Dari SD sampai SMP gue benci banget pelajaran Bahasa Inggris. Tapi entah mengapa, gue menjadi murid kesayangan guru Bahasa Inggris di SMA.
Alasan guru Bahasa Inggris mengidolakan gue di
kelasnya adalah, katanya Bahasa Inggris gue bagus. Dia belum pernah menemukan
anak yang secemerlang gue selama dia mengajar di sekolah itu. Dia bilang dari
cara gue bicara dengan Bahasa Inggris, pengucapan gue bukan seperti anak-anak
yang lainnya (fyi ini sebelum medsos se-berkembang sekarang dan anak-anak jago-jago banget bahasa inggris). Dari segi penulisan dan penguasaan kosakata pun gue lebih unggul. Padahal untuk ukuran anak-anak di SMP gue dulu, gue itu--mainstream banget.
Lalu dia makin jatuh hati setelah melakukan tes lab
Bahasa Inggris pertama kali pada angkatan gue saat itu. Jadi tes lab Bahasa
Inggris yang gue maksud disini itu mirip tes TOEIC atau TOEFL gitu. Tes yang
terdiri dari beberapa bagian seperti Speaking, Listening, Reading dan Writing yang
kebanyakan soalnya dibacakan oleh kaset yang
diputar di ruang lab.
Saat itu gue mengerjakan ujian dengan durasi yang
sama dengan anak-anak lain di angkatan gue. Dan gue pun ngga mendapatkan
pelajaran tambahan sebelumnya. Tapi gue merasa kalau ujian Bahasa Inggris saat
itu bisa gue kerjakan dengan baik walaupun banyak soal yang gue ngga yakin
pasti benar jawabannya.
Mengenai soal Listening, menurut gue, gue cukup familiar dengan mendengarkan orang bicara Bahasa Inggris lewat kaset. Thanks to DVD bajakan yang gue beli di abang-abang pasar malem, kebanyakan film barat yang gue tonton dari kaset abang-abang itu subtitle-nya ngaco dan kadang terjemahannya ngasal banget. Jadi, selama gue nonton film dari kaset bajakan itu, keseringan gue nonton film sambil megang kamus dan remote untuk pause beberapa scene yang dialog nya panjang dan ngga ada subtitle nya. Iya, emang se-repot itu.
Setelah hasil dari ujian itu keluar, dari awal gue
masuk kelas Bahasa Inggris, (SMA gue moving class, jadi gurunya udah nungguin
di dalam kelas dan kita yang samperin gurunya) btw kelas Bahasa Inggris menggunakan ruangan lab
bahasa, tahu warnet atau game center kan? modelnya begitu, bedanya ngga ada PC nya aja, cuma ada headset sama beberapa tombol di mejanya yang terintegrasi
sama PC guru untuk jawab pertanyaan.
Wajah guru gue saat itu rada aneh. Jutek ke anak-anak tapi senyum lebar begitu lihat gue melewati ambang pintu.
Tanpa basa basi, setelah anak terakhir masuk ke
dalam kelas dan menutup pintu di belakangnya, guru gue langsung mencak-mencak. Dia marah-marah ke semua anak-anak di kelas.
Dia kecewa karna hasil test waktu itu benar-benar
hancur parah. Sewajarnya anak-anak, mereka pun kepo dong separah apa hasil test
itu sampai-sampai guru yang terkenal student-friendly itu
mencak-mencak keheranan.
"Emang sesulit apa sih ini soalnya? Masa nilai
kalian anjlok semuanya? Bukan cuma kelas ini doang, empat kelas yang Ma'am ajar
nilainya begini semua."
Berapa sih nilainya Ma'am, kepo ih.
Sampai ada satu anak perempuan yang memang terkenal
suka deketin guru-guru gitu, maju ke meja guru Bahasa Inggris tersebut untuk
membicarakan secara diplomatis soal hasil ujian yang katanya hancur banget
banget itu.
Biasanya guru itu fine aja sama si anak
itu, tapi kali ini si anak langsung disuruh duduk mentah-mentah dan agak kasar.
Atas desakan banyak mulut di kelas itu, guru itu
pun membacakan nilai secara random.
"Nih, masa si Budi dapet nilai 8." ucap
guru itu. By the way, si Budi ini biasanya paling semangat sama setiap pelajaran dan selalu disebut caper sama guru-guru.
Kelas langsung ribut. Mereka berpikir kalau dapat
nilai 8 aja sudah hancur, apa sih yang dimau guru ini?
"Yaelah Ma'am itumah bukan
hancur, Ma'am nya bercanda aja nih." celetuk salah satu anak.
"Hey, skor nilai tertingginya itu 100
tahu!" Bentak guru itu.
Kelas langsung sunyi, namun tak berapa lama
beberapa anak mulai tertawa dan mulai berbisik dan celoteh lagi. Guru itu
memang sedikit membentak, namun nadanya tidak serius benar-benar marah.
"Tuh, si Siti dapat 15, Aminah dapat 18,
paling banyak tuh yang belasan."
Guru itu menarik nafas dalam sebelum melanjutkan
bicaranya.
"Kelas ini cuma dua orang yang lulus KKM
(--Lupa deh ini kepanjangannya apa, pokoknya batas aman nilai lulus gitu deh).
Sania sama si Anu."
Seketika saja semua mata tertuju pada gue yang lagi
serius nyimak guru itu tapi masih ngga sadar kalau nama gue yang disebut lulus KKM, soalnya
guru ini kalo manggil itu nama belakang gue, katanya nama belakang gue manis.
Berapa Ma'am? Ucap seseorang di belakang gue.
"Si Anu dapat nilai 60." ucap guru itu.
"Safi berapa Ma'am?" teriak salah
seorang dari ujung kelas dengan tingkat kepo level 9.
"Safi dapat nilai tertinggi diantara semua
kelas yang Ma'am ajar. 86."
Whaatthefaaakk. Serius lo?
Seketika semua langsung berisik lagi. Karena gue di
sekolah itu tidak mencerminkan sikap seorang anak yang pintar dan teladan. Gue lebih sering terdengar sebagai anak tenang tapi troublemaker, bukan tipe yang sering menawarkan diri untuk bantu guru hapus papan tulis, ngumpulin atau bagiin kertas ulangan, atau sekedar ngambilin barang-barang guru yang ketinggalan dari ruang guru. Pokoknya gue berusaha sebisa mungkin untuk ngga kelihatan deh di kelas. Jadi yaa anak-anak pada
penasaran kenapa gue bisa dapat nilai tertinggi. Banyak yang 'wiih anjir keren.' ada juga yang 'contekannya mantap banget.'
I don't give a shit, bro.
Saat itu gue beneran ngerjain soal sendiri. Tanpa nyontek, tanpa bantuan temen, tanpa tau kunci jawaban. Gue yang malah keheranan sama teman sekelas yang lain. Karena menurut gue, soal yang kemarin buat ujian itu ngga terlalu susah. Gue sudah belajar semua materi pelajarannya di SMP. Yang literally, pelajaran Bahasa Inggris ya emang gitu gitu aja. 16 tenses, Modals, Clauses sentense, dan pengulangan dari materi SMP lainnya. Satu-satunya yang baru disitu adalah pengajarnya..
--D Ark R Ain Bow--
0 comment:
Posting Komentar
Come share to us !!