Semua orang itu sama. Yang membedakannya adalah bagaimana cara berpikir mereka. Dan apakah mereka cukup berani untuk melakukan apa yang mereka pikirkan.
"Emm.. Kamu sadar yang kamu bilang, Kee?" Tanyaku.
"Apa?" Ucap Kee tidak mengerti.
"Apa kamu baru aja melamarku?" Tanyaku dengan nada bergetar. Aku malu sekali mengatakan hal ini.
"Apa itu terdengar seperti melamar?" Keenan balik bertanya.
"Aku ngga tau." Ucapku jujur.
Keenan tersenyum. "Sheerin, aku akan melamarmu dengan suasana yang lebih manis suatu hari nanti." Ucapnya dengan kedua bola mata menatap tajam padaku.
Seluruh wajahku panas. Aku rasa saat ini inderaku berfungsi sebagaimana mestinya seorang gadis tersipu malu. Aku makin merasa malu pada diriku sendiri.
Kami mulai menjauh meninggalkan lingkungan penjara.
***
Aku makan siang di salah satu restoran cepat saji. Jujur saja, aku sangat mencintai makan ayam goreng tepung yang katanya makanan sampah itu. Tapi makan siangku kali ini tidak senikmat biasanya. Aku masih belum mendapat kabar dari sahabat kesayanganku yang sedang pergi kencan dengan pacar barunya. Dan harus kuakui, menunggu kabar itu ternyata membuat jantungku was was. Bagaimana tidak. Orang yang kutunggu sedang bersama dengan orang yang sama sekali tidak kuharapkan.
"Ayolah sayang. Jangan muram begitu. Kita kan juga sedang kencan." Ucap Keenan seakan baru saja membaca pikiranku.
"Oh, apa kamu lagi ngga ada kerjaan, Kee? Aku bosan." Ucapku.
"Sepertinya ngga. Aku lagi malas ambil bagian." Jawab Keenan.
"Sungguh? Tadi kamu kayak mau mangsa waktu Kak Lisa ngejek." Ledekku.
"Yah. Itu kan beda. Aku cuma tinggal menghabisi dia tanpa banyak pikir dan menyusun rencana. Aku cuma lagi malas mikir aja." Ucap Keenan.
"Wah kalau begitu berarti kamu harus mulai pensiun dini sayang." Ucapku seraya tertawa.
"Dan biar kutebak siapa yang akan mengambil pekerjaanku.." Ucap Keenan.
"Taraaa Sheraphyna Shine yang berkilauan." Aku melanjutkan kalimatnya lalu tertawa.
"Hey, aku ngga akan ngebiarin seorang amatir mencuri pekerjaanku." Ucap Keenan.
Aku hanya tertawa.
Tiba-tiba handphone Keenan yang tergeletak di atas meja berdering. Karena kedua tangan Keenan sedang mengeksekusi sepotong ayam, aku otomatis langsung mengambilnya dan melihat siapa yang telpon,
"Halo, Ma." Ucapku mengangkat telpon dari mamanya Keenan.
"Oh, kenapa kau yang angkat telponku, Mice." Ucap mama Keenan di seberang.
Mamanya Keenan memanggilku Mice=tikus. Itu terjadi karena menurutnya aku ini seekor makhluk pengerat kecil yang sangat menggangu.
"Kalian ada dimana?" Tanya mama Keenan.
"Kami sedang makan siang." Jawabku.
"Oh baiklah. Dua puluh menit lagi aku tunggu di rumah. Ada hal yang harus kalian lakukan untukku." Ucap mama Keenan.
"Baiklah. Kami akan langsung kesana, Ma." Ucapku.
"Jangan terlambat, Mice." Ucap mama Keenan lalu mengakhiri telpon kami.
Aku kembali ke makan siangku. Kini dengan semangat yang agak aneh.
"Untung kita ngga terlalu jauh dari rumah kamu, Kee." Ucapku. "Dia punya tugas untuk kita."
Keenan menelan suapan terakhirnya agak buru-buru untuk menjawab "Atau mungkin mama udah tau kita ngga terlalu jauh dari rumah."
Setelah perut terisi penuh, kami melanjutkan kencan kami ke rumah keluarga besar Killian. Aku sedikit melupakan sahabatku Diva karena aku tahu nanti akan sangat seru.
Keenan memarkirkan mobilnya di halaman rumahnya yang luas seperti biasa. Kulihat mobil papanya juga sudah terparkir manis di sebelah mobilnya. Mobil itu tampak sangat kotor dan velg bannya dipenuhi lumpur yang mengeras.
"Mereka dari jauh ya?" Tanyaku.
"Sepertinya begitu." Jawab Keenan. "Ayo. Kita terlambat 2 menit."
Aku mengikuti langkah Keenan yang membawaku ke belakang rumahnya. Disana ada sebuah pintu yang tertimbun di tanah. Ini adalah kali kedua aku masuk ke ruangan dibalik pintu kecil itu. Pertama kali aku masuk kesana orang tua Keenan tampak seperti hendak membuang bangkai tikus--mungkin karena itu juga aku dipanggil Mice--hidung mereka tidak berhenti mengembang dan dua pasang mata tajam yang menyipit menempel pada penampilanku yang bisa dinilai 6/10.
Aku menuruni anak tangga berlumuran darah dengan hati-hati. Berusaha untuk tidak terpeleset atau menyentuhkan kulitku dengan cairan berwarna merah berbau amis itu. Karena biasanya darah yang sudah tercecer seperti itu, banyak ditumbuhi bakteri yang membuat kulitku gatal.
Setelah menuruni tangga sekitar tiga meter dibawah tanah, kami tiba pada ruangan yang bisa dibilang luas untuk ukuran ruang rahasia bawah tanah. Kedua orang tua Keenan bersama adik kecilnya Grace tampak tengah menunggu kami.
Pakaian yang dipakai mama dan papa Keenan berlumuran darah. Di belakang mereka terlihat samar olehku sesosok tubuh seorang wanita, terbaring tanpa busana.
Di sebelah ranjang yang ditiduri wanita itu ada meja berukuran kira-kira 70 x 70 senti dengan berbagai jenis dan ukuran pisau dan gunting tertata rapi dan bersih diatasnya.
Aku tahu seharusnya ketika bertemu dengan orang tua dari pacar, biasanya kita saling bersapa. Tapi kebiasaan itu tidak berlaku untuk keluarga ini. Mereka tidak terlalu mementingkan kesopanan, mereka lebih suka orang yang tidak banyak bicara tapi punya skill luar biasa. Dan aku menyukai itu.
"Sepertinya dia masih muda." Ucap Keenan mendekati tubuh si wanita sambil memperhatikan wajahnya.
"Berapa umurnya?" Tanyaku ikut mendekat untuk melihat lebih jelas wanita itu.
"Delapan belas tahun. Kelas dua SMA." Jawab papa Keenan dengan nada yang tidak sama sekali menunjukkan sifat kebapakan. Suaranya sedingin es.
"Tumben anak muda." Bisikku kepada Keenan.
Keenan memasang sarung tangan karet ke kedua belah tangannya yang panjang-panjang. Lalu menyentuh bagian kiri dada si wanita dan berjengit.
"Dia masih hidup?" Ucap Keenan langsung menjauhkan tangannya.
"Klien kami bilang mereka tidak peduli pada tubuhnya. Mereka hanya ingin anak ini hilang dari pandangan. Jadi sayang sekali kan kalau tubuhnya tidak dimanfaatkan." Ucap mama Keenan.
Aku menelan ludah ke tenggorokanku yang tiba-tiba kering secara misterius.
"Jadi tugas kami memisahkan bagian tubuhnya sebelum membunuhnya?" Tanya Keenan serius.
"Tentu. Jarang sekali kita punya objek hidup untuk dipraktekan pada Grace. Kurasa ini suatu keberuntungan." Ucap mama Keenan.
"Sejujurnya aku ingin sekali mendapat kesenangan membedahnya. Tapi mamamu bilang kami harus melayani klien selanjutnya." Ucap papa Keenan.
"Kalian langsung pergi?" Tanyaku.
"Ya, Mice. Waktu adalah nyawa. Semakin kau lambat, semakin sedikit nyawa yang bisa kau hilangkan." Ucap mama Keenan.
"Kami akan langsung pergi setelah mandi." Ucap papa Keenan.
"Selamat bersenang-senang kalian bertiga." Ucap mama Keenan seraya mengecup kening Grace lalu memanjat naik ke tangga keluar.
Tersisalah kami bertiga. Keenan masih terus memperhatikan dan meneliti tiap senti kulit si wanita. Aku tahu wanita itu masih hidup. Tapi tidak akan lama lagi.
Di sisa ranjang yang ditiduri wanita itu ada sebuah berkas dalam map berwarna merah hati. Aku membuka berkas tersebut dan melihat foto diri si wanita beserta dengan kartu identitas dan biodata lainnya. Nama gadis itu Marleen. Kalau aku punya hati, aku pasti merasa kasihan pada cewek ini. Usianya baru delapan belas tahun dan harus mati di usianya yang masih remaja itu. Sebuah keberuntungan sebenarnya dia lahir di keluarga yang kaya raya. Pewaris tunggal dari perusahaan internasional yang sukses di negara ini dan beberapa negara di Asia Tenggara lainnya. Namun nasib buruk karena memiliki seorang paman yang haus kekayaan. Cewek ini dibunuh oleh pamannya sendiri yang menginginkan perusahaan ayahnya jatuh ke genggamannya. Wajahnya juga sangat cantik. Aku yakin banyak sekali cowok yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan gadis ini.
Diantara berkas yang tersusun rapi di map merah hati itu, ada sebuah kartu nama berwarna hitam dengan tulisan berwarna emas yang berbunyi: 'Xs Corp.' dan sederetan nama dan nomor telpon. Kurasa ini milik paman dari gadis ini. Karena sepertinya kartu nama ini tidaklah resmi milik perusahaan Xs. Tidak ada logo atau keterangan alamat lengkap pada kartunya.
Aku menutup berkas itu dan menyegelnya dengan coretan tinta merah berbunyi: 'BY MR. AND MRS. KILLIAN'.
"Kau akan dapat menulis namamu sendiri suatu hari nanti." Ucap Keenan yang ternyata lama memperhatikanku.
Ya. Aku akan menjadi pembunuh bayaran berikutnya di keluarga ini. Kemampuanku memang masih bisa dibilang standar agak tinggi sedikit dari yang bisa dilakukan Grace. Tapi setelah orang tua Keenan mengizinkanku untuk masuk ke dunia mereka, mereka dengan murah hatinya mengajariku beberapa cara dan teknik dalam keluarga ini.
Keluarga Keenan memang sudah sangat lama melakukan bisnis luar biasa keren ini. Mereka sekeluarga adalah satu-satunya keluarga pembunuh bayaran yang paling ditakuti di negara ini. Bukannya tidak ada pihak yang menolak pekerjaan mereka. Polisi dan detektif beberapa kali mengusut dan mencari tahu informasi Killian's Family, tapi sebelum menemukan titik terang, tiba-tiba mereka terbunuh secara misterius.
Aku beruntung bisa satu sekolah dengan anak mereka, Keenan. Saat itu dia menemukanku sedang melakukan pelanggaran peraturan sekolah yang cukup fatal--memotong beberapa jari teman sekelasku yang sedang ketiduran di kelas pada jam olahraga--dan dia menilai kalau aku anak yang asik dan akan sangat cocok dengan dirinya. Jadi mulai saat itu kami pacaran.
Grace memasang sarung tangan karet pada tangannya sendiri dan mulai memperhatikan kakaknya dengan seksama. Tatapan mata anak tiga tahun itu berubah menjadi tajam dan mematikan. Grace adalah spesialis serangga di keluarga ini. Dia hanya beberapa kali melihat kakak-kakaknya membedah tubuh mati manusia tanpa ikut campur tangan. Tapi ini adalah kali pertama ia melakukannya dengan tubuh manusia yang masih bernyawa. Dan sepertinya ia akan mengambil beberapa bagian dalam pembedahan kali ini.
"Baiklah, kau siap, Grace?" Tanya Keenan dengan nada penuh semangat.
Grace mengangguk penuh semangat.
Keenan menyuntikkan suatu cairan pada tangan Marleen. Cairan itu dimaksudkan untuk menetralisir racun lumpuh pada tubuhnya agar dia cepat sadar. Pada praktek bedah di kedokteran, membius pasien adalah hal paling utama yang harus dilakukan. Tapi hal itu sama sekali tidak ada sensasinya. Kami memilih untuk mendengarkan isakan dari cewek itu ketika kami perlahan mulai mengangkat satu persatu bagian dalam tubuhnya. Dan itulah yang membedakan pembedahan orang mati dan orang hidup, kau bisa membuatnya bersuara. Orang tua Keenan pun ingin Grace merasakan sensasi yang berbeda ketika kami mencobanya menemui pasien yang dibedah saat masih hidup.
0 comment:
Posting Komentar
Come share to us !!