Aku merasa kesepian, aku berharap akan ada yang bisa menenangkan pikiranku dari memikirkan hal yang tak perlu. Tapi untuk saat ini aku hanya ingin terbuka dengan diriku sendiri dan membiarkan yang lain tidak mengenalku sama sekali.
Rumah itu tidak bisa kubilang kumuh. Tapi aku tidak bisa bilang juga kalau rumah itu nyaman untuk ditinggali. Hanya ada satu lampu menyala di rumah itu. Aku mendekat ke jendela yang di dalamnya ada cahaya. Gelak tawa terdengar keras dari dalam ruangan itu.
"Kalian melakukan kerja kalian dengan sangat baik." Ucap suara yang sepertinya aku kenal.
"Kami tidak pernah mengecewakan klien kami, Pak." Ucap seorang laki-laki yang tidak kukenali suaranya dengan nada bangga.
Lalu tawa lagi.
Tawa berlalu. Seseorang berteriak dengan suara serak dan lemah yang sepertinya berasal dari ruangan lain di rumah itu.
"Kau yakin kami tidak harus memberinya makan, Pak?" Ucap seorang laki-laki.
"Tidak perlu. Klienku harus melihat kondisinya yang mengenaskan agar mereka terus merasa iba dan tidak membatalkan perjanjian kerjanya denganku." Ucap suara itu lagi.
Aku masih berusaha untuk tidak mengeluarkan bunyi sedikitpun. Aku menahan nafas dan amarahku. Aku tahu suara orang yang tadi dipanggil 'Pak' oleh suara yang lain.
"Kalian memastikan di dalam sana dia tidak akan mendengar suara dari luar kan?" Ucap suara 'Pak' itu lagi.
"Seperti yang kau minta, Pak." Jawab pria yang lain.
"Kalian memastikan di dalam sana dia tidak akan mendengar suara dari luar kan?" Ucap suara 'Pak' itu lagi.
"Seperti yang kau minta, Pak." Jawab pria yang lain.
"Bagus. Bisa gawat kalau sampai dia tahu aku ada disini mengobrol bersama kalian."
Aku memutar ke arah pintu masuk. Mengetuk beberapa kali. Tak lama menunggu, seseorang terdengar sedang membuka pintu. Lalu dua orang laki-laki bertubuh besar menodongku dengan pistol dan posisi waspada.
"Oh, kau lagi. Dari mana kamu tahu kami disini?" Ucap salah satu dari mereka dengan nada meremehkan tapi kaget.
"Apa kamu mau memberikan kaki yang satunya, gadis kecil?" Ucap yang lain dengan nada menggoda sambil mengetuk pelan tongkat jalanku.
"Tidak. Aku hanya ingin bertamu. Dan biar kuberi satu saran, kalau kalian mau jadi penjahat yang hebat, mulailah belajar teknologi." Ucapku tenang.
"Apa kamu gila, anak kecil? Kami ini penjahat yang jahat. Jangan beraninya menghina kami." Ucap laki-laki pertama agak geram.
"Tidak sejahat orang berjas di dalam." Jawabku.
Mata kedua laki-laki tersebut membelalak. Mereka langsung menangkap dan menghentikan pergerakkanku yang bisa dibilang aku nyaris tidak bergerak dan tubuhku setenang manekin. Mereka membawaku masuk ke dalam ruangan yang tadi kuintip dari jendela.
Pria berjas yang kusebutkan berjengit ngeri saat aku dibawa masuk.
"Hey untuk apa kalian bawa masuk dia? Kalian tahu siapa anak ini kan?" Ucap pria berjas.
"Dia sudah tahu kau ada disini, Pak." Ucap laki-laki pertama.
Aku masih diam dengan tangan di belakang punggung.
"Apa maumu anak kecil?" Tanya pria berjas sambil menatap mataku dengan geram.
"Maaf, Om. Tapi teman baikku ada di dalam sana. Aku harus membawanya pulang." Jawabku tenang.
Pria bertubuh besar tadi mempererat pegangannya pada tanganku. Seakan takut seorang gadis kelas 6 SD akan memukulinya hingga pingsan.
"Apa yang akan kita lakukan dengan anak ini, Pak?" Ucap pria yang memegangiku.
"Apa lagi? Bunuh dia. Kita tidak boleh meninggalkan saksi."
Aku pikir itu adalah terakhir kalinya aku mendengar suara Diva. Aku akan dibunuh oleh ayah teman baikku. Sungguh bukan akhir hidup yang kuharapkan.
Pria bertubuh besar tadi kembali menodongkan pistolnya ke keningku sementara yang lainnya memegangi tubuhku erat. Aku mulai berpikir mungkin inilah akhir hidupku. Aku tak berdaya di tangan para penjahat yang tubuhnya tiga kali lebih besar dari tubuhku.
Saat aku mulai kehilangan semua harapanku untuk hidup, tiba-tiba aku merasa seperti disentakkan keras dan muncul perasaan seperti tidak takut mati. Jantungku berdetak cepat beraturan dan darahku panas mendidih. Aku tidak benar-benar menyadari apa yang terjadi pada tubuhku. Yang kuingat, Diva. Kalau aku mati sekarang, dia juga akan mati bersamaku. Masih banyak hal yang ingin dia lakukan di masa depan.
Aku bertumpu kuat pada kedua lututku dan dengan hitungan sedetik, aku menolak lantai dan lompat di udara. Tepat ketika pria yang menodong pistol menarik pelatuknya.
Pria yang memegangiku beberapa detik lalu rubuh ke lantai. Dadanya bolong dan darah mulai menggenangi tempatnya terbaring.
"DASAR ANAK KURANG AJAR!" Ucap ayah Diva geram.
Aku baru teringat kakiku yang terperban dengan tulang retak. Kenapa tiba-tiba saja aku sembuh? Aku tidak memikirkan hal itu sekarang, segera setelah aku menyadari aku bisa menggunakan kedua kakiku dengan normal, aku melempar tongkat jalanku. Karena peluru kedua dan ketiga meluncur dari pistol yang dipegang ayah Diva.
Aku berlari ke belakang sebuah lemari kayu.
"Kamu harus membayarnya, anak kecil! Temanku mati gara-gara kau!" Pria yang tadi menodongku berteriak keras marah sekali.
"Padahal kau yang membunuhnya kan." Ucapku tenang.
Aku membiarkan si penjahat mendekatiku.
আPrevious: Throw Back
আNext: Regret
0 comment:
Posting Komentar
Come share to us !!