Delmora The
Ocean’s Princess
Created By:
Safitri
Tsa’niyah
Bab 3
Lawan
Tersayang
Pagi-pagi sekali ship berpenumpang Oliver berlabuh di
dermaga dekat pondok vila-ku dan ibu besoknya. Baiklah, Oliver hanya akan
disini seharian. Dan aku tidak boleh berbuat mencurigakan. Satu-satunya
harapanku adalah, semoga ayahku tidak muncul begitu saja dari lautan.
“Halo sayang.” Sapa Oliver seraya mengecup keningku.
“Hai.” Balasku.
“Ayo kita masuk dulu. Ibu sudah buatkan sarapan untuk
kita.” Lalu kami berdua masuk ke pondok.
“Hai Oliver. Liburanmu menyenangkan? Bagaimana nilai
raport-mu kemarin? Memuaskan?” Tanya ibuku begitu melihat batang hidung Oliver.
“Ibu, tenanglah. Dia baru saja tiba. Biarkan dia
bernafas.” Ucapku.
“Baik Tante. Masih seperti biasa. Tidak terkalahkan.”
Jawab Oliver sambil nyengir-nyengir memperlihatkan deretan gigi depannya yang bersih
dan rapi.
“Yaudah, sekarang kalian sarapan dulu. Baru nanti
main-main lagi di pantai. Kalau boleh, di dasar laut.” Ucap Ibuku.
Seperti ada yang menekan tombol mute pada kami bertiga, diam aneh langsung menyusul. Untuk Oliver,
mungkin kalimat terakhir ibuku hanya candaan, tapi entah mengapa itu tidak
membuatnya tertawa. Dan bagiku, itu bisa saja membuatku harus menjelaskan
banyak hal pada Oliver.
“Baiklah, ibu mau mandi dulu. Kalian makanlah yang
banyak.” Ucap Ibu seraya menghilang di balik pintu kamar mandi.
“Well, Ibumu tidak banyak berubah. Apa nilai raport-mu
memuaskannya?” Tanya Oliver.
“Ya, kurasa begitu.” Jawabku.
“Dan, dimana ayahmu?” Tanya Oliver.
DEG. Ayahku? Aku tak mungkin bilang kalau dia mungkin
sedang makan rumput laut atau apa di dasar sana. Atau aku bilang kalau ikan
badut dalam toples di sudut itu adalah ayah Dylan.
Oliver masih menunggu jawabanku.
“Emm.. dia kerja.” Jawabku ragu.
“Sekarang dia sudah dapat pekerjaan?”
“Ya, memang sih masih belum tetap. Tapi lumayan juga.”
“Ibumu tidak masuk kerja?”
“Dia ambil cuti untuk menemaniku berlibur.”
“Perfect. Aku harap salah satu orang tuaku bisa seperti
itu.” Ucap Oliver yang membuatku merasa kasihan.
Ibu kandung Oliver sudah meninggal saat melahirkanya. Dan
tak lama setelah itu, ayahnya juga meninggal dunia, ia tinggal bersama neneknya
yang juga sudah tua dan ditinggal kakeknya dua tahun lalu. Satu-satunya
penghasilan bulanan mereka berdua adalah uang pensiun Kakeknya. Untungnya
Oliver bukan cowok yang malas dan gengsi. Setiap pagi ia bekerja mengantar
koran dengan sepedanya.
Aku hampir saja menyuruhnya berlibur denganku sampai tahun
ajaran baru dimulai. Dan dengan begitu, aku tidak akan bisa berlatih lagi
bersama Ayahku. Aku hanya tersenyum.
“Aku sayang kamu, Oliver.” Ucapku.
Oliver membalasnya dengan senyuman paling manis yang
dimilikinya. Dia memang punya wajah yang amat tampan. Sampai-sampai di sekolah
ia dijuluki memiliki ketampanan seorang Dewa. Dewa? Tapi bukan hanya itu yang
membuatku menyukainya. Ia pribadi yang baik, mudah bergaul, percaya diri dan
bijaksana. Ia juga seorang ketua OSIS di sekolahku. Otaknya juga tidak hanya
penuh dengan kebaikan, ia tak pernah melepas predikat peringkat satu di
sekolah. Semakin kuceritakan kelebihannya, aku semakin merasa iri. Tapi ada
satu hal yang paling ia takutkan. Laba-laba.
==
Hari ini aku menghabiskan sebagian besar waktu di pantai bersama
Oliver. Kembali ke pondok hanya untuk makan atau mengambil camilan saja. Kami
memang sering menghabiskan waktu bersama. Tapi semakin sering kami
bersama-sama, itu semakin bagus kan?
Semua tampak indah dan normal sampai waktu hampir
menunjukan waktunya Oliver pulang. Dan sesuatu yang tak kuinginkan pun terjadi.
Ayahku datang dengan wujud orang tua. Tapi aku tetap bisa
mengenalinya dengan baik. Karena aku melihat cahaya hijau disekujur tubuhnya.
Aku tidak tahu apakah Oliver melihat hal yang sama. Tapi ayahku bilang, yang
bisa melihat tanda-tanda Dewa hanyalah Dewa atau anak-anak Dewa.
Aku dan Oliver sedang duduk di sebuah batu karang di tepi
pantai. Lalu pertanyaanku terjawab begitu Oliver bertanya padaku.
“Delmora, apa kau lihat laki-laki yang disana itu?”
Tanyanya sambil menunjuk ke arah laki-laki tua—ayahku.
“Kenapa?” Gumamku.
“Dia tampak, bercahaya.” Jelas Oliver dengan sedikit
bingung.
“Tentu saja dia bercahaya. Matahari sedang sangat panas
sekarang ini.” Aku berusaha membelokan pandangannya.
“Bukan. Dia bercahaya hijau terang. Bukan matahari.” Ucap
Oliver lagi.
“Kau pasti bercanda, sayang. Mana mungkin ada orang yang
bisa bercahaya hijau?”
“Tapi itu yang kulihat.”
“Kau pasti mulai lelah dan kehausan. Ayo kita minta
dibuatkan es. Ibu pasti akan senang hati membuatkannya.”
Lalu kami bangkit dari karang itu dan menuju pondok.
Ayahku hanya menatapku lembut. Tapi aku merasa ia tidak terlalu suka pada
Oliver. Apa semua Ayah mempunyai sifat sama yang membenci anak laki-laki?
==
“Kau lebih dari yang kukira, Delmora.” Ucap Poseidon.
Hari ini aku kembali ke dasar laut. Memulai pelajaranku
yang kedua. Tapi begitu kami tiba di aula istana, ayahku berbalik memandangku
dengan mimik wajah yang sangat sulit ditebak. Campuran antara senang, gelisah
dan khawatir.
“Apa maksudmu?” Tanyaku.
“Kau sudah bertemu dengannya.” Jawab Poseidon tenang.
“Dengan siapa?” Tanyaku.
“Anak dewa yang akan kau lawan.”
“Siapa maksud ayah?”
“Laki-laki yang kemarin mengunjungimu dan bermain di
pantai.”
“Oliver?”
“Kau kenal baik dia, kan?”
“Tapi apa maksudmu ‘anak dewa yang akan kulawan’? kau
tidak berpikir kalau salah satu orang tua Oliver adalah dewa, kan?”
“Tepat sekali.” Gumam Poseidon. “Dia bisa melihatku.”
“Tapi itu tidak berarti apapun, Yah.” Aku mencoba
mengelakkan berita mengejutkan ini.
“Apa kau tidak pernah bertanya-tanya mengapa cowok
setampan dan seberani dia takut pada Laba-laba?”
“Dia bilang karena laba-laba hewan menjijikkan yang
kakinya banyak.”
“Bukan. Tapi karena laba-laba punya dendam dengan Ibunya.
Bisa kau tebak siapa dia?”
“Ayolah Yah, aku kan tidak tahu cerita dewa-dewi Yunani.”
“Baiklah. Temanmu yang bernama Oliver itu putra Dewi
Athena.”
“Dewi Athena?”
“Dewi perang dan kebijaksanaan.” Jelas Poseidon.
“Sayangnya saat ini suasana hatinya sedang tidak enak. Terutama pada ayah.”
“Kenapa dia membenci ayah?”
“Karena ayah pernah melakukan kesalahan.”
“Apa?”
“Emm.. sebenarnya sulit untuk menceritakan permasalahanku
dengan Athena. Lebih baik kau baca sendiri kisahnya. Itu sudah terjadi cukup
lama.”
“Kau tahu aku tidak suka membaca, Yah.”
“Bahkan untuk mengetahui sejarah ayahmu?”
“Yah.”
“Baiklah.” Nada suara Ayahku berubah menjadi gugup dan
sedikit ragu-ragu. “Begini ceritanya, dulu sekali aku punya seorang kekasih.”
“Lalu?”
“Aku berkencan di kuil Parthenon milik Athena.”
“Apa yang buruk?”
“Kau tau, cara berkencanku dulu tidak sama seperti ketika
kau menghabiskan waktu dengan cowok bernama Oliver.”
“Kau berdosa.”
“Dewa tidak begitu baik, Delmora.”
“Biar kutebak. Emm,, pasti Athena marah padamu, kan?”
“Bukan main dia marah padaku. Dia mengutuk pacarku
menjadi monster. Padahal ia dulunya adalah wanita yang sangat cantik.” Poseidon
memandang jauh seperti mengenang.
“Lalu apa hubungannya dengan laba-laba? Apa dia mengutuk
pacarmu menjadi laba-laba?”
“Tidak tidak. Itu beda cerita lagi. Intinya aku dan
Athena sampai sekarang tidaklah berteman baik. Jadi rasanya sangat janggal
kalau kau akur dengan putra Athena. Apalagi sampai saling menyayangi.”
“Tapi, Yah.”
“Aku tidak menginginkan ini, Delmora. Tapi kau harus
mengerti. Saat akan dilahirkan, Athena diramalkan bisa menggulingkan Zeus, Ayah
dari para Dewa. Dan itu bukanlah tanggungan yang kecil untuk dewa-dewa yang
lain.”
“Kau takut padanya?”
“Tidak bisa disebut takut. Aku hanya merasa bersalah.”
“Tidakkah kau pernah meminta maaf padanya?”
“Dia tidak mungkin memaafkanku.”