Kamis, 26 Januari 2017

04. Real Thing? ~~ The Little You Know The Little Chance You'll Die


Kadang ketakukan itu datang karena berkurangnya rasa adrenalin dalam darahmu. Atau mungkin saat jiwamu dibawa jauh dari logika dan akal sehat yang kau pegang teguh sampai hari ini.

Tidak biasanya Diva menelponku seperti ini. Sebelum menelpon, biasanya dia pasti chat dulu di line. Ada apa kali ini?

"Halo." Ucapku.

"Sher. Doni, Sher.." Suara Diva diseberang agak bergetar.

"Ada apa, Va?" Tanyaku setenang mungkin.

"Aku ngga nyangka dia begitu." Ucap Diva masih dengan nada bergetar yang sama.

"Doni kenapa? Dia apain kamu, Va?" Aku mulai agak penasaran.

"Dia nembak aku, Sher." Ucap Diva.

"Nembak dalam arti yang sebenarnya? Dia pakai pistol atau senapan?" Ucapku sekarang mulai terkejut dan kesal.

Diva diam beberapa detik. Sebelum setelahnya ia tertawa keras sekali sampai aku harus menjauhkan ponselku agar telingaku tidak rusak karena suaranya yang seperti nyanyian siren di daratan.

"Kamu ngomong apa sih, Sher. Tentu aja bukan nembak dalam arti sebenernya lah. Maksud aku tuh dia nyatain cintanya." Ucap Diva puas sekali.

Aku merasa seperti orang bodoh. Jangankan nembak dengan pistol atau senapan, mana ada orang yang menodongkan senjata mereka ke orang yang baru mereka kenal sebagai teman?

"Kamu hampir bikin aku jantungan, Va." Ucapku.

Diva tertawa lagi kali ini dengan suara lebih pelan.

"Jadi kamu jawab apa?" Tanyaku.

"Aku jawab iya, Sher. Aku jadi pacar Doni sekarang." Ucap Diva bersemangat.

Sesuatu sepertinya jatuh dari tenggorokanku menuju usus. Rasanya agak tidak nyaman. Aku merasa ada yang salah dengan Doni. Tapi sekarang aku mau tidak mau akan lebih sering bertemu dengan Doni kalau Diva menjadi pacarnya.

Tiba-tiba ada suara langkah kaki menuruni tangga. Aku yakin Keenan bangun begitu aku menerima telpon dari Diva dan aku yakin dia sudah tahu apa pembicaraan kami berdua.

Dia muncul di pintu dapur. Tatapan matanya membuatku takut. Seseorang tolong aku.

"Kita lanjut telpon nanti ya Va. Bye." 

"Yah Sher kok dimatiin sih?"

"Iya nanti aku telpon lagi ya. Congrats kamu sama Doni." Aku menutup telponku dengan Diva.

Aku berjalan perlahan mendekati Keenan. Saat jarak kami hanya kira-kira tiga puluh senti, Keenan memelukku. Mengusap rambut panjangku beberapa kali.

"Aku akan jaga kamu dari dia kali ini, lebih dari usahaku dulu. Aku yakin tujuannya belum berubah." Ucapnya.

Aku mengangguk dalam pelukannya.

Aku merasakan ketakutan yang tidak biasa. Aku bukan orang yang penakut. Tapi entah kenapa memori masa laluku dengan Doni membawa perasaan takut ikut bersama tatapan tajamnya waktu itu. Sekarang dia punya space lebih dekat untuk menjangkauku. Melalui Diva.

0 comment:

Posting Komentar

Come share to us !!