Delmora The Ocean’s Princess
Created By:
Safitri
Tsa’niyah
Bab 8
Kardus Kulkas
Kali ini aku merubah posisi patungku
nanti ke posisi yang tidak nyaman. Aku harus duduk sila dalam sebuah kardus
bekas kulkas. Kami akan ke Pangandaran dengan kereta.
“Tolong pelan-pelan, Mas. Isinya mudah
hancur.” Aku mendengar Oliver berkata pada petugas kereta.
“Maaf, Mas. Tapi barang harus naik ke
gerbong barang. Bukan gerbong penumpang.” Ucap lawan bicara Oliver yang
terdengar lebih tua.
“Tapi saya sudah terlanjur membeli
tiket penumpang untuk barang saya.” Kudengar Oliver lagi.
Lalu aku tidak mendengar percakapan
mereka lagi. Rasanya aku ingin berteriak karena kardusku berguncang—begitu pula
dengan aku—aku sepertinya sedang diangkat naik ke gerbong.
Tak lama kemudian aku mulai merasa
mual lagi. Naik kereta kuda setengah ikan ayah memang yang terbaik.
Setelah kira-kira 7 jam kereta melaju,
aku merasa kereta berhenti lebih lama di stasiun ini dan kukira kami sudah
sampai. Kardusku diturunkan dari gerbong.
“Kita sampai di stasiun Banjar,
sayang. Sekarang kita harus naik bis lagi menuju Teluk.” Ucap Oliver dari luar.
Aku mendengarnya dengan baik. Tapi
Oliver tahu aku tidak bisa membalas ucapannya. Jadi dia hanya menaikanku ke
troli dan—sepertinyakeluar dari stasiun. Sebelum berjalan jauh, aku mendengar
beberapa orang berbisik-bisik kepada Oliver yang berbicara pada sebuah kardus
kulkas.
Aku kembali merasakan guncangan saat
kardusku di naikan ke bis.
“Moso karton kulkas iki bakal
diselehake ing kalungguhan penumpang?” Ucap kondektur bus yang artinya: ‘Masa kardus kulkas ini mau diletakkan di
bangku penumpang?’
“Saya takut isinya rusak, Mas.” Ucap
Oliver sopan.
Selama beberapa menit berdebat dan
memohonkepada semua awak bus, akhirnya Oliver berhasil mendudukkanku di
sampingnya. Aku memang tidak bernafas selama menjadi patung, tapi rasanya
Oliver tidak ingin menganggapku sebagai barang sekalipun aku dimasukkannya ke
dalam kardus. Atau dia tidak ingin menemukan beberapa jariku patah.
Kira-kira empat puluh lima menit
melanjutkan perjalanan dengan bus, akhirnya bus pun tiba di teluk Pangandaran.
Aku merasakan Oliver membawaku ke pantai. Karena aku bisa mendengar debur ombak
di kejauhan.
“Ini masih jam setengah empat, sayang.
Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah menunggu kau berubah.” Ucap Oliver.
Aku sangat tidak sabar menunggu
matahari terbenam. Aku ingin cepat bebas dari kutukan ini dan menyelamatkan
Athena. Tapi keadaan justru malah bertambah buruk.
“Permisi Mas.” Ucap seseorang dengan
suara berat dan logat jawa yang kental.
“Kenapa ya, Pak?” Tanya Oliver.
“Apa yang sedang Mas lakukan disini?”
Tanya Bapak itu.
“Saya sedang menunggu matahari
terbenam.” Jawab Oliver.
“Dengan sebuah kulkas pintu dua?”
Tanya bapak itu dengan nada mencibir.
“Itu bukan urusan bapak.” Oliver mulai
marah.
“Tapi saya petugas keamanan disini.
Dan tugas sayalah untuk memeriksa kalau-kalau ada benda mencurigakan yang masuk
ke pantai ini.” Bapak itu lebih galak.
“Tapi ini bukan benda mencurigakan.”
Bantah Oliver.
“Seorang pemuda Jakarta duduk sendirian
di tepi pantai teluk Pangandaran bersama kulkas dua pintu menunggu matahari
terbenam?” Ucap bapak Petugas pantai itu dengan nada yang mengancam.
Aku tahu Oliver sudah tidak punya
perlawanan lagi. Aku mendengar petugas itu berbicara dengan seseorang lewat
walkie talkie nya. Dan tak lama kemudian beberapa orang datang ke tempat kami.
Aku mulai merasa terguncang seperti sedang dinaikan ke sesuatu.
“Bapak mau apa?!” Tanya Oliver dengan
panik.
“Kami harus membawa ini ke pos. Mas
juga harus ikut. Kalau ternyata dalam kardus ini berisi barang yang berbahaya,
apalagi melanggar undang-undang, kita bisa lanjut ke kepolisian.” Ucap bapak
Petugas.
Oliver tidak bicara apa-apa lagi dan
kami pun berjalan menjauhi tepi pantai.
Sore menyingsing. Tapi matahari belum
juga terbenam. Tak lama, kami pun tiba di pos jaga pantai teluk Pangandaran.
Aku mendengar sebuah pisau cutter
menggoreskan matanya ke permukaan kardusku. Aaahhhh tidak.
Lampu pos menerangiku lebih dari yang
kuinginkan. Sekarang kardusku benar-benar sudah terbuka dan kini aku bisa
melihat sebagian pemandangan tegang di pos jaga itu. Oliver tampak pucat
ketakutan.
“Patung?” Para petugas pos
kebingungan.
“Untuk apa kamu berada di tepi pantai
bersama dengan sebuah patung gadis?” Tanya salah seorang petugas berbadan gemuk
kepada Oliver. Oliver tidak menjawabnya. Untuk seorang Athena pun, hal ini akan
sulit dijawab. Mengingat tidak ada pameran patung di tepi pantai, atau kios
cenderamata candi yang identik dengan patung batu.
PLAKK. Bapak Petugas gendut tadi
menampar pipi Oliver.
“Sudah, kalau memang anak ini tidak
mau jujur, kita hancurkan saja patung ini. Siapa tahu di dalamnya dia
menyembunyikan ganja atau obat terlarang lainnya.” Usul salah satu petugas.
“Jangan, Pak!!” Teriak Oliver dengan
air mata membanjiri wajahnya yang sangat pucat.
“Kenapa memangnya? Jangan-jangan kamu
memang menyembunyikan sesuatu di dalam patung ini?”
“Dia—dia pacar saya, Pak.” Jawab
Oliver putus asa.
“Jangan membodohi kami, anak muda!
Mana ada orang yang pacaran sama patung! Kamu ini sakit jiwa ya?!”
“Jangan!!!” Oliver teriak lagi dan tangisnya
makin keras.
Salah seorang petugas sudah memegang
parang dan siap menghancurkanku menjadi berkeping-keping. Tapi aku juga ngga
mau mati sekarang dan disini. Ada misi yang masih harus kuselesaikan.
Mata pisau parang hanya berjarak dua
senti dari pinggangku. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa mengelak. Aku
hanya bisa pasrah. Athena, maafkan aku karena aku belum bisa menemukanmu.
Poseidon, maafkan aku ya yah, aku belum bisa membuktikan kalian telah diadu
domba. Oliver, aku sayang kamu. Maaf aku lebih dulu meninggalkan kamu.
BLASSSHH...
Aku merasakan sensasi disiram air
hangat dari rambut hingga kaki. Tiba-tiba saja aku sudah mengelak dari tajamnya
parang. Aku menunduk ke bawah dan jatuh telengkup di kaki Oliver.
“Hah?” Semua orang di pos kaget dengan
gerakanku yang super mendadak ini. Dan jujur, aku sendiri pun kaget.
“Syukurlah Delmora.” Ucap Oliver sambil
menyembunyikan wajah tangisnya dariku.
“Ba—bagaimana bisa?” Ucap petugas
gendut yang tadi menampar Oliver.
“Maaf mengagetkan, Pak. Tapi kami
buru-buru.” Ucapku sambil menjambrat lengan Oliver dan kabur dari tempat itu.
Aku tidak berhenti, bahkan tidak menoleh hingga kami benar-benar berada jauh
dari pos itu. Langit sudah mulai gelap dan aku bersyukur karenanya.
Di tepi pantai kami berhenti berlari.
Oliver langsung menjejalkan tubuhku dalam pelukannya. Aku merasakan aliran
darahnya tidak teratur dan tubuhnya gemetar hebat.
“Tenanglah, Oliver. Aku ngga apa-apa.”
Ucapku menenangkan.
“Aku takut kamu di—“
Sebelum menyeselaikan kalimatnya, aku
sudah menutup mulut Oliver dengan bibirku. Aku tidak tahu bagaimana caranya.
Tapi aku sering melihat ibu melakukannya pada ayah, jadi apa salahnya aku
lakukan hal ini pada Oliver? Tapi detik berikutnya aku menjauh.
Aku dan Oliver saling menatap dalam
diam. Aku masih tidak percaya apa yang kulakukan tadi, sedangkan Oliver masih
panik atas ‘nyaris’ terbunuhnya aku tadi. Walaupun ia sempat tersenyum sesaat
setelah kujauhkan wajahku dari wajahnya.
“Aku sayang kamu, Delmora.” Ucap
Oliver, nadanya masih bergetar.
Aku tersenyum. “Ayo kita jemput ibu
kamu.” Ajakku.
Oliver mengangguk.
Aku memasukan kaki ke dalam air dan
menimbang. Sebaiknya aku naik gelembung atau kereta kuda setengah ikan saja?
Dan saat itu kusadari petugas jaga pantai yang tadi masih mengejar kami. Aku
harus berpikir dengan cepat. Baiklah, kereta akan lebih aman mengingat kami
bahkan belum tahu tempat yang kami tuju. Gelembung hanya akan menyesatkan kami.
“Delmora?” Tegur Oliver.
Aku memasukan wajahku ke air. “Ayah,
aku butuh kereta.” Ucapku.
Petugas itu semakin dekat. Jarak
antara kami hanya tinggal lima belas meter. Mereka berteriak memanggil-manggil
kami.
“Ayo Oliver, kita harus berenang
sedikit.” Ajakku sambil menarik lengan Oliver dan memasukannya ke air.
Previous:
0 comment:
Posting Komentar
Come share to us !!