Delmora The
Ocean’s Princess
Created By:
Safitri
Tsa’niyah
Bab 1
Salam Trisula
Hai.
Namaku Delmora. Aku adalah seorang cewek
biasa hingga usiaku menginjak
tujuh belas. Entah aku harus senang
atau kesal, aku sedang berusaha untuk menerima kenyataan bahwa aku ini
keturunan salah satu dewa. Sebenarnya
dia telah melakukan sesuatu yang gawat
terhadap pria yang selama enam belas tahun terakhir
masih kuanggap sebagian darinya adalah milikku. Sampai dewa itu mengunjungi rumahku dan berkata
bahwa aku ini anaknya. Bersenjatakan
trisula, dia kelihatannya
sangat serius dengan apa yang dikatakannya, walaupun hal itu masih tidak masuk akal.
Awalnya kukira ia adalah pemeran opera yang ingin
mengerjaiku. Tapi mana ada manusia yang bisa bercahaya hijau seperti itu? Pemain
opera terbaik sekalipun tak akan mampu melakukannya.
Dia duduk di ruang tamu
keluarga kami dan menceritakan persisnya apa yang ia lakukan hingga aku lahir.
Tujuh
belas tahun yang lalu..
Sudah
tujuh tahun menikah dengan Bapak Dylan, ia tetap tidak dikaruniai seorang anak.
Dokter memvonis ibuku tidak akan memiliki
keturunan.
Tapi beberapa bulan berlalu ketika ia menyadari berat
badannya naik secara drastis. Saat diperiksakan ke dokter, ternyata ada seorang
bayi mungil (aku) yang tinggal di rahim bu Sonya—ibuku. Dan bayi itu sudah lima
bulan berada dalam rahimnya.
Setelah lahir, bayi perempuan itu di beri nama Delmora.
Tapi ada yang aneh dariku. Saat aku mendapati diri menghirup oksigen ke
paru-paru kecilku, aku tidak menangis dan masih tenang mengemut jempol sambil
tertidur pulas. Bu Sonya sangat ketakutan aku mungkin mati. Akhirnya aku di
ceburkan ke dalam kolam berisi air untuk dimandikan. Aku mulai menangis. Pada
saat itulah akhirnya mereka tahu bahwa aku mendapat kekuatan dari air. Mataku
yang hitam pekat tiba-tiba saja berubah menjadi biru laut. Padahal aku orang
Indonesia asli.
“Kau bilang namamu
siapa, Pak?” Tanyaku pada seorang pria dewasa di depanku.
“Panggil aku Ayah.” Ucap pria yang mengaku Dewa Poseidon
masih dengan tenang.
“Tapi bagaimana aku bisa percaya kau tidak sedang
menipuku?” Gumamku. “Maksudku, bagaimana aku bisa percaya kau Ayahku? Dan
Dewa?”
“Aku tidak bisa membuktikannya disini, Delmora.” Ucap Poseidon.
“Tapi aku benar-benar membutuhkan bantuanmu.”
“Untuk apa aku harus membantu orang yang bahkan tidak
kukenal?”
“Aku Ayahmu.”
“Jangan mempermainkanku!” Aku menjerit.
“Aku tidak mempermainkanmu!” Pria Poseidon itu
menghentakkan kakinya. Tiba-tiba lantai rumah itu bergetar seperti sedang
terkena gempa bumi dengan pusatnya adalah pria yang mengaku Dewa itu.
Aku dan orang tuaku terdiam. Sunyi beberapa saat.
“Maafkan aku.” Ucap Poseidon dengan nada tidak enak.
“Tapi sedang ada masalah. Dan aku tidak bisa membereskannya sendiri.”
“Tapi kalau benar kau dewa, seharusnya kau bisa
melakukannya sendiri.” Ucapku.
“Sayangnya aku tidak bisa ke wilayah dewa lain.”
“Apa maksudmu?” Tanya Ibu.
Sang Dewa Laut menceritakan kepada kami tentang dewa lain
yang ingin mengambil wilayahnya. Secara harfiah, aku tidak mengerti sama sekali
alur pembicaraan ini. Semakin didengarkan, orang ini semakin terdengar
mengada-ada.
“Kau masih tidak percaya aku Dewa?” Tanya Poseidon
setelah memandangiku cukup lama.
“Aku masih tidak percaya kau Ayahku.” Jawabku dengan
berani. Entah mengapa orang ini begitu menakutkan, tapi aku sama sekali tidak
ketakutan padanya.
“Aku meniupkan dirimu ke rahim Sonya tujuh belas tahun
lalu. Aku iba melihat ibumu sangat menginginkan kehadiran seorang anak untuk
menemani hidup bersama laki-laki brengsek ini.” Poseidon menunjuk Ayah Dylan.
“Sebenarnya ibumu normal seperti umumnya wanita sempurna. Tapi laki-laki yang
kau panggil Ayah ini meracuninya setiap hari. Ia memberikan ramuan agar ibumu
tidak akan pernah memiliki keturunan. Ia tidak menginginkan kehadiranmu, Delmora.”
“Kau jangan dengarkan orang ini, Delmora. Dia berbohong.
Tentang segalanya.” Ucap Ayah Dylan panik. Aku bisa merasakan seluruh darahnya
membeku. Aneh memang, tapi aku benar-benar merasakan
darahnya tidak mengalir normal.
“Aku tak tahu Ayah.” Ucapku pada Ayah Dylan. “Tapi itu
terasa begitu ganjil. Aku mempercayaimu. Tapi mengapa aku merasa kau bohong
padaku? Darahmu tidak mengalir normal. Kau gugup, Yah.” Kataku, mencoba memberitahu
apa yang aku rasakan walaupun sedikit aneh.
“Kau pasti berimaginasi lagi. Hal yang selalu kau lakukan
tiap waktu.” Ucap Ayah Dylan semakin panik.
Poseidon memecah pertengkaran hangatku dengan Ayah Dylan.
Ia menjentikan jarinya di udara dan sesuatu terjadi. Di udara yang tadinya
kosong dan hampa, kini muncul sebuah bayangan berwarna hijau seperti semacam
hologram. Bayangan itu mulai membentuk tubuh dan wajah seseorang yang aku
kenal. Ayahku, Pak Dylan.
Ayah Dylan dalam hologram sedang membuat sesuatu seperti
kopi yang berwarna seperti susu. Maksudku, warnanya putih seperti susu, tapi
jelas, teksturnya seperti kopi yang akan meninggalkan ampas seduhan di dasar
gelas.
Ia memberikan gelas itu kepada ibuku yang sedang
tertidur. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi ia benar-benar mengalirkan minuman
itu saat ibuku sedang terlelap. Dan anehnya, ibuku tidak merasakan gangguan dalam
tidurnya.
Bayangan hologram Ayah Dylan dan ibuku mulai memudar.
Lalu sedetik berikutnya bayangan lain muncul. Sekarang Ayah Dylan sedang berada
di sebuah kafe bersama beberapa teman lelakinya yang sedang mabuk dan merokok.
“Sudah tiga tahun menikah dan kau masih belum punya anak!”
Ledek salah satu temannya dengan suara kasar dan berteriak.
“Aku sudah bilang seribu kali pada kalian. Anak hanya
akan membuatku menyisihkan uang liburan yang kudapatkan dari istriku
tersayang.” Jawab Ayah Dylan dengan nada orang mabuk.
“Syukurlah orang sepertimu mendapatkan gadis mandul
seperti Sonya.” Sahut temannya yang lain.
“Ini semua berkat ramuan yang aku berikan padanya. Seumur
hidup ia tak akan pernah mengandung anak.” Ucap Ayah Dylan.
Lalu sekali lagi bayangan di hologram itu memudar. Tapi
kini benar-benar pudar tanpa membentuk bayangan baru.
“Dia bohong. Aku tidak pernah begitu. Aku tidak punya
ramuan apapun untukmu Sonya. Aku mencintaimu. Kau tau kita sama-sama
menginginkan seorang anak.” Ucap Ayah Dylan dengan sangat panik.
Lalu Poseidon kembali menjentikan jarinya. Dan sebuah
plastik meluncur keluar dari saku celana Ayah Dylan. “Apa itu terlihat seperti
ramuan di hologram tadi?” Tanyaku polos.
“Persis.” Jawab Ibuku dengan tatapan marah yang belum
pernah kulihat sebelumnya.
“Kau tidak mungkin mempercayai orang asing ini kan
sayang?” Ayah Dylan merajuk di kaki Ibuku.
Ibuku mengalihkan wajahnya dari Ayah Dylan. “Poseidon,
jika kau berkehendak, maukah kau ubah dia menjadi ikan badut? Kami butuh
hiburan setelah semua kejadian menjijikkan ini.” Ucap Ibuku dengan lantang
langsung ke wajah Poseidon.
“Tentu saja sayang.” Jawab Poseidon penuh cinta.
Ia mengangkat trisulanya. Lalu dengan satu gerakan kecil,
di tempat tadi Ayah Dylan duduk, kini ditempati oleh seekor ikan badut berwarna
orange yang melompat-lompat karna tidak bisa bernapas. Ikan badut itu
mengingatkanku pada ikan nemo di film. Tapi lalu aku menyadari bahwa itu
tadinya Ayahku.
Aku mengambil sebuah toples dari rak piring dan
mengisinya dengan air. Kembali ke sofa dan memungut ikan badut itu. Ayah Dylan
berenang cemas mengelilingi rumah barunya itu. Bahkan setelah ia menjadi ikan,
aku masih bisa merasakan ia panik dan pucat.
“Jadi Delmora, apa kau menerima permohonanku?” Tanya Poseidon.
==
Begitulah cara pertemuanku dengan Ayahku, Poseidon.
Secara harfiah aku harusnya marah karena ia telah merubah Ayah selama enam
belas tahunku menjadi seekor ikan badut. Tapi nyatanya aku justru berterima
kasih padanya karena telah menunjukan kebenaran padaku dan Ibu. Ya, aku
menerima permohonannya. Walaupun aku tidak yakin tentang apa yang ia ingin aku
lakukan untuknya.
Hari ini aku tidak masuk sekolah. Setelah mengambil
raport, kita semua liburan selama tiga minggu. Sulitnya mencari liburan di kota
Jakarta yang padat membuat aku dan Ibuku memilih tempat lain untuk berlibur.
Awalnya kami ingin menikmati dinginnya pegunungan di Bogor atau daerah Jawa
Barat lainnya. Tapi Poseidon ingin aku berada di dekat laut agar ia dapat
dengan mudah mengunjungiku. Jadi selama dua minggu kami menyewa vila di salah
satu pulau di kepulauan seribu.
Aku masih belum terlalu mengerti mengenai Dewa Yunani.
Karena aku tinggal di Jakarta, dan tidak ada pendidikan yang mengajariku
tentang sejarah bangsa Yunani, Latin, Romawi maupun Dewa-Dewa mereka. Aku
merasa sangat bodoh karna tidak mengenal Ayahku
sendiri.
Hari ini aku akan diajak oleh Ayah Poseidon melihat ke
dasar laut. Ia akan mengenalkanku pada istananya. Aku sangat bersemangat
mengingat laut adalah tempat yang indah, setidaknya dalam benakku. Tapi aku
punya sedikit masalah yang cukup serius. Aku bernafas dengan paru-paru.
Bagaimana aku bisa menikmati perjalanan bawah lautku kalau setiap beberapa
menit aku harus ke daratan untuk bernafas?
“Kau ini anak Dewa Laut, Delmora. Tak usah hiraukan hal
seperti itu.” Ucap Poseidon ketika melihat semangat di wajahku berkurang.
Padahal aku tidak berbicara sedikitpun mengenai masalahku tadi.
Air kini sudah melewati dagu. Aku masih ragu dengan
perkataan Ayah Poseidon tadi.
Sekarang air telah menelan tubuhku sepenuhnya. Aku masih
menahan nafas selama yang kubisa.
“Delmora, bernafaslah.” Ucap Poseidon dengan tenang.
“Ta-pi bagaimana?” Tanyaku.
Aku masih ragu dengan yang diperintahkannya. Lalu sesuatu
menyadarkanku. Aku ini ada di dalam air. Seharusnya suara manusia tidaklah bisa
terdengar di dalam air.
Lalu kemudian hal itu terjadi begitu saja. Aku menarik
nafas dan tidak menemukan masalah sedikitpun di bagian paru-paru. Hanya seperti
minum air, tapi aku tidak minum. “Bagaimana bisa?” Tanyaku pada Poseidon. Dan
aku mendengar dengan jelas apa yang barusan kukatakan.
Poseidon hanya tersenyum.
Tiba-tiba sebuah kereta perang (sepertinya aku pernah melihat
yang seperti ini di film-film barat) yang ditarik sepertinya tujuh ekor kuda
setengah ikan bersurai panjang menghampiri tempat aku dan Ayah Poseidon
tenggelam. Aneh, padahal seperti baru beberapa meter di bawah air, tapi aku
tidak bisa melihat daratan lagi dari tempatku berdiri? Beberapa meter di atas
kepalaku sudah gelap. Dan apakah laut di kepulauan seribu ini sebegitu dalam?
Aku mengusir semua pertanyaan aneh di kepalaku. Karena
mengakui Ayahku seorang Dewa, sudah akan membuat aku dikucilkan dari lingkungan
dan dibawa ke rumah sakit Grogol.
“Ayo naik, Delmora. Kita tidak akan berenang sampai ke
Istana.” Ucap Poseidon sambil menggandengku naik ke keretanya.
Aku pun naik ke kereta itu dan kontan saja ikan-ikan
langsung membelah kerumunan untuk memberi kami lewat. Ada beberapa ubur-ubur
juga yang berhenti berdengung untuk melihat dengan siapa Dewa mereka. Aku
merasa seperti sedang berada di karpet merah, semua makhluk laut memandangiku
dengan tatapan takjub. Campuran antara takut dan sopan. Dan ada ikan hiu? Di
kepulauan seribu?
“Kita terus berjalan, Nak. Kita sudah sangat jauh dari
kepulauan seribu. Mungkin kita sudah melewati garis benua.” Ucap Poseidon
menjawab pertanyaan dalam kepalaku.
Jika dalam keadaan lain aku bertemu dengan para hiu itu, mungkin
aku sudah menjadi agar-agar ditamatkan oleh taring besar mereka.
“Kita hanya akan sebentar berada di Istana. Kau harus
mulai belajar sedini mungkin.” Ucap Poseidon.
Lalu lamunanku hilang saat itu juga ketika sadar apa yang
sedang menantiku. Mungkin dijadikan agar-agar oleh segerombolan hiu tadi adalah
cara yang lebih lumayan untuk mati.
Lalu ketakutanku lenyap ketika melihat sebuah gerbang
yang tinggi dan megah di hadapanku. Istana Poseidon. Ayahku.
Apakah ini yang dinamakan Atlantis? Semua yang ada disini
telah menyilaukan pandanganku. Kalau ini benar Atlantis, kota itu memang
baiknya menghilang dari peradaban manusia. Karena jika tidak, pasti banyak hal
bodoh dilakukan manusia untuk memperebutkannya.
“Kau bermainlah dengan mereka. Ayah akan memanggilkan
guru yang akan melatihmu selama dua hari disini.” Ucap Poseidon sambil menunjuk
beberapa gadis setengah ikan yang tersenyum malu-malu ketika melihatku.
Next:
Bab 2 (Pelatihan)