Delmora The
Ocean’s Princess
Created By:
Safitri
Tsa’niyah
Bab 2
Pelatihan
“...Wah, lebih cantik dari yang kubayangkan.” Kudengar
salah satu dari mereka bergumam.
“Hai.” Ucapku pada mereka.
“Dia menyapaku!” Ucap salah satu dari mereka yang paling
kecil. Sambil terjatuh ke belakang seperti baru saja tersandung.
“Halo Putri Delmora. Kami sudah menunggu lama untuk
bertemu denganmu. Ini suatu kehormatan besar.” Ucap si kecil itu. “Izinkan aku
memperkenalkan diri. Namaku Selene.” Gadis itu mengulurkan tangannya yang
berselaput, sambil membuat gerakan seperti membungkuk.
“Hai Selene.” Sapaku ramah.
Lalu satu persatu dari mereka memperkenalkan diri padaku
dengan sangat sopan. Setelah itu kami berenang ke beberapa tempat di istana.
Aku melihat banyak makhluk yang hidup saling membantu dan rukun. Jadi teringat
film Spongebob Squarepants. Hey, dimana kau Spongebob, aku ingin berkunjung ke
rumah nanasmu!
“Sebenarnya kau ini apa?” Tanyaku pada Selene.
“Aku peri Laut, yang mulia.” Jawab Selene sambil
menundukan kepalanya.
“Oh, panggil aku Delmora saja.” Ucapku merasa tidak enak
terus dipanggil ‘yang mulia’ seakan aku ini bos mereka.
“Aku kira kau ini putri duyung.” Ucapku.
“Jangan menyebutnya, Putri. Biasanya mereka sangat mudah
tersinggung.” Jelas Selene.
“Tersinggung?” Aku kebingungan. “Maksudmu?”
“Ya, yang mereka kerjakan seharian hanyalah berdandan.
Mereka tidak ingin keluar dari salon mereka. Jadi tidak banyak yang tahu
mereka. Karena mereka tidak mau menampakan diri.”
“Jadi mereka ‘eh sedikit pemalu?”
“Sangat. Tapi kehadiran mereka bukanlah pertanda baik.
Biasanya akan terjadi bencana atau musibah. Mereka peramal yang baik.”
“Oke. Baiklah Peri Laut.” Ucapku ingin menghentikan
obrolan yang tidak kumengerti soal putri duyung itu. Setahuku, putri duyung itu
baik hati, cantik, dan mengeluarkan mutiara jika mereka menangis. “Apa lagi
yang bisa kau tunjukan padaku?”
“Ayo kita ke kolam.”
“Kolam?” Kebingunganku memuncak. Selene pasti bercanda.
Berada di air sepanjang waktu tidakkah membuat masyarakat Atlantis bosan
bermain air di kolam?
Lalu kami berbelok di tanda yang menunjuk ke arah kolam.
Benar saja. Banyak orang (atau mungkin lebih tepat makhluk laut) yang sedang
bermain-main di kolam itu. Kolam terindah yang pernah kulihat. Sedikit seram
sebenarnya, karena warna air di tempat yang disebut kolam itu lebih pekat
daripada air di sekitarnya. Membuatku mengira itu adalah sebuah lubang besar.
Tapi setelah diperhatikan lagi, tidak ada gelombang disana. Dan di tepiannya
tumbuh bermacam ganggang laut dan terumbu karang yang indah dan berwarna-warni.
Aku sedang berancang-ancang untuk ikut bersenang-senang. Lalu Ayahku memanggil.
“Delmora.” Panggilnya. “Waktunya makan siang.”
Siang? Ya, aku tidak bisa membedakan waktu ketika berada
di dasar laut. Semua tampak sama saja bagiku.
Aku dan Selene menghampiri panggilannya.
“Setelah itu kau akan memulai pelajaran pertamamu.”
==
Pelajaran pertama? Mungkin lebih tepatnya upaya penghancuran
diri. Sebagai remaja cewek kota yang normal, aku tidak pernah mengambil ekskul
menantang maut di sekolah. Tapi saat ini yang Ayahku sebut pelajaran pertamaku
adalah, berduel pedang dengan salah satu petarung terbaiknya. Bagaimana bisa,
aku, Delmora, cewek tujuh belas tahun satu bulan, tidak punya kemampuan
berpedang sama sekali, bisa menang melawan prajurit pedang yang mendapatkan
pelatihan tiap hari selama bertahun-tahun? Ayahku hampir membuatku tertawa di
depan wajahnya yang hijau itu.
“Kurasa kau bisa memilih pedangmu sekarang Delmora.
Setelah kau pilih, pedang itu akan selalu jadi milikmu.” Ucap Poseidon.
“Emm kau yakin Ayah?” Tanyaku setengah berharap ia akan
membatalkan duel pedangku dan menyuruhku kembali ke istananya yang nyaman.
“Ya, pilih lah yang paling sesuai di tanganmu.” Ucapnya,
meruntuhkan semua harapanku untuk bermain-main lagi di kolam.
Lalu aku mulai memilah pedang mana yang paling sesuai
dengan tanganku yang lembut ini. Semua pedang-pedang itu terlihat sama.
Panjang, tajam, dan berat. Yang paling penting, semuanya bisa menggores kulitku
kapan saja.
Ini benar-benar gila. Pasti Ayahku sangatlah kaya. Karena
untuk pedang saja semuanya bertatahkan batu yang harganya tidaklah murah. Dan
ada jutaan pedang disini. Lalu aku mengambil sebilah pedang dengan bertatahkan
batu safir warna biru yang indah.
Pedang ini memanglah panjang, tapi tidak sepanjang yang
lain. Dan setelah kupegang, grip pegangannya terasa nyaman di tanganku. Tidak
terlalu berat juga. Baiklah, siap atau tidak aku akan berduel.
“Oh, safir. Kau bijaksana Nak. Kalau aku tidak tahu kau
putriku, mungkin kau cocok menjadi keturunan Athena.” Ucap Ayahku.
“Aku suka warnanya.” Jawabku polos tanpa mengerti apa
artinya. Aku memilih batu safir karena warnanya biru, kesukaanku.
“Itu lebih dari warna, Nak.” Ucap Ayahku. “Baiklah, bukan
saatnya menguliahimu tentang batu. Sekarang bertarunglah.”
“Tapi Yah, aku belum pernah berduel pedang sebelumnya.
Bagaimana bisa aku bertahan?”
“Kau akan menemukan caranya, Nak.”
Aku masih bingung. Tapi aku harus percaya ucapan Ayahku
sekali lagi. Dia tak pernah salah kan? Walaupun aku yakin, aku ada disini
karena kesalahannya.
Aku harus fokus ke permainan pedangku. Aku pasti bisa.
Ada dorongan semangat dalam diriku yang tak ingin mempermalukan optimisme Ayah.
Itu pasti karena aku ada di wilayahnya.
Aku masuk ke arena pertandingan, begitu pun dengan
petarung yang akan aku hadapi. Tingginya dua kali lebih besar daripada badanku.
Dan otot-ototnya lebih besar daripada lima kali lenganku. Harusnya orang (makhluk)
ini akan membuatku takut. Tapi aku sekali lagi tidak ingin mempermalukan
Ayahku. Aku tidak akan takut.
Dan disanalah aku. Saat pertarungan dimulai, entah
mengapa refleksku bekerja tiga kali, bukan, lima kali lebih baik daripada
biasanya. Aku berhasil menghindari semua serangan yang prajurit itu berikan.
Oke, aku tidak boleh terlalu ge-er. Mungkin si prajurit tidak benar-benar ingin
mengalahkanku. Mungkin ia sengaja mengalah untuk membuatku terlihat baik
dihadapan orang-orang. Atau mungkin ia takut terhadap Ayahku, rajanya.
Namun bersamaan saat aku sedang memikirkan hal itu—membuat
konsentrasiku buyar—tiba-tiba saja lenganku berdarah. Darahnya menyebar ke
perairan dekat wajahku. Membuat air di sekitarnya ikut bebercak merah yang
pasti pada situasi lain akan mengundang serombongan hiu pemangsa yang ganas.
Tapi tak lama kemudian, luka kira-kira sepuluh senti itu pun langsung hilang
dan seperti sudah dirawat beberapa minggu dengan rutin mengganti perban. Si
prajurit menggeram marah. Membuatku tahu kalau ia tidaklah main-main dan tidak berusaha
mengalah dariku sekalipun aku anak Poseidon.
Selagi ia marah luar biasa, aku memakai kesempatan ini
untuk memutar ke belakang tubuhnya. Entah mengapa aku tahu kalau ada sesuatu di
bagian belakang tubuhnya yang ternyata tidak lebih seram dari bagian depan. Ia
berbalik, tapi aku sudah terlalu cepat untuknya. Sebelum mata pedangnya
menghancurkan bagian dalam perutku, aku sudah menebas kepalanya.
“Ih, jijik.” Ucapku ketika melihat kepala si prajurit
terpisah dari badannya yang super besar dan berotot itu.
Semua orang yang menonton tampak ternganga melihatku
telah membunuh salah satu prajuritnya. Lalu Ayah masuk ke arena pertarungan.
Dan dengan satu gerakan trisulanya, prajurit itu menghilang.
“Ma-maaf Ayah, aku tidak bermaksud untuk membunuhnya.”
Ucapku merasa bersalah.
Ayahku tersenyum. “Tidak apa, Delmora. Dia akan
dilahirkan kembali beberapa tahun kedepan. Ya, kalau Hades berkenan, prosesnya
mungkin akan lebih cepat.”
Aku masih sangat kaget. Ini adalah pembunuhan pertamaku.
Tapi aku tahu, apa yang akan kuhadapi bisa lebih besar.
“Baiklah Delmora, waktunya pulang.” Ucap Ayahku.
Aku kira yang ia maksud pulang adalah kembali ke istana,
dan dengan begitu aku bisa bermain-main di kolam. Tapi ia memanggil keretanya
dan menyuruhku naik. Kami pulang ke daratan.
==
Ternyata aku berada di bawah laut selama dua hari dan
tanpa tidur. Aku jadi sangat merindukan tempat tidur dan ingin berlama-lama
berbaring. Tubuhku terasa bukan apa-apa ketika menjauh dari air. Rasanya
semangat dan kekuatanku tinggal bersama gelombang lautan. Dan kini aku mulai
bertanya-tanya. Apa yang akan kuhadapi? Bisakah aku menghadapinya?
Tiba-tiba handphone-ku berdering.
“Hai Oliver.” Ucapku riang. Emm, Oliver ini adalah
seorang cowok yang bisa kusebut pacar. Ya, pacar.
“Halo sayang.” Balas Oliver diseberang. “Lagi ngapain?”
“Istirahat.” Jawabku dengan nada lelah.
“Istirahat? Abis ngapain memangnya?”
“Kamu gak akan percaya kalo aku ceritain sekarang.” Nada
suaraku langsung bersemangat. Sedetik aku berpikir akan menceritakan pada
Oliver tentang apa yang kualami. Poseidon, dan pertempuran yang harus
kulakukan. Tapi detik berikutnya aku takut dicap gila oleh pacarku sendiri.
Akhirnya aku tidak jadi memberitahunya.
“Memangnya kamu habis ngapain?” Tanya Oliver ingin tahu.
Otakku berpikir dengan cepat. Aku tidak boleh berkata
jujur. “Oh, emm itu. Aku habis berenang di pantai.” Tidak terlalu bohong kan?
“Lalu?”
“Aku diving juga.”
“Kayaknya asyik deh. Boleh engga aku nyusul kamu kesana?”
Aku terdiam. Berpikir. Apa boleh Oliver kesini? Apa yang
akan ia katakan jika mengetahui kebenaran ini?
“Delmora?” Oliver menegurku karena aku terlalu lama
mendiamkan teleponnya.
“Ya?” Aku tersentak kaget.
“Bagaimana? Apa boleh? Tenang saja. Aku tidak akan menginap.
Hanya bertemu denganmu saja. Menghabiskan waktu seharian dengan orang yang
paling kusayang.” Jelas Oliver.
Aku berpikir sekali lagi. Oliver hanya teman biasa kan?
Oke baiklah, mungkin dia spesial. Tapi selebihnya dia cuma cowok biasa. Mana
mungkin bisa memperparah keadaan?
“Baiklah. Besok kamu boleh kesini. Kebetulan latihanku
baru akan dimulai lagi besok lusa.” Ucapku akhirnya.
“Latihan? Kamu latihan apa?” Tanya Oliver.
Aku baru menyadari kata-kataku. “Oh, emm itu. Aku
berlatih dengan ibu. Memasak.” Aku bohong lagi.
“Oke, baiklah. Aku tidak akan mengganggu waktu ibu dan
anak.”