Rabu, 17 Desember 2014

Delmora The Ocean's Princess: Bab 6 (Berburu Ular)

Delmora The Ocean’s Princess







Created By:
Safitri Tsa’niyah





 Bab 6
Berburu Ular
“Baiklah, Ma. Aku mau keluar cari makan. Mama istirahatlah duluan.” Ucap Oliver.
“Mama hampir lupa kamu ini manusia yang membutuhkan makanan. Pergilah, isi perut dan tenagamu. Aku akan menunggu kamu kembali bersama gadis itu.” Medusa berkata ceria.
Tak bisakah Medusa membaca pikiran? Tidak. Sebab kalau ya, dia pasti sudah murka karena tahu Oliver tahu dia bukan Athena. Tapi sampai sekarang dia masih berpura-pura menjadi Athena.
Tak sampai sepuluh detik berikutnya, Oliver sudah sampai di depan pintu dan langsung menyapaku dengan suara hampir seperti bisikan. Anehnya, aku mendengar sebuah desisan aneh di sekitarku.
“Ayo kita makan malam, Delmora. Aku tahu kamu lapar.” Ajak Oliver sambil menggandengku meninggalkan rumahnya.
Desisan itu semakin keras kudengar. Tapi dari mana?
Kami berhenti di sebuah warung makan pecel ayam. Aku memang lapar sekali. Mengingat tadi sebelum kabur aku tidak sempat makan apapun dari rumah. Dan ini sudah larut. Perutku pantas mendapatkan haknya sekarang.
“Kamu ngga makan, Oliver?” Tanyaku.
Oliver hanya memesan satu porsi untukku. Padahal pasti dia juga belum makan malam.
“Aku ngga lapar.” Jawab Oliver. “Kamu makan aja. Setelah itu kita ke rumahku lagi. Mama mau ketemu sama kamu.”
Kenapa deh Oliver ini? Kenapa dia aneh? Bukannya tadi kita udah susun rencana buat bunuh Medusa? Kenapa dia malah mau bawa aku masuk gitu aja ke Medusa? Kita berdua bisa jadi patung batu.
“Ada masalah, Oliver?” Tanyaku ragu-ragu.
“Apa maksud kamu? Aku gapapa. Hanya aja, mamaku pengen ketemu kamu.”
“Tapi apa kamu lupa sama rencana kita?”
“Ada perubahan rencana, sayang.” Oliver berkata dengan cengiran menghiasi wajahnya yang kini tampak ganjil? “Athena selalu punya rencana.”
“Baiklah.” Ucapku nurut.
Setelah aku menghabiskan makananku, kami pun berjalan kembali ke rumah Oliver. Aku merasa takut. Biasanya jika sudah berada di dekat Oliver, rasa takutku hilang. Tapi aku justru lebih ketakutan berada di dekatnya. Aku mendengar desisan itu lagi.
Oliver membuka pintu rumahnya perlahan dan memaksaku melihat isi di dalam rumah itu. Daann..
Ada dua Oliver.
Kepalaku mulai bingung. Manakah Oliver yang asli pacarku? Yang sedang terikat di bangku atau yang ada di sebelahku? Lalu Oliver yang diikat di bangku berteriak. “Delmora! Jangan lihat dia!!”
Tanpa sadar, aku bukannya menuruti perintah Oliver yang terikat di bangku itu, aku justru secara refleks mengeluarkan pedangku dan menebas udara di sebelah kananku. Tepat mengenai leher Oliver—yang tadinya leher Oliver. Karena tiba-tiba saja aku sudah menebas mati Medusa. Tapi sialnya, aku sempat melihat mata yang abu-abu kelam penuh kebencian milik mantan pacar ayahku itu. Tubuhku pun mulai kaku dan detik berikutnya aku tidak bisa merasakan lagi seluruh bagian tubuh yang kupunya.
“Delmora!” Aku mendengar Oliver memanggil namaku. Aku mendengarnya. Tapi aku ngga bisa balas bicara atau menggerakkan bola mataku untuk menatapnya.
“Delmora maafkan aku.” Ucap Oliver lagi.
Lalu kedengarannya Oliver menarik sesuatu dari lemarinya untuk menutupi mata Medusa.
“Delmora, ini semua salahku.” Oliver mulai menangis—sepertinya di kakiku.
==
Ini adalah hari ke lima aku menjadi patung batu kutukan Medusa. Aku tahu Medusa tidak akan mati selamanya. Tapi aku tahu, aku akan menjadi batu selamanya. Medusa itu iblis. Sedangkan aku kan hanya manusia biasa. Nyawaku hanya satu dalam hidup ini. Kecuali aku benar-benar sudah mati, mungkin Hades akan memperhitungkan aku untuk dilahirkan kembali dan aku akan menuju Elysium untuk direinkarnasi. Tapi jiwaku masih tetap berada pada tubuhku yang sudah membatu ini.
Aku tinggal di rumah Oliver sejak diubah oleh Medusa. Tapi kini ia telah memindahkanku ke kamarnya. Setiap hari Oliver selalu bersenandung dalam bahasa yang sedikit sulit kumengerti pada awalnya. Sampai aku baru menyadari yang ia senandungkan adalah bahasa Yunani. Kira-kira begini kedengarannya:
Pãei dynãmeis tou kakó
Epanèlthete se kanonikí
Theoí na mas voíthísei
Dióxoun aftí i katãra
Aku ngga ngerti apa arti kata-kata itu walaupun ayahku ngotot untuk mengajariku bahasa Yunani. Tapi aku berharap kata-kata itu adalah semacam mantra untuk bisa mengembalikan tubuhku. Kulihat Oliver sangat sedih semenjak aku berubah menjadi batu. Ingin rasanya aku menghapus air matanya saat dia menangis. Tapi untuk berkedip saja, saat ini aku tidak bisa. Aku sangat merindukan kamar mandi dan bayanganku di cermin.
Matahari mulai turun di cakrawala. Ya, berarti ini akan menjadi keenam kalinya aku melihat matahari terbenam dari jendela kamar Oliver. Kini matahari benar-benar telah terbenam. Lampu kamar Oliver yang belum dinyalakan membuatku kesulitan melihat.
Aku mengucek kedua mataku dengan punggung tangan seraya menguap. Rasanya pegaaal sekali.
Eits, tunggu.
Mengucek mata? Dan menguap?
Aku bisa bergerak?
Benarkah ini? Aku bisa bergerak?
Aku langsung meloncat dan berlari mengelilingi kamar Oliver seperti balita yang baru saja mendapatkan permen gratis. Aku bisa bergerak! Aku bukan batu lagi!!!
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, lampu menyala dan Oliver masuk. Aku melihat jelas senyuman terlukis lebar di wajahnya yang super tampan itu.
“Oliver.” Panggilku.
“Hai Delmora.”
Aku langsung berlari ke pelukannya. Aku sangat merindukan Oliver dan semua otot yang bisa kugerakkan. Tapi begitu dalam pelukannya, aku tidak ingin cepat-cepat beranjak.
“Aku kangen kamu.” Ucapku.
“Aku lebih kangen kamu.” Oliver membalasku sambil mengelus lembut rambut di punggungku yang kaku.
Oliver mencium keningku.
Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Bagaimana bisa kutukan gorgon dipunahkan? Aku melepaskan pelukan Oliver dan duduk di tepi tempat tidur. Oliver mengikutiku.
“Oliver, bagaimana bisa kamu menghilangkan kutukan Medusa?” Tanyaku.
“Aku hanya berdoa pada para dewa untuk mengampunimu.” Jawab Oliver.
Aku meneliti tiap senti guratan pada wajah Oliver. Wajahnya masih sama tampannya ketika aku melihatnya terakhir kali. Tapi kini ia tampak lebih tua dan kelelahan. Aku lihat ia memang jadi jarang tidur dan lebih memilih memandangi patungku sepanjang malam. Aku merasa sangat kasihan padanya.
“Apa yang kamu ucapkan pada dewa-dewa?” Tanyaku lagi.
“Hanya satu dewa yang pernah lolos dari kutukan Medusa.” Jawab Oliver.
Aku memutar otakku. “Ibumu.” Ucapku.
“Ya. Tentu saja. Zeus selalu memaafkan kesalahan ibuku. Bahkan dia juga membebaskan Athena dari kutukan Medusa.”
“Tapi setahuku dia tidak pernah berbelas kasihan pada Poseidon.” Ucapku. “Ataupun anaknya.”
“Bukan Zeus yang membebaskanmu. Tapi Athena.”
“Tapi bagaimana bisa?”
“Athena memberimu kebebasan pada malam hari ketika kekuatan bulan telah muncul dan menyinarimu. Dan ketika fajar tiba, kutukan itu akan ada lagi.”
“Kenapa begitu?” sesuatu mengganjal lagi lubang di hatiku yang tadinya telah luruh.
“Karena aku masih belum bisa menemukan Athena. Dia bisa menghilangkan kutukan itu sepenuhnya, tapi aku hanya setengah Athena. Aku hanya bisa menghilangkannya setengah.”
Jadi begitu. Ternyata yang setiap hari disenandungkan Oliver adalah benar-benar mantra untuk membebaskanku.
“Baiklah, kalau begitu kita harus menuntaskan misi kita, Oliver. Kita harus mencari Athena.” Ucapku.
“Aku telah berusaha mencarinya kemana-mana. Tapi aku tetap belum mendapat petunjuk apa-apa.”
“Aku akan ikut mencari.”
“Apa?” Oliver tersentak kaget. “Apa kamu gila?”
“Ngga kok. Aku serius. Aku akan bantu cari Athena.”
“Tapi keadaan kamu—“
“Kita bisa cari di malam hari. Atau seengganya setelah matahari tenggelam. Aku yakin kita akan temukanibu kamu, dan aku bisa balik seperti dulu lagi.”
Oliver menatapku sejenak kemudian kembali memelukku. Aku tahu dia mengkhawatirkan keadaanku lebih dari yang aku sendiri bisa khawatirkan.
          Kami saling berpelukan untuk beberapa saat, lalu aku melepaskan pelukannya.
          “Apa ibuku sudah tahu keadaanku sekarang?” Tanyaku.
          Oliver menggeleng.
          “Baguslah kalau begitu. Aku baru akan kasih kabar kalau kita sudah benar-benar berhasil dengan misi kita.”
          “Tapi mungkin ayahmu sudah tahu.” Ucap Oliver.
          “Dia ngga akan balikan dengan Medusa.”
          “Tentu. Siapa juga yang suka cewek kasar kayak dia.”
          Kami diam sejenak.
          “Ayah. Dia dewa. Kita bisa minta bantuan padanya.” Ucapku.
          “Ide bagus. Kita minta bantuan Poseidon untuk mencari Athena, musuhnya.” Oliver berkata dengan nada yang aneh.
          “Oliver, siapa bilang ayahku dan ibumu itu musuhan? Mereka hanya tidak akur. Itu saja.”
          “Mungkin kamu benar, Delmora. Tapi cara pemikiran dewa berbeda dengan kita.”
          Aku mengangguk. Lalu perutku terdengar keroncongan.
          “Sepertinya kamu lapar.” Ucap Oliver.
          “Sangat.” Ucapku.
          “Ayo kita ke dapur dan temukan sesuatu untuk dimakan. Sepertinya masih ada beberapa bahan makanan di kulkas.” Ajak Oliver. “Kamu bisa masak kan? Waktu itu kamu berlatih dengan ibumu.”
          Aku tertawa kecil. “Sebenarnya waktu itu aku ngga berlatih masak. Tapi—“
          “Berenang atau kegiatan air lainnya bersama Poseidon.” Potong Oliver.
          “Ya.” Ucapku. “Maaf karena bohong sama kamu.”
          “Gapapa kok.” Oliver kembali melayangkan senyuman termanisnya padaku.
          “Ayo kita makan. Lima hari tanpa makan dan minum.” Aku merangkul Oliver dan mengajaknya ke dapur. Aku memang sangat merindukan makanan.
==
          Semalam aku menghabiskan waktu bersama Oliver sampai pagi menjelang. Kami sepakat untuk mulai pencarian Athena pada malam berikutnya. Oliver butuh istirahat yang cukup sebelum berangkat, dan aku pun akan istirahat selagi kembali ke bentuk patungku. Saat jam di dinding menunjukkan pukul lima, kami bersiap pergi tidur. Kembali ke kamar Oliver dan kami berbaring bersampingan—tidak ada salahnya tidur bersama sebuah patung, kan? Dan ketika matahari terbit, tubuhku mulai kaku lagi.
          “Dah Oliver.” Ucapku sebelum batu merayap ke mulutku.
          “Sampai ketemu, sayang.” Balas Oliver lalu yang terakhir kulihat, dia tertidur bersandar padaku.











 Previous: 
 Bab 5 (Kabur)

0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!