerin?
Hari ini aku jalan-jalan dengan Doni yang kini menjadi pacarku. Aku belum lama mengenalnya, mungkin sekitar enam bulan kami menjadi teman pena yang berkenalan secara online. Akhirnya setelah bertemu kami pun sepakat untuk pacaran. Sebenarnya aku agak kecewa dengan sikapnya yang berbeda dengan Doni yang aku temui di online. Di chat, dia lebih banyak bicara dan membuatku sama sekali tidak bosan. Sedangkan Doni yang kutemui tidaklah sebawel itu. Dia hanya berbicara padaku mengenai hal-hal yang penting saja. Tidak ada bercandaan seperti biasanya. Dan yang aku sedikit kesal, dia tampak begitu tertarik membicarakan Sheerin. Memangnya sepenting apa sih pembicaraan tentang Sheerin itu?
"Emm, Doni. Kamu ada kelas jam berapa besok?" Tanyaku mencoba mengalihkan obrolan.
"Jam pertama." Jawab Doni tanpa ekspresi dan perhatiannya terus ditujukan pada handphone-nya.
Aku agak kesal. Makin kesal tepatnya. Kenapa dia seakan tidak nyaman jalan sama aku? Kenapa juga dia ajak aku keluar kalau aku diabaikan seperti ini? Aku ingin pulang dan menangis rasanya.
Akhirnya kami berdua terdiam cukup lama karena aku sudah kehabisan topik pembicaraan satu arah ini.
"Hey, maaf." Ucap Doni tiba-tiba.
Aku menghentikan langkahku. Apa aku salah dengar barusan?
Doni menghentikan langkahnya juga lalu memposisikan diri di depanku.
"Maaf sikap aku yang aneh sejak kita ketemuan. Aku ngga bermaksud buat kamu merasa cemburu atau apa. Aku akan kasih tau alasannya, nanti, oke?" Ucap Doni seraya meraih tanganku dan mengajakku melanjutkan langkah kami.
Dia tidak memberiku kesempatan untuk bicara. Aku pun akan merasa bersalah kalau aku tiba-tiba marah pada orang yang baru saja meminta maaf. Aku hanya terdiam dan terus berjalan mengikuti arahan dari tangan yang menggenggam tanganku dengan erat.
Kami menuju ke bioskop di salah satu mal. Dia memilihkan sebuah film yang sama sekali bukan kesukaanku. Ada banyak adegan adu senjata dan permainan cuci otak. Aku setuju untuk nonton ini karena dia yang memilihkan. Selama beberapa menit di dalam bioskop, aku berkali-kali menutup mataku. Film ini membuat memori buruk masa laluku seperti muncul lagi di depan mata.
Doni tampak tenang menonton di sampingku. Matanya tertuju pada layar. Sebenarnya aku tidak mau mengganggu, tapi aku tidak tahan lagi. Aku meraih tangannya seraya mendekati telinganya dan berbisik. "Sayang, aku keluar ya." Doni memalingkan pandangannya dari layar ke wajahku. Lalu ia bangkit dari kursinya dan menggandengku keluar dari bioskop.
"Maaf ya aku maksa kamu nonton film kayak gitu." Ucap Doni.
"Iya gapapa." Ucapku.
"Yaudah sekarang kita ke rumahku, ya?" Ucap Doni.
Saat itu aku hanya bisa mengikuti langkah kaki Doni yang kini menuntunku ke parkiran mal. Kami menaiki motor milik Doni dan menuju ke rumahnya. Ini pertama kalinya aku ke rumah seorang teman cowok. Sebenarnya aku merasa agak gugup. Keenan saja yang sudah lama aku kenal belum pernah mengajakku ke rumahnya. Dan ini Doni pacarku loh. Aku tidak mempersiapkan apa-apa untuk bertemu keluarganya.
"Kamu ngga perlu khawatir, Diva. Orang tuaku lagi ngga ada di rumah kok." Ucap Doni yang lagi-lagi seakan bisa membaca pikiranku.
"Ehh, iya sayang." Ucapku gugup.
Aku harus bagaimana sekarang?
Tak lama kemudian kami tiba di depan sebuah rumah. Aku masuk ke dalam dan menuju ke sebuah ruangan di lantai dua yang sepertinya kamar Doni.
Sebelum melangkah masuk ke kamar, aku menghentikan langkahku tepat di ambang pintu.
"Ayo masuk." Ucap Doni yang sudah berada di dalam kamarnya.
Aku masih terdiam.
"Diva, tenang aja aku ngga akan ngelakuin yang aneh-aneh kok." Ucap Doni kalem.
"Maaf." Ucapku kikuk seraya melangkah masuk.
"Iya aku ngerti kamu ngga biasa deket sama cowok yang bukan keluarga kamu." Ucap Doni sambil menutup pintu di belakangku.
Kenapa pintunya harus ditutup dan dikunci sih? Aku jadi merasa ngga nyaman.
Doni mendudukkanku di tempat tidurnya. Tapi dia masih berdiri dan meraba ruang di sekitar rak bukunya yang tersusun rapi.
Dia kembali menghadapku.
"Eh sebelumnya aku harus ngasih tahu kamu dulu kenapa aku nunggu sampai kita di kamarku untuk bilang hal ini. Aku ngga mau kamu salah paham dan mikir yang negatif dan mesum ke aku." Ucap Doni yang kini pipinya bersemu merah padam. "Jadi, kalo dari dalam kamar ini ngga akan ada orang luar yang bisa denger suara di dalamnya kalo pintunya terkunci. Ada beberapa sensor di dinding yang bakal ngasih tau ke orang yang ada di dalamnya kalo ada hal-hal berupa penyadapan atau gangguan lainnya lewat monitor disini." Doni menunjuk sebuah monitor kecil di sekitar rak bukunya.
Aku menghela nafas lega. Aku tahu Doni punya alasan yang jelas dengan keanehannya.
"Oke, jadi yang mau kamu jelasin ke aku adalah?" Tanyaku yang kini mulai mendapatkan kembali diriku yang biasanya.
"Diva, maaf sebelumnya aku harus bilang yang sejujurnya sama kamu." Ucap Doni memulai kata-katanya. "Aku bukannya mau balas dendam atau apa, tapi aku bener-bener harus ngelakuin ini."
"Apa?" Ucapku bingung.
"Pertama kamu harus tahu fakta kalau aku ini temen sekelasnya sahabat kamu Sheerin." Ucap Doni.
"Tapi kan dia satu angkatan sama aku." Ucapku bingung.
"Aku ngga tau versi seperti apa yang dia ceritain ke kamu. Tapi nyatanya dia tinggal kelas gara-gara aku." Ucap Doni.
"Kamu?" Ucapku tambah bingung. "Dia ngga pernah bilang kalau dia pernah tinggal kelas."
"Dulu aku itu teman TK nya. Singkatnya aku dulu pernah bully dia sampai dia ngga punya satupun teman. Dan itu berlanjut saat masuk SD yang ternyata kami satu kelas lagi. Tapi setelah aku sleepwalking dan menghancurkan tulang kakiku, aku menghabiskan beberapa bulan homeschooling, begitu aku masuk lagi ke sekolah dia ngga ada di kelasku. Ngga ada yang terlalu memperhatikan dia karena memang dia ngga punya teman. Tapi sejak saat itu aku selalu cari tau tentang dia. Aku selalu mengharapkan dia masuk sekolah. Aku selalu ingin bertemu dia. Aku ngga tahu kenapa aku bisa sampai terobsesi sama dia, tapi aku harus bertemu dia."
Jadi Doni suka sama Sheerin? Itu menjelaskan banyak hal.
"Tolong jangan salah paham. Aku bukannya suka sama dia,--('dia selalu tahu apa yang aku pikirkan!')-- aku cuma merasa bersalah karena aku yang bikin dia ngga punya temen di sekolah. Aku selalu cari info tentang dia. Dan begitu aku dapat banyak informasi, aku mulai sadar kalau aku merasa bersalah pada orang yang salah. Karena justru dialah yang membuat aku jatuh dari jendela kamarku dan membuat kakiku patah. Dan itulah alasannya untuk memilih tinggal kelas, supaya tidak bertemu denganku dan menghapus jejaknya."
"Kenapa kamu simpulkan seperti itu?" Tanyaku yang sedikit tidak terima sahabatku difitnah seperti itu.
Doni kembali ke rak bukunya. Kali ini ia mengambil sebuah buku yang sudah agak usang.
"Aku bukan menuduh tanpa bukti." Doni meletakkan buku itu di antara kami.
"Beranjak SMP, aku mulai belajar komputer dan berhasil membobol sistem kamera pengintai milik kepolisisan yang dipasang di sekitar rumahku." Doni membolak-balik halaman pada buku itu dan sampai pada sebuah gambar rumah ini dari luar, dengan penerangan seadanya. Lampu kamar di lantai dua rumah menyala, saat itu pula ada sesosok gadis kecil dengan kepala berwarna merah menyembul dari antara semak-semak tinggi. Aku melihat ada banyak gambar serupa dengan sudut pandang yang berbeda-beda.
"Sheerin?" Gumamku.
"Ini gambar waktu aku ternyata sleepwalking dan jatuh dari lantai dua rumahku. Aku juga sempat ngga percaya. Tapi aku terus cari informasi." Doni membalik halaman buku itu lagi dan kali ini aku melihat gambar wajahku di kertas lusuh itu.
"Aku?" Tanyaku.
"Aku tahu kasus penculikan itu ngga boleh diberitakan. Tapi aku butuh informasi yang bersangkutan dengan Sheraphyna Shine. Dan dia ada disana waktu penculikan kamu." Ucap Doni.
Aku bangun dari dudukku. "Doni, apa kamu pikir Sheerin yang berusaha menculikku atau apa?" Ucapku dengan emosi berapi-api.
"Aku ngga bilang begitu. Tapi tolong dengerin dulu sampai selesai. Aku tahu betapa menakutkannya penculikan itu. Tapi kamu harus bantu aku. Aku ngga bisa biarin orang seperti Sheerin berkeliaran bebas."
Aku kembali duduk dan berusaha menenangkan diriku. Sulit dipercaya orang yang aku kenal sejak SD itu adalah orang jahat. Tapi apakah yang dikatakan Doni benar? Atau sebenarnya yang jahat itu Doni dan dia sedang berusaha membuatku jatuh ke dalam jebakannya?
Kali ini Doni menunjukkan sebuah buku lusuh yang lainnya. Ada sederetan foto orang-orang yang tidak kukenal.
"Mereka detektif." Ucap Doni. "Yang ini kakek buyut Sheerin." Doni menunjuk salah satu pria di gambar dua pria yang sedang saling bersalaman.
"Mereka berdua ada di tim yang sama. Saat itu kasusnya adalah pembunuhan dan mutilasi yang korbannya adalah wanita dan anak-anak. Mereka berdua detektif yang hebat pada masa itu. Semua masalah bisa terselesaikan dengan baik dan cepat. Tapi di kasus mutilasi ini mereka berbeda pendapat. Pada akhirnya kasus ditutup dengan tersangkanya Ravin Shikurone. Orang ini." Doni menunjuk gambat pria yang tadi dia bilang kakek buyut Sheerin.
Aku memperhatikan buku itu baik-baik. Isinya berupa potongan-potongan berita yang digunting dari surat kabar lama yang sudah dilaminating. Judul di artikel itu ditulis besar-besar dengan warna merah 'DETEKTIF PSIKOPAT SHIKURONE TERSANGKA PEMBUNUHAN DAN MUTILASI, DIHUKUM GANTUNG'. Aku membaca isi artikel tersebut.
"Kalau emang Sheerin itu cucu dari orang ini, kenapa nama belakang mereka beda? Lagi pula disini ditulis katanya Ravin Shikurone menerima hukuman gantung di depan umum dengan seluruh keluarganya. Terus dari mana garis keturunan yang menghubungkan dia dan Sheerin?" Ucapku kebingungan.
"Iya. Karena dia ngga punya siapa-siapa lagi, bisa dibilang dia bergantung sama aku dan Keenan." Jawabku.
Aku menghentikan obrolan dengan Doni. Apa sih sebenarnya yang dia mau? Kenapa dari tadi selalu bertanya soal Sheerin?
Hari ini aku jalan-jalan dengan Doni yang kini menjadi pacarku. Aku belum lama mengenalnya, mungkin sekitar enam bulan kami menjadi teman pena yang berkenalan secara online. Akhirnya setelah bertemu kami pun sepakat untuk pacaran. Sebenarnya aku agak kecewa dengan sikapnya yang berbeda dengan Doni yang aku temui di online. Di chat, dia lebih banyak bicara dan membuatku sama sekali tidak bosan. Sedangkan Doni yang kutemui tidaklah sebawel itu. Dia hanya berbicara padaku mengenai hal-hal yang penting saja. Tidak ada bercandaan seperti biasanya. Dan yang aku sedikit kesal, dia tampak begitu tertarik membicarakan Sheerin. Memangnya sepenting apa sih pembicaraan tentang Sheerin itu?
"Emm, Doni. Kamu ada kelas jam berapa besok?" Tanyaku mencoba mengalihkan obrolan.
"Jam pertama." Jawab Doni tanpa ekspresi dan perhatiannya terus ditujukan pada handphone-nya.
Aku agak kesal. Makin kesal tepatnya. Kenapa dia seakan tidak nyaman jalan sama aku? Kenapa juga dia ajak aku keluar kalau aku diabaikan seperti ini? Aku ingin pulang dan menangis rasanya.
Akhirnya kami berdua terdiam cukup lama karena aku sudah kehabisan topik pembicaraan satu arah ini.
"Hey, maaf." Ucap Doni tiba-tiba.
Aku menghentikan langkahku. Apa aku salah dengar barusan?
Doni menghentikan langkahnya juga lalu memposisikan diri di depanku.
"Maaf sikap aku yang aneh sejak kita ketemuan. Aku ngga bermaksud buat kamu merasa cemburu atau apa. Aku akan kasih tau alasannya, nanti, oke?" Ucap Doni seraya meraih tanganku dan mengajakku melanjutkan langkah kami.
Dia tidak memberiku kesempatan untuk bicara. Aku pun akan merasa bersalah kalau aku tiba-tiba marah pada orang yang baru saja meminta maaf. Aku hanya terdiam dan terus berjalan mengikuti arahan dari tangan yang menggenggam tanganku dengan erat.
Kami menuju ke bioskop di salah satu mal. Dia memilihkan sebuah film yang sama sekali bukan kesukaanku. Ada banyak adegan adu senjata dan permainan cuci otak. Aku setuju untuk nonton ini karena dia yang memilihkan. Selama beberapa menit di dalam bioskop, aku berkali-kali menutup mataku. Film ini membuat memori buruk masa laluku seperti muncul lagi di depan mata.
Doni tampak tenang menonton di sampingku. Matanya tertuju pada layar. Sebenarnya aku tidak mau mengganggu, tapi aku tidak tahan lagi. Aku meraih tangannya seraya mendekati telinganya dan berbisik. "Sayang, aku keluar ya." Doni memalingkan pandangannya dari layar ke wajahku. Lalu ia bangkit dari kursinya dan menggandengku keluar dari bioskop.
"Maaf ya aku maksa kamu nonton film kayak gitu." Ucap Doni.
"Iya gapapa." Ucapku.
"Yaudah sekarang kita ke rumahku, ya?" Ucap Doni.
Saat itu aku hanya bisa mengikuti langkah kaki Doni yang kini menuntunku ke parkiran mal. Kami menaiki motor milik Doni dan menuju ke rumahnya. Ini pertama kalinya aku ke rumah seorang teman cowok. Sebenarnya aku merasa agak gugup. Keenan saja yang sudah lama aku kenal belum pernah mengajakku ke rumahnya. Dan ini Doni pacarku loh. Aku tidak mempersiapkan apa-apa untuk bertemu keluarganya.
"Kamu ngga perlu khawatir, Diva. Orang tuaku lagi ngga ada di rumah kok." Ucap Doni yang lagi-lagi seakan bisa membaca pikiranku.
"Ehh, iya sayang." Ucapku gugup.
Aku harus bagaimana sekarang?
Tak lama kemudian kami tiba di depan sebuah rumah. Aku masuk ke dalam dan menuju ke sebuah ruangan di lantai dua yang sepertinya kamar Doni.
Sebelum melangkah masuk ke kamar, aku menghentikan langkahku tepat di ambang pintu.
"Ayo masuk." Ucap Doni yang sudah berada di dalam kamarnya.
Aku masih terdiam.
"Diva, tenang aja aku ngga akan ngelakuin yang aneh-aneh kok." Ucap Doni kalem.
"Maaf." Ucapku kikuk seraya melangkah masuk.
"Iya aku ngerti kamu ngga biasa deket sama cowok yang bukan keluarga kamu." Ucap Doni sambil menutup pintu di belakangku.
Kenapa pintunya harus ditutup dan dikunci sih? Aku jadi merasa ngga nyaman.
Doni mendudukkanku di tempat tidurnya. Tapi dia masih berdiri dan meraba ruang di sekitar rak bukunya yang tersusun rapi.
Dia kembali menghadapku.
"Eh sebelumnya aku harus ngasih tahu kamu dulu kenapa aku nunggu sampai kita di kamarku untuk bilang hal ini. Aku ngga mau kamu salah paham dan mikir yang negatif dan mesum ke aku." Ucap Doni yang kini pipinya bersemu merah padam. "Jadi, kalo dari dalam kamar ini ngga akan ada orang luar yang bisa denger suara di dalamnya kalo pintunya terkunci. Ada beberapa sensor di dinding yang bakal ngasih tau ke orang yang ada di dalamnya kalo ada hal-hal berupa penyadapan atau gangguan lainnya lewat monitor disini." Doni menunjuk sebuah monitor kecil di sekitar rak bukunya.
Aku menghela nafas lega. Aku tahu Doni punya alasan yang jelas dengan keanehannya.
"Oke, jadi yang mau kamu jelasin ke aku adalah?" Tanyaku yang kini mulai mendapatkan kembali diriku yang biasanya.
"Diva, maaf sebelumnya aku harus bilang yang sejujurnya sama kamu." Ucap Doni memulai kata-katanya. "Aku bukannya mau balas dendam atau apa, tapi aku bener-bener harus ngelakuin ini."
"Apa?" Ucapku bingung.
"Pertama kamu harus tahu fakta kalau aku ini temen sekelasnya sahabat kamu Sheerin." Ucap Doni.
"Tapi kan dia satu angkatan sama aku." Ucapku bingung.
"Aku ngga tau versi seperti apa yang dia ceritain ke kamu. Tapi nyatanya dia tinggal kelas gara-gara aku." Ucap Doni.
"Kamu?" Ucapku tambah bingung. "Dia ngga pernah bilang kalau dia pernah tinggal kelas."
"Dulu aku itu teman TK nya. Singkatnya aku dulu pernah bully dia sampai dia ngga punya satupun teman. Dan itu berlanjut saat masuk SD yang ternyata kami satu kelas lagi. Tapi setelah aku sleepwalking dan menghancurkan tulang kakiku, aku menghabiskan beberapa bulan homeschooling, begitu aku masuk lagi ke sekolah dia ngga ada di kelasku. Ngga ada yang terlalu memperhatikan dia karena memang dia ngga punya teman. Tapi sejak saat itu aku selalu cari tau tentang dia. Aku selalu mengharapkan dia masuk sekolah. Aku selalu ingin bertemu dia. Aku ngga tahu kenapa aku bisa sampai terobsesi sama dia, tapi aku harus bertemu dia."
Jadi Doni suka sama Sheerin? Itu menjelaskan banyak hal.
"Tolong jangan salah paham. Aku bukannya suka sama dia,--('dia selalu tahu apa yang aku pikirkan!')-- aku cuma merasa bersalah karena aku yang bikin dia ngga punya temen di sekolah. Aku selalu cari info tentang dia. Dan begitu aku dapat banyak informasi, aku mulai sadar kalau aku merasa bersalah pada orang yang salah. Karena justru dialah yang membuat aku jatuh dari jendela kamarku dan membuat kakiku patah. Dan itulah alasannya untuk memilih tinggal kelas, supaya tidak bertemu denganku dan menghapus jejaknya."
"Kenapa kamu simpulkan seperti itu?" Tanyaku yang sedikit tidak terima sahabatku difitnah seperti itu.
Doni kembali ke rak bukunya. Kali ini ia mengambil sebuah buku yang sudah agak usang.
"Aku bukan menuduh tanpa bukti." Doni meletakkan buku itu di antara kami.
"Beranjak SMP, aku mulai belajar komputer dan berhasil membobol sistem kamera pengintai milik kepolisisan yang dipasang di sekitar rumahku." Doni membolak-balik halaman pada buku itu dan sampai pada sebuah gambar rumah ini dari luar, dengan penerangan seadanya. Lampu kamar di lantai dua rumah menyala, saat itu pula ada sesosok gadis kecil dengan kepala berwarna merah menyembul dari antara semak-semak tinggi. Aku melihat ada banyak gambar serupa dengan sudut pandang yang berbeda-beda.
"Sheerin?" Gumamku.
"Ini gambar waktu aku ternyata sleepwalking dan jatuh dari lantai dua rumahku. Aku juga sempat ngga percaya. Tapi aku terus cari informasi." Doni membalik halaman buku itu lagi dan kali ini aku melihat gambar wajahku di kertas lusuh itu.
"Aku?" Tanyaku.
"Aku tahu kasus penculikan itu ngga boleh diberitakan. Tapi aku butuh informasi yang bersangkutan dengan Sheraphyna Shine. Dan dia ada disana waktu penculikan kamu." Ucap Doni.
Aku bangun dari dudukku. "Doni, apa kamu pikir Sheerin yang berusaha menculikku atau apa?" Ucapku dengan emosi berapi-api.
"Aku ngga bilang begitu. Tapi tolong dengerin dulu sampai selesai. Aku tahu betapa menakutkannya penculikan itu. Tapi kamu harus bantu aku. Aku ngga bisa biarin orang seperti Sheerin berkeliaran bebas."
Aku kembali duduk dan berusaha menenangkan diriku. Sulit dipercaya orang yang aku kenal sejak SD itu adalah orang jahat. Tapi apakah yang dikatakan Doni benar? Atau sebenarnya yang jahat itu Doni dan dia sedang berusaha membuatku jatuh ke dalam jebakannya?
Kali ini Doni menunjukkan sebuah buku lusuh yang lainnya. Ada sederetan foto orang-orang yang tidak kukenal.
"Mereka detektif." Ucap Doni. "Yang ini kakek buyut Sheerin." Doni menunjuk salah satu pria di gambar dua pria yang sedang saling bersalaman.
"Mereka berdua ada di tim yang sama. Saat itu kasusnya adalah pembunuhan dan mutilasi yang korbannya adalah wanita dan anak-anak. Mereka berdua detektif yang hebat pada masa itu. Semua masalah bisa terselesaikan dengan baik dan cepat. Tapi di kasus mutilasi ini mereka berbeda pendapat. Pada akhirnya kasus ditutup dengan tersangkanya Ravin Shikurone. Orang ini." Doni menunjuk gambat pria yang tadi dia bilang kakek buyut Sheerin.
Aku memperhatikan buku itu baik-baik. Isinya berupa potongan-potongan berita yang digunting dari surat kabar lama yang sudah dilaminating. Judul di artikel itu ditulis besar-besar dengan warna merah 'DETEKTIF PSIKOPAT SHIKURONE TERSANGKA PEMBUNUHAN DAN MUTILASI, DIHUKUM GANTUNG'. Aku membaca isi artikel tersebut.
"Kalau emang Sheerin itu cucu dari orang ini, kenapa nama belakang mereka beda? Lagi pula disini ditulis katanya Ravin Shikurone menerima hukuman gantung di depan umum dengan seluruh keluarganya. Terus dari mana garis keturunan yang menghubungkan dia dan Sheerin?" Ucapku kebingungan.
"Sebelum aku kasih tahu semua hal lebih lanjut, aku butuh komitmen dari kamu." Ucap Doni.
"Komitmen untuk apa?" Tanyaku.
"Ka-Kamu nikah sama aku?" Ucap Doni, wajahnya memerah.
Perasaan macam apa ini? Apa kata-kata tadi itu sebuah lamaran? Atau dia tidak bermaksud seperti yang aku maksud?
"Nikah?" Tanyaku.
"Iya." Jawab Doni sungguh-sungguh.
"Tapi kenapa?" Tanyaku.
"Karena cuma pernikahan-lah ikatan paling erat yang menghubungkan dua orang. Aku mau kamu selalu jadi temanku, selalu jadi pasanganku dalam situasi apapun. Aku mau kamu selalu ada disaat apapun. Aku mau kamu selalu ada di hidup aku."
"Untuk nyari tahu informasi tentang sahabatku?" Ucapku agak tersinggung.
"Aku mau menghapus seluruh keturunan Shikurone. Tapi aku ngga bisa melakukannya sendirian. Aku butuh kamu. Dan kalau kamu ngga selalu ada di samping aku, kamu akan jadi target berikutnya."
"Coba bilang pakai kata-kata yang bisa aku mengerti, sayang."
Doni menarik nafas dalam-dalam. Ia tampak sedang berpikir keras.
"Diva, aku belum pernah pacaran selama hidupku. Aku ngga pernah merasakan perasaan aneh yang berlebihan pada seorang cewek. Tapi saat itu kamu. Aku ngga bisa apa-apa. Aku ngga bisa cuma lihat kamu dari jauh. Aku mau deket sama kamu. Tapi kalau deket sama kamu, kamu bisa ada dalam bahaya. Aku--" Doni menarik nafas dalam lagi. "Aku cinta kamu dan ngga mau kamu kenapa-kenapa. Aku takut kehilangan kamu. Aku cinta kamu makanya aku mau kamu nikah sama aku. Aku cinta kamu.."
Doni mengatakan hal itu dengan sangat jelas. Lalu setelah itu dia menunduk dan menyembunyikan wajahnya dari pandanganku.
"Hey sayang." Ucapku sambil menaikan wajahnya sampai setara dengan wajahku. "Terima kasih."
Doni memperlihatkan wajahnya yang merah padam dan air mata yang mengalir perlahan jatuh ke pipinya.
"Terima kasih sudah jatuh cinta sama aku. Walaupun ini bisa dibilang terlalu cepat, tapi aku akan tetap bilang kalau aku bersedia nikah sama kamu." Ucapku.
Doni memelukku beberapa detik. Lalu melepaskannya. Wajahnya masih memerah dan aku bisa lihat di pipinya masih terpeta bekas air mata. Kemudian kesunyian menyusul.
Secara spontan aku menggelakkan tawa.
"Ada yang lucu, Div?" Tanya Doni.
"Kamu." Ucapku disela tawa. "Kamu terlalu random. Tadi sikap kamu itu misterius banget. Terus bilang kalo kamu musuhan sama Sheerin. Terus cerita soal sejarah keluarga Sheerin yang ternyata kriminal. Dan akhirnya kamu ngelamar aku. Gimana aku ngga ketawa coba?"
Doni hanya memberikan seyuman yang menampilkan gigi depannya yang rapih. Lalu aku tiba-tiba saja mendaratkan sebuah ciuman ke pipinya.
Wajah Doni memerah lagi. Aku tidak percaya ternyata Doni orang yang mudah blushing juga. Mungkin dia benar-benar cinta sama aku? Aku harap begitu. Tapi aku ngga percaya sedikitpun yang dibilang Doni barusan. Aku bersedia menikah dengannya hanya karena aku mau mengumpulkan lebih banyak informasi untuk sahabatku. Tentu saja aku lebih percaya padanya daripada Doni, cowok yang baru aku kenal beberapa bulan. Sheerin belum pernah mengecewakanku sekalipun. Tidak mungkin ada satupun fitnah dari Doni yang benar. Ya, aku percaya Sheerin.
***
আPrevious: Uncovered
আNext: Clink and Scream
0 comment:
Posting Komentar
Come share to us !!