Rabu, 18 Maret 2015

Delmora The Ocean's Princess: Bab 8 (Kardus Kulkas)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah





 Bab 8
Kardus Kulkas
          Kali ini aku merubah posisi patungku nanti ke posisi yang tidak nyaman. Aku harus duduk sila dalam sebuah kardus bekas kulkas. Kami akan ke Pangandaran dengan kereta.
          “Tolong pelan-pelan, Mas. Isinya mudah hancur.” Aku mendengar Oliver berkata pada petugas kereta.
          “Maaf, Mas. Tapi barang harus naik ke gerbong barang. Bukan gerbong penumpang.” Ucap lawan bicara Oliver yang terdengar lebih tua.
          “Tapi saya sudah terlanjur membeli tiket penumpang untuk barang saya.” Kudengar Oliver lagi.
          Lalu aku tidak mendengar percakapan mereka lagi. Rasanya aku ingin berteriak karena kardusku berguncang—begitu pula dengan aku—aku sepertinya sedang diangkat naik ke gerbong.
          Tak lama kemudian aku mulai merasa mual lagi. Naik kereta kuda setengah ikan ayah memang yang terbaik.
          Setelah kira-kira 7 jam kereta melaju, aku merasa kereta berhenti lebih lama di stasiun ini dan kukira kami sudah sampai. Kardusku diturunkan dari gerbong.
          “Kita sampai di stasiun Banjar, sayang. Sekarang kita harus naik bis lagi menuju Teluk.” Ucap Oliver dari luar.
          Aku mendengarnya dengan baik. Tapi Oliver tahu aku tidak bisa membalas ucapannya. Jadi dia hanya menaikanku ke troli dan—sepertinyakeluar dari stasiun. Sebelum berjalan jauh, aku mendengar beberapa orang berbisik-bisik kepada Oliver yang berbicara pada sebuah kardus kulkas.
          Aku kembali merasakan guncangan saat kardusku di naikan ke bis.
          “Moso karton kulkas iki bakal diselehake ing kalungguhan penumpang?” Ucap kondektur bus yang artinya: ‘Masa kardus kulkas ini mau diletakkan di bangku penumpang?’
          “Saya takut isinya rusak, Mas.” Ucap Oliver sopan.
          Selama beberapa menit berdebat dan memohonkepada semua awak bus, akhirnya Oliver berhasil mendudukkanku di sampingnya. Aku memang tidak bernafas selama menjadi patung, tapi rasanya Oliver tidak ingin menganggapku sebagai barang sekalipun aku dimasukkannya ke dalam kardus. Atau dia tidak ingin menemukan beberapa jariku patah.
          Kira-kira empat puluh lima menit melanjutkan perjalanan dengan bus, akhirnya bus pun tiba di teluk Pangandaran. Aku merasakan Oliver membawaku ke pantai. Karena aku bisa mendengar debur ombak di kejauhan.
          “Ini masih jam setengah empat, sayang. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah menunggu kau berubah.” Ucap Oliver.
          Aku sangat tidak sabar menunggu matahari terbenam. Aku ingin cepat bebas dari kutukan ini dan menyelamatkan Athena. Tapi keadaan justru malah bertambah buruk.
          “Permisi Mas.” Ucap seseorang dengan suara berat dan logat jawa yang kental.
          “Kenapa ya, Pak?” Tanya Oliver.
          “Apa yang sedang Mas lakukan disini?” Tanya Bapak itu.
          “Saya sedang menunggu matahari terbenam.” Jawab Oliver.
          “Dengan sebuah kulkas pintu dua?” Tanya bapak itu dengan nada mencibir.
          “Itu bukan urusan bapak.” Oliver mulai marah.
          “Tapi saya petugas keamanan disini. Dan tugas sayalah untuk memeriksa kalau-kalau ada benda mencurigakan yang masuk ke pantai ini.” Bapak itu lebih galak.
          “Tapi ini bukan benda mencurigakan.” Bantah Oliver.
          “Seorang pemuda Jakarta duduk sendirian di tepi pantai teluk Pangandaran bersama kulkas dua pintu menunggu matahari terbenam?” Ucap bapak Petugas pantai itu dengan nada yang mengancam.
          Aku tahu Oliver sudah tidak punya perlawanan lagi. Aku mendengar petugas itu berbicara dengan seseorang lewat walkie talkie nya. Dan tak lama kemudian beberapa orang datang ke tempat kami. Aku mulai merasa terguncang seperti sedang dinaikan ke sesuatu.
          “Bapak mau apa?!” Tanya Oliver dengan panik.
          “Kami harus membawa ini ke pos. Mas juga harus ikut. Kalau ternyata dalam kardus ini berisi barang yang berbahaya, apalagi melanggar undang-undang, kita bisa lanjut ke kepolisian.” Ucap bapak Petugas.
          Oliver tidak bicara apa-apa lagi dan kami pun berjalan menjauhi tepi pantai.
          Sore menyingsing. Tapi matahari belum juga terbenam. Tak lama, kami pun tiba di pos jaga pantai teluk Pangandaran.
          Aku mendengar sebuah pisau cutter menggoreskan matanya ke permukaan kardusku. Aaahhhh tidak.
          Lampu pos menerangiku lebih dari yang kuinginkan. Sekarang kardusku benar-benar sudah terbuka dan kini aku bisa melihat sebagian pemandangan tegang di pos jaga itu. Oliver tampak pucat ketakutan.
          “Patung?” Para petugas pos kebingungan.
          “Untuk apa kamu berada di tepi pantai bersama dengan sebuah patung gadis?” Tanya salah seorang petugas berbadan gemuk kepada Oliver. Oliver tidak menjawabnya. Untuk seorang Athena pun, hal ini akan sulit dijawab. Mengingat tidak ada pameran patung di tepi pantai, atau kios cenderamata candi yang identik dengan patung batu.
          PLAKK. Bapak Petugas gendut tadi menampar pipi Oliver.
          “Sudah, kalau memang anak ini tidak mau jujur, kita hancurkan saja patung ini. Siapa tahu di dalamnya dia menyembunyikan ganja atau obat terlarang lainnya.” Usul salah satu petugas.
          “Jangan, Pak!!” Teriak Oliver dengan air mata membanjiri wajahnya yang sangat pucat.
          “Kenapa memangnya? Jangan-jangan kamu memang menyembunyikan sesuatu di dalam patung ini?”
          “Dia—dia pacar saya, Pak.” Jawab Oliver putus asa.
          “Jangan membodohi kami, anak muda! Mana ada orang yang pacaran sama patung! Kamu ini sakit jiwa ya?!”
          “Jangan!!!” Oliver teriak lagi dan tangisnya makin keras.
          Salah seorang petugas sudah memegang parang dan siap menghancurkanku menjadi berkeping-keping. Tapi aku juga ngga mau mati sekarang dan disini. Ada misi yang masih harus kuselesaikan.
          Mata pisau parang hanya berjarak dua senti dari pinggangku. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa mengelak. Aku hanya bisa pasrah. Athena, maafkan aku karena aku belum bisa menemukanmu. Poseidon, maafkan aku ya yah, aku belum bisa membuktikan kalian telah diadu domba. Oliver, aku sayang kamu. Maaf aku lebih dulu meninggalkan kamu.
          BLASSSHH...
          Aku merasakan sensasi disiram air hangat dari rambut hingga kaki. Tiba-tiba saja aku sudah mengelak dari tajamnya parang. Aku menunduk ke bawah dan jatuh telengkup di kaki Oliver.
          “Hah?” Semua orang di pos kaget dengan gerakanku yang super mendadak ini. Dan jujur, aku sendiri pun kaget.
          “Syukurlah Delmora.” Ucap Oliver sambil menyembunyikan wajah tangisnya dariku.
          “Ba—bagaimana bisa?” Ucap petugas gendut yang tadi menampar Oliver.
          “Maaf mengagetkan, Pak. Tapi kami buru-buru.” Ucapku sambil menjambrat lengan Oliver dan kabur dari tempat itu. Aku tidak berhenti, bahkan tidak menoleh hingga kami benar-benar berada jauh dari pos itu. Langit sudah mulai gelap dan aku bersyukur karenanya.
          Di tepi pantai kami berhenti berlari. Oliver langsung menjejalkan tubuhku dalam pelukannya. Aku merasakan aliran darahnya tidak teratur dan tubuhnya gemetar hebat.
          “Tenanglah, Oliver. Aku ngga apa-apa.” Ucapku menenangkan.
          “Aku takut kamu di—“
          Sebelum menyeselaikan kalimatnya, aku sudah menutup mulut Oliver dengan bibirku. Aku tidak tahu bagaimana caranya. Tapi aku sering melihat ibu melakukannya pada ayah, jadi apa salahnya aku lakukan hal ini pada Oliver? Tapi detik berikutnya aku menjauh.
          Aku dan Oliver saling menatap dalam diam. Aku masih tidak percaya apa yang kulakukan tadi, sedangkan Oliver masih panik atas ‘nyaris’ terbunuhnya aku tadi. Walaupun ia sempat tersenyum sesaat setelah kujauhkan wajahku dari wajahnya.
          “Aku sayang kamu, Delmora.” Ucap Oliver, nadanya masih bergetar.
          Aku tersenyum. “Ayo kita jemput ibu kamu.” Ajakku.
          Oliver mengangguk.
          Aku memasukan kaki ke dalam air dan menimbang. Sebaiknya aku naik gelembung atau kereta kuda setengah ikan saja? Dan saat itu kusadari petugas jaga pantai yang tadi masih mengejar kami. Aku harus berpikir dengan cepat. Baiklah, kereta akan lebih aman mengingat kami bahkan belum tahu tempat yang kami tuju. Gelembung hanya akan menyesatkan kami.
          “Delmora?” Tegur Oliver.
          Aku memasukan wajahku ke air. “Ayah, aku butuh kereta.” Ucapku.
          Petugas itu semakin dekat. Jarak antara kami hanya tinggal lima belas meter. Mereka berteriak memanggil-manggil kami.
          “Ayo Oliver, kita harus berenang sedikit.” Ajakku sambil menarik lengan Oliver dan memasukannya ke air.




  Previous: 

0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!